Rabu, 08 April 2009

ANTAGONISME HUBUNGAN SIPIL MILITER DI FIJI (Potret Coup d’etat Militer Terhadap Pemerintahan Sipil)

Oleh; M.J Latuconsina


Pendahuluan
Republik Kepulauan Fiji adalah sebuah negara kepulauan di selatan Samudra Pasifik, yang merupakan eks koloni Kerajaan Inggris. Pada umunya sistem politik di bekas koloni Inggris di berbagai belahan dunia, lebih memprioritaskan supremasi sipil dalam menjalankan roda pemerintahan ketimbang mempercayakannya kepada pihak militer. Hal ini dikarenakan mayoritas bekas jajahan Inggris kerap mengadopsi sistem politik di negara monarkhi konstitusional tersebut untuk diterapkan di negara mereka.
Oleh karena itu, bekas-bekas koloni Inggris semisal; Singapura, India, Afrika Selatan dan New Zeland dalam sistem politiknya senantiasa mempercayakan sipil untuk memimpin negara-negara ini melalui suatu pemilihan umum yang demokratis, dan bukan dipercayakan kepada militer dengan cara-cara perebutan kekuasaan melalui coup d’etat militer. Jika terdapat bekas koloni Inggris pada sejumlah negara yang pernah di pimpin oleh rezim militer, tentu itu terjadi ketika masa Perang Dingin.
Berbeda dengan negara-negara bekas koloni Inggris tersebut. Di Fiji jutsru terjadi fenomena sebaliknya, meskipun Fiji sendiri merupakan bekas koloni Inggris, tapi negara pulau di Samudera Pasifik itu tidak sepenuhnya mengadopsi sistem politik Inggris. Hal ini terlihat, ketika militer mengambil alih kepemimpinan Fiji dari sipil melalui coup d’etat. Namun sebenarnya terjadinya pengambilalihan kepemimpinan oleh militer di Fiji, merupakan klimaks dari perseteruan antara militer dan sipil, yang diselesaikan melalui coup d’etat .
Tercatat hingga saat ini sudah empat kali coup d’etat (1987-2006), tiga kali dilakukan oleh militer dan satu kali kudeta dilakukan oleh sipil. Penyebab coup d’etat di Fiji antara lain: pertama, terjadinya konflik politik yang melibatkan sipil dan militer, kedua politik identitas masih mewarnai konstalasi politik domestik di Fiji, kecemburuan etnis Fiji terhadap Indo-Fiji keturunan India yang kerap menduduki struktur pemerintahan di Fiji, ketiga, pemerintahan yang korup dan lemahnya penegakan supremasi hukum. Bertolak dari uraian singkat ini, dalam tulisan ini akan dibahas permasalahan yang menyangkut: Antagonisme Hubungan Sipil Militer di Fiji, suatu Potret Coup d’etat Militer Terhadap Pemerintahan Sipil
A. Lanskap Sosio-Historis Fiji
Republik Kepulauan Fiji adalah sebuah negara kepulauan di selatan Samudra Pasifik, di sebelah timur Vanuatu, sebelah barat Tonga, dan sebelah selatan dari Tuvalu. Fiji memiliki 322 pulau, 106 di antaranya berpenghuni. Selain itu ada pula 522 pulau kecil. Kedua pulau terbesar adalah Viti Levu dan Vanua Levu yang penghuninya meliputi 82% dari keseluruhan penduduk negara ini. Nama Fiji adalah sebuah kata kuno dalam bahasa Tonga untuk kepulauan itu, yang pada gilirannya berasal dari nama dalam bahasa Fiji, Viti.
Tabel 1
Jumlah Pulau di Fiji
  Kategori Kapasitas Jumlah
  (1) (2) (3)
  Besar Berpenghuni 106
  Besar Tak Berpenghuni 216
  Kecil Tak Berpenghuni 552
  Total 844
  Sumber Data, http://www.wikepedia.com, 2006
Ibu kota Fiji, Suva, terletak di pulau ini. Di Fiji banyak imigran yang berasal dari India/Pakistan. Penghuni pertama Fiji tiba dari Asia Tenggara jauh sebelum terjadi hubungan dengan para penjelajah Eropa pada abad ke-17. Persoalan akademik tentang migrasi Pasifik masih belum terpecahkan, hingga saat ini. Ada tercatat bahwa Fiji ditemukan oleh penjelajah Belanda Abel Tasman ketika ia berusaha menemukan Benua Selatan Besar pada 1643. Namun baru pada abad ke-19 orang-orang Eropa itu tiba di kepulauan ini untuk menetap di sana secara permanen. Kepulauan ini jatuh ke tangan Britania Raya sebagai koloni pada 1874. Pada 1970 Fiji mendapatkan kemerdekaannya. (http://www.wikepedia.com, 2006).
Agama adalah salah satu garis pemisah antara penduduk pribumi Fiji dan orang-orang Indo-Fiji; penduduk pribuminya sebagian terbesar beragama Kristen (99,2 persen pada sensus 1996), sementara orang-orang Fiji keturunan India kebanyakan beragama Hindu (76,7 persen) atau Islam (15,9 persen). Denominasi Kristen terbesar adalah Gereja Methodis. Dengan 36,2 persen dari keseluruhan penduduk (termasuk hampir dua-pertiga dari penduduk asli Fiji), persentase anggota Gereja ini adalah yang tertinggi di Fiji dibandingkan dengan negara manapun juga. Pemeluk Katolik Roma (8,9 persen), Sidang Jemaat Allah (4 persen), dan Adventis (2,9 persen) juga cukup berarti jumlahnya. Kesemuanya ini dan juga denominasi lainnya juga mempunyai sejumlah kecil anggota keturunan India. Dari seluruh orang Indo-Fiji, 6,1 persen memeluk agama Kristen.
  Tabel 2
  Komposisi Pemeluk Agama di Fiji
  Kelompok Agama Persentase
  (1) (2)
 Kristen:
• Gereja Methodis 36,2 %  
• Sidang Jemaat Allah 4 %
• Adventis 2,9 %
 Katolik Roma 8,9 %
 Hindu:
• Sanatan 74,3 %
• Arya Samaj 3,7 %
• Tak Jelas Alirannya 22 %
Islam:
• Sunni 59,7 %
• Ahmadiyah 3,6 %
• Tak Menyebut Alirannya 36,7 %
Sikh 0,9 %
  Total 
  Sumber Data, http://www.wikepedia.com, 2006
Pemeluk agama Hindu pada umumnya tergolong dalam aliran Sanatan (74,3 persen dari seluruh Hindu) atau tidak jelas alirannya (22 persen). Aliran kecil Arya Samaj mengklaim mempunyai pengikut sebanyak 3,7 persen dari semua orang Hindu di Fiji. Pemeluk agama Islam pada umumnya adalah Sunni (59,7 persen) atau tidak menyebutkan alirannya (36,7 persen), dan sejumlah kecil pengikut Ahmadiyah (3,6 persen) yang dianggap sesat oleh kelompok Muslim yang lebih ortodoks. Pemeluk agama Sikh mencakup 0,9 persen dari seluruh penduduk Indo-Fiji, atau 0,4 persen dari seluruh penduduk Fiji. Leluhur mereka datang dari wilayah Punjab di India. (http://www.wikepedia.com, 2006).
B. Potret Kudeta di Fiji
Pada Mei 1987 negara di Samudera Pasifik ini mengalami krisis politik yang hebat, dimana terjadi coup d’etat yang dilakukan oleh Letnan Kolonel Setiveni Ligamamada Rabuka. Perwira menengah ini memimpin pasukan militer yang masuk ke gedung parlemen dan menggusur Perdana Menteri (PM) Timoci Bavadra. Setelah menggulingkan pemerintahan PM.Bavadra, kemudian Rabuka menunjuk Bavadra untuk memimpin pemerintahan koalisi di Fiji. (http://www.wikepedia.com, 2006). 
Namun Rabuka yang tidak puas dengan kinerja pemerintahan PM.Bavadra, pada September 1987 kembali melakukan coup d’etat yang kedua dan ia tampil sebagai pimpinan Fiji sementara hingga tahun 1990, kemudian dia mendeklarasikan Fiji sebagai negara republik, sekaligus menandai berakhirnya dominion Fiji, selanjutnya Rabuka menarik Fiji dari negara persemakmuran. Sehingga Monarkhi Britania dihapuskan, dan Gubernur Jenderalnya digantikan oleh seorang Presiden non-eksekutif. (http://www.detiknews.com, 2006). 
Pada tahun 1990, sebuah konstitusi yang menjamin etnik Fiji untuk senantiasa berkuasa atas Fiji, dimana konstitusi ini menjamin bangsa Melanesia akan menjadi mayoritas di negara itu. Konstitusi yang rasial tersebut, menyebabkan imigrasi besar-besaran warga Fiji keturunan India dari negeri eks koloni Inggris itu. Pasalnya kondisi sosio-politik domestik di Fiji cenderung mendiskriminasi mereka. 
Setahun kemudian perwira menengah kelahiran 13 September 1948 ini lantas terpilih secara demokratis sebagai PM. Fiji dengan masa jabatan dari tahun 1992 hingga tahun 1999. Rabuka dikemudian hari menempati pos terakhirnya sebagai Ketua Dewan Agung Ratu, yang diembannya hingga 24 Mei 2001. Tujuh tahun kemudian, dilakukan amandemen lagi terhadap konstitusi yang pernah diberlakukan pada tahun 1990 lalu, dimana amandemen tersebut menghasilkan suatu konstitusi yang lebih setara ketimbang konstitusi 1990. Pada tahun 1999 dilaksanakan Pemilu yang bebas dan damai di Fiji, dengan menghasilkan pemerintahan baru yang dipimpin oleh PM. Mahendra Chaudhry seorang Indo-Fiji. (http://www.wikepedia.com, 2006).
Rupanya pemerintahan sipil ini hanya seumur jagung, karena setahun kemudian pada Mei 2000, George Speght seorang sipil nasionalis garis keras melakukan coup d’etat terhadap kepemimpinan PM. Chaudhry. Sehingga Chaudhry dan anggota parlemennya disandera Speght. Sementara militer Fiji dibawah kepemimpinan Komondor Frank Vorege Bainimarama mengambil alih Fiji. Speght lantas dijebloskan dipenjara, dengan ganjaran hukuman seumur hidup karena penghianatan. Akibat coup d’etat yang ketiga ini keanggotaan Fiji persemakmuran dikenai sanksi karena kegiatan-kegiatan yang anti demokrasi.( http://www.detiknews.com, 2006).
Selanjutnya yang tampil mengantikan Chaudry untuk sementara waktu adalah Laisenia Qarase. Pada tahun 2006 Qarase memenangkan Pemilu, sehingga militer kemudian melantik mantan bankir ini sebagai PM.Fiji untuk masa jabatan yang kedua. Sayangnya Qarase tidak berlama-lama menikmati masa jabatannya yang kedua, pasalnya pada 5 Desember 2006 pimpinan militer Fiji Komondor Bainimarama melakukan coup d’etat terhadap PM.Qarase, sekaligus membubarkan parlemen. Alasan pihak militer bahwa, selama ini pemerintahan PM.Qarase melakukan tindakan korupsi dan bersikap terlalu lunak terhadap pelaku kudeta sebelumnya yang terjadi di tahun 2000 lalu.( http.//www. media indonesia online, 2006).
  Tabel 3
  Periode Kudeta di Fiji
  Bulan/Tahun Pelaku Kudeta Yang di Kudeta Kategori Kudeta
  (1) (2) (3) (4)
  Mei 1987 Letkol. Setiveni Ligamamada Rabuka PM. Timoci Bavadra Militer
  September 1987 Letkol. Setiveni Ligamamada Rabuka PM. Timoci Bavadra Militer
  Mei 2000 George Speght PM.Mahendra Chaudhry Sipil
  Desember 2006 Komondor Frank Vorege Bainimarama PM. Laisenia Qarase Militer

  Data: http:/www.detiknews.com
Coup d’etat yang dilakukan Bainimarama tersebut, mengejutkan berbagai pihak, karena Bainimarama sebelumnya adalah sosok pahlawan dalam mengembalikan demokrasi saat coup d’etat tahun 2000 terjadi. Kala itu, Bainimarama memutuskan memberlakukan darurat militer setelah coup d’etat berlatar belakang etnis yang berujung pada kerusuhan. Bainimarama kemudian menjabat Kepala Pemerintahan Militer sementara setelah coup d’etat yang diilhami Speight selama tiga bulan sebelum akhirnya presiden baru terpilih.(Dwi, 2006)
C. Kudeta dan Tradisi Penyelesaian Konflik Politik
Pada masa Perang Dingin yang melibatkan Blok Timur dan Blok Barat, peran militer dalam pemerintahan begitu dominan memeggang kepemimpinan negara di berbagai belahan dunia. Menurut Said (2001), pada era perang dingin ini idiologi politik dunia menghalalkan campur tangan militer kedalam politik. Sejak rubuhnya Tembok Berlin diikuti runtuhnya Uni Sovyet, keadaan berubah drastis. Dunia sekarang tidak lagi ramah terhadap militer yang masuk politik.
Namun pasca Perang Dingin ketika terjadi gelombang demokratisasi, yang melanda semua negara, militer pun mulai perlahan-lahan meninggalkan gelanggang politik yang selama ini mereka geluti untuk selanjutnya kembali ke barak. Kembalinya militer ke tangsinya dapat kita saksikan di Brasil, Argentina, Korea Selatan, Chili dan sejumlah negara lainnya di berbagai belahan dunia, yang pada awalnya pemerintahannya didominasi oleh militer.
Ketika rezim-rezim militer dibelahan dunia mulai melakukan transformasi pemerintahan kepada sipil pasca Perang Dingin, di Fiji terjadi fenomena sebaliknya. Sebab di negara ini pada tahun 1987 militer mulai merambah kekuasaan yang tadinya dikuasai oleh sipil. Kudeta yang pertama ini kemudian menjadi tradisi untuk menyelesaian kemelut politik antara militer dan sipil, sekaligus merupakan awal ketegangan hubungan sipil-militer di negara eks koloni Inggris tersebut.
Dalam tiga kali coup d’etat yang dilakukan oleh militer, senantiasa diwarnai dengan ketidakpuasan militer terhadap kepemimpinan sipil. Ketidakpuasan itu dengan mengusung nasionalisme etnis Fiji, untuk menggusur pemerintahan sipil yang didominasi oleh warga Indo-Fiji keturunan India. Tak pelak hal ini menjadi preseden buruk bagi transformasi demokrasi dinegara Pasik itu. 
  Tabel. 4
  Penyebab Kudeta Militer di Fiji
No. Penyebab Kudeta Militer
(1). Ketidakpuasaan Militer terhadap pemerintahan sipil
(2). Praktek Korupsi oleh pemerintahan sipil
(3). Lemahnya Penegakkan Hukum
(4). Menguatnya Politik Identitas
  Data: Dari Berbagai Sumber, 2006

Oleh karena itu menurut Huntington (1983), kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etik militer profesionalnya. Intervensi militer dalam politik sebagai tanda adanya political decay (pembusukan politik). Senada dengan itu, dalam studi yang dilakukan Clark (1996) di delapan negara ketiga, menyimpulkan bahwa naiknya kekuasaan militer memang merupakan gejala umum di dunia ketiga sebagaimana maraknya otoritarianisme. Clark mengidentifikasi munculnya rezim militer di suatu negara senantiasa bersamaan dengan menjauhnya demokrasi dari negara yang bersangkutan.
Terlepas dari itu, hubungan sipil militer di Fiji pasca coup d’etat diperburuk dengan kegagalan Bainimarama memperoleh restu dari para ketua dewan suku Fiji yang merupakan dewan tertinggi di negara itu. Aksi militer yang mengusir presiden dan wakilnya dari kantor dan rumah dinas mereka mengundang kecaman dari dewan itu. Para pemimpin suku yang merupakan perwakilan dari daerah-daerah itu juga menyatakan menentang langkah yang diambil pihak militer. Ketua Tertinggi Dewan Suku Fiji Ratu Ovini Bokini, menyerukan penolakannya terhadap kekuasaan rezim militer yang melakukan coup d’etat tidak berdarah untuk menyingkirkan pemerintah. Bokini mengutuk tindakan militer yang mengusir presiden dan wakilnya dari kantor dan rumah dinas mereka.(Dwi, 2006).
D. Prasyarat Keluarnya Militer dari Pusaran Politik
Memprediksikan kapan militer Fiji keluar dari pusaran politik di negara Pasifik itu belum jelas. Pasalnya selama 20 tahun terakhir ini sudah 3 kali coup d’etat yang dilakukan oleh militer dan 1 kali kudeta dilakukan oleh sipil. Latar belakang kudeta di negara eks koloni Inggris itu, senantiasa hadir akibat ketidakpuasan militer terhadap kepemimpinan pemerintahan sipil, maupun dampak dari politik identitas yang masih kental mewarnai konstalasi politik domestik di Fiji.
Padahal prasyarat untuk keluarnya militer Fiji dari pusaran politik sudah nampak. Prasayarat ini didukung dengan memburuknya perekonomian Fiji saat dan pasca kudeta. Sebab ratusan penduduk Fiji yang bekerja dalam sektor pariwisata, perikanan dan sektor pertambangan saat kudeta dan pasca kudeta terpaksa berhenti akibat kondisi politik domestik Fiji yang tidak stabil bagi aktivitas ketiga sektor andalan tersebut.
  Tabel 5
  Faktor Pendukung Mundurnya Militer Dari Politik
No. Faktor Pendukung Mundurnya Militer Dari Politik
(1). Krisis ekonomi, yang ditandai dengan tinggingnya angka kemiskinan dan Pengangguran
(2). Kegagalan militer membangun perekonomian
(4). Melemahnya kepercayaan rakyat terhadap rezim militer
(5). Maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
(6). Lemahnya peneggakkan hukum
(7). Berkurangnya basis korporasi rezim militer, yang sejak awal mendukung Rezim militer dalam merambah kekuasaan.
  Data: Dari Berbagai Sumber, 2006
Terkait dengan itu, Neuhuser (1995) mengatakan bahwa, kehancuran ekonomi akan menjadi penyebab kehancuran rezim militer, krisis ekonomilah yang justru menyebabkan tumbangnya rezim otoriter yang digantikan tumbuhnya demokrasi. Senada dengan itu, Supriyadi dan Winarno (2002) mengatakan bahwa, dalam kondisi krisis seperti ini kekuatan sipil akan mudah memobilisasi yang sudah terjangkit penyakit “deprivasi relatif” terhadap rezim militer, sehingga akan menjadi titik yang menentukan bagi transisisi awal demiliterisasi.
Bagi Fiji mundurnya militer dari pusaran politik, dan selanjutnya terjadi transformasi kepemimpinan kepada sipil, itu hanya menunggu waktu ketika kepemimpinan militer gagal membangun perekonomian negara itu. Sehingga akan berdampak pada antipati rakyat terhadap kepemimpinan militer dan selanjutnya rakyat bersama elite sipil akan mendorong tercapainya peralihan kekuasaan ke tangan sipil. Fenomena seperti ini yang pernah dialami Brazil ketika Presiden Ernesto Geisel yang melakukan suatu proses redemokratisasi kehidupan politik secara bertahap “abetura”. (Kevin, 1992) .
Kesimpulan
Hubungan sipil militer di Fiji saat ini memasuki tahap-tahap yang tidak menyenangkan bagi terjadinya transformasi demokrasi sekaligus transformasi pemerintahan sipil secara damai. Sebab hubungan sipil-militer di negara Pasifik itu sering berakhir dengan krisis politik yang berujung dengan dilakukannya coup d’etat terhadap pemerintahan sipil. Sejak tahun 1987 hubungan sipil-militer di Fiji dalam tahap-tahap antagonisme. Hal ini tentu merupakan preseden buruk bagi transformasi demokrasi sekaligus transformasi kepemimpinan sipil di negara itu secara damai, melalui mekanisme legal formal dan bukan dengan mekanisme kudeta yang hanya mematikan demokrasi.
Sebagai metode perebutan kekuasaan, coup d’etat militer yang mengandalkan kekuatan fisik dianggap sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman yang menekankan demokratisasi. Dalam kenyataannya, hanya segelintir negara di dunia yang diperintah junta militer. Sebut saja Myanmar, Thailand, Pakistan, dan Fiji. Secara umum, junta itu mendapat kecaman masyarakat internasional.(http.//www. republika.com, 2006). Namun, keadaan sudah banyak berubah, yang mendorong proses demokratisasi. Coup d’etat militer dinilai tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. 
Setiap negara dan kawasan kini berjuang, meski sering dengan susah payah, untuk mendorong proses demokratisasi. Sekadar ilustrasi, meski perilaku demokrasi ideal masih jauh dari jangkauan di Amerika Latin dan Karibia, rezim militer sudah tidak tersisa di kawasan itu. Sejak basis kekuasaan militer di Haiti ambruk tahun 1995, seluruh 19 negara Amerika Latin dan Karibia, minus Kuba, sudah mempraktikkan demokrasi, meski sering diplesetkan sebagai democradura: demokrasi keras. (http.//www.republika.com, 2006). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar