Rabu, 08 April 2009

Potret Demokrasi Pakistan Dibawah Bayang-Bayang Militer (Dari Jenderal Ayub Khan Hingga Jenderal Pervez Musharraf)

Oleh; M.J Latuconsina


Pendahuluan
Tidak seperti tetangganya India yang merupakan negara demokrasi terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Di India, demokratisasi berjalan simultan, salah satu diantaranya terdapat kontrol sipil terhadap militer. Sebaliknya di Pakistan kehidupan demokrasinya mengalami pasang surut. Pasalnya kontestasi untuk meraih kekuasaan bukan menjadi arena politikus sipil semata, tapi militer seringkali masuk dalam arena politik domestik Pakistan. Tak pelak kondisi ini berimplikasi negatif terhadap transformasi kekuasaan melalui mekanisme kudeta, yang sering dilakukan militer terhadap kepemimpinan sipil.
Biasanya kudeta diawali oleh perseteruan antar sesama politikus sipil, yang kemudian berlarut-larut, hingga berdampak pada krisis politik yang hebat, konsekuensi dari kondisi ini mengundang intervensi militer untuk melakukan kudeta guna mengambil alih pemerintahan. Fenomena ini terjadi di era Presiden Zulfikar Ali Bhutto (1971-1973), dimana terjadi konflik politik antara sasama politikus sipil sehingga memaksa Jenderal Zia ul-Haq kemudian menyingkirkan Zulfikar Ali Bhutto dari tampuk kekuasaannya melalui kudeta berdarah pada tahun 1978. 
Nasib serupa dialami Perdana Menteri (PM) Nawaz Sharif (1990-1999), ia dikudeta oleh Kepala Staf Militer Pakistan Jenderal Pervez Musharraf akibat perseteruannya dengan militer di tahun 1999 lalu. Sehingga kemudian Nawaz Sharif diasingkan ke Mesir.(Putra, Budi, 2001). Di era Musharraf Pakistan memasuki episode ketidakpastian baru, dengan krisis politik yang hebat dipertengahan tahun 2007. Tindakan Musharraf memecat Ketua Mahkama Agung Iftikhar Muhammad Chaudry pada 9 maret 2007 lalu, akhirnya berbuntut pada bentrokan senjata antara kubu pendukung pemerintah dan kelompok oposisi yang bersimpati terhadap Chaudry. (Kompas, 13/05/07).
Berbeda dengan era rezim sipil Zulfikar Ali Bhutto dan Nawaz Sharif. Di era Presiden Iskander Mirza (1956-1958) meskipun ia adalah perwira militer yang kemudian menjadi Presiden, ternyata bukan jaminan untuk dapat menstabilakan kondisi Pakistan. Pasalnya ketika itu Pakistan didera ketidakstabilan politik. Mirza kemudian di tahun 1958 menyadari Konstitusi 1956 adalah penyebab ketidakstabilan politik. Ia lantas memberlakukan undang-undang keadaan darurat pada 7 Oktober 1958, dengan maksud untuk memperkenalkan konstitusi baru yang lebih cocok dengan sifat rakyat Pakistan pada bulan November 1958. (http://www.wikipedia.org, 17/05/07).
Tindaklanjut dari pengamanan pemberlakuan UU ini, ia lantas mengangkat Panglima Angkatan Darat Pakistan, Jenderal Muhammad Ayub Khan sebagai administratur keadaan darurat di negara eks koloni Inggris itu. Sayangnya pengangkatan Ayub Khan bukan mengamankan posisi Mirza akibat ketidakstabilan politik dalam negeri Pakistan, sebab Ayub Khan tanpa diduga justru memaksa Mirza mengundurkan diri dalam waktu tiga minggu pasca diberlakukannya UU darurat, dan kemudian ia menyingkirkan Mirza ke Inggris. Ayub Khan lantas dikemudian hari mengangkat dirinya sebagai Presiden pada 27 Oktober 1958, setelah kudeta yang tidak berdarah. (http://www.wikipedia.org, 17/05/07).
Beranjak dari uraian tersebut, dalam tulisan ini akan membahas Militer dan Demokrasi yang di fukuskan pada Potret Demokrasi Pakistan Dibawah Bayang-Bayang Militer, Dari Jenderal Ayub Khan Hingga Jenderal Pervez Musharraf yang mencakup: (a) Transformasi kekuasaan yang di warnai kudeta, (b) Demokrasi dibawah bayang-bayang militer (c) Nawaz Sharif digulingkan Jenderal Musharraf dan (d) Perseteruan Jenderal Musharraf dengan Ketua Mahkama Agung.
A. Transformasi Kekuasaan yang di Warnai Kudeta
Pakistan mendapat kemerdekaan dari Inggris pada 14 Agustus 1947, kendati sudah terlepas dari Inggris, namun kondisi politik domestik di negara itu tidak terlampau kondusif bagi sebuah negara yang berdaulat. Oleh karena itu, 13 tahun sebelum digelarnya pemilihan umum (pemilu) yang pertama, pada 1958 terjadi kudeta militer terhadap Presiden Pakistan Iskander Mirza oleh Panglima Angkatan Darat Jenderal Muhammad Ayub Khan, kemudian pasca kepemimpinan Presiden Ayub Khan pada tahun 1969 Pakistan kembali diperintah oleh Kepala Staf Militer Jenderal Yahya Khan.  
Pada awalnya Yahya Khan memilih menyerahkan kekuasaan pada pemerintahan sipil, mengatur tingkatan untuk pemilu pada 1970 dan di sinilah masalah dimulai. Hasil pemilu menunjukkan perpecahan antara pemilih di Pakistan Timur dan di Barat. Dengan tiadanya 2 pemimpin partai masing-masing (Mujibur Rahman dan Zulfiqar Ali Bhutto) berkehendak menerima yang lainnya sebagai Perdana Menteri Pakistan. Kekerasan-pun terjadi sebagai akibatnya mendorong ia mengirimkan tank ke Pakistan Timur. India datang untuk menolong dan ini mencetuskan penderitaan perang yang berakibat memalukan Pakistan, dan akhirnya terjadilah deklarasi kemerdekaan Pakistan Timur, segera dinamai Bangladesh. Khan kemudian jatuh akibat peristiwa ini sekaligus ia dipaksa menyerahkan kekuasaan pada Zulfiqar Ali Bhutto pada Desember 1971 dan kemudia ia dikenakan tahanan rumah pada 1972. (http://www.wikipedia.org, 17/05/07).
Ketika pemilu digelar pada tahun 1977, Presiden Pakistan kala itu Zulfikar Ali Buttho turut serta dalam pemilu, dengan menggunakan Partai Rakyat Pakistan (PPP) sebagai kendaraan politiknya. Dari pemilu tersebut, ternyata Zulfikar Ali Butho masih membuktikan dirinya sebagai seorang politikus sipil yang pantas memimpin Pakistan. Sebab Partai Rakyat Pakistan yang dinahkodainya berhasil memenangkan pemilu, dengan menguasai sampai 155 dari 200 kursi yang diperbutkan di parlemen. Sayangnya kemenangan itu tidak membuat Ali Butho dapat menjalankan roda pemerintahannya dengan aman, karena antara dia dan kelompk oposisi terjadi rivalitas politik yang hebat. Sehingga kondisi ini tak pelak memicu Zulfikar Ali Butho memerintah Pakistan secara diktator. (http:www//islamlib.com 24/03/04).
Periode Kudeta di Pakistan
  Tahun Pelaku Kudeta Yang di Kudeta Kategori Kudeta
  (1) (2) (3) (4)
  1969 Jenderal Muhammad Ayub Khan Iskander Mirza Militer
  1978 Jenderal Zia ul-Haq Zulfikar Ali Butho Militer
  1999 Jenderal Pervez Musharraf Nawaz Sharif Militer

  Sumber data, http:www//wikipedia.org 2007
Akibatnya krisis politik domestik, Pakistan-pun semakin tidak terkendalikan. Dalam kondisi seperti ini memaksa militer dibawah kepemimpinan Jenderal Zia ul-Haq mengambil alih kekuasaan dengan jalan melakukan kudeta terhadap Zulfikar Ali Butho. Kudeta yang dilakukan Zia ul-Haq adalah kudeta berdarah, sebab ia kemudian menghukum gantung Zulfikar Ali Bhutto dengan tuduhan telah membantai lawan-lawan politiknya. Lantas secara otomatis ia berkuasa menjadi presiden Pakistan pasca kudeta berdarah itu, sejak 16 Septmber 1978 hingga 17 Agustus 1988. Ia mengakhiri jabatannya, karena tewas akibat pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan.
B. Demokrasi Dibawah Bayang-Bayang Militer
 Pasca meninggalnya Jenderal Zia ul-Haq, kondisi politik domestik Pakistan mulai bergerak kearah supremasi kepemimpinan sipil. Hal ini rupanya didukung juga oleh rakyat, yang sejak lama menginginkan kepemimpinan sipil. Seiring dengan perubahan politik domestik Pakistan tersebut, kelompok-kelompok oposisi yang selama ini kritis terhadap kepemimpinan Jenderal Zia ul-Haq, perlahan-lahan mencuat untuk tampil meramaikan panggung politik Pakistan. Baik itu yang berada didalam negeri maupun yang masih berada dipengasingan.
Salah satu dari sekian aktifis politik yang krtis dan selama ini hidup dipengasingan adalah Benazir Bhutto, ia adalah anak sulung Zulfikar Ali Bhutto mantan presiden Pakistan yang digulingkan. Di pengasingan Benazir pemimpin Partai Rakyat Pakistan, partai ayahnya, namun ia tidak dapat membuat kekuatan politiknya dirasakan di Pakistan hingga matinya Jenderal Zia-ul-Haq. (http://www.wikipedia.org, 11/05/07).
Tatkala digelarnya pemilu setelah sepuluh tahun berkuasanya Zia-ul-Haq pada 16 November 1988 partai Benazir, PPP, memenangi jumlah kursi terbanyak di Dewan Nasional. Benazir kemudian diambil sumpahnya sebagai Perdana Menteri sebuah pemerintahan koalisi pada 2 Desember 1988, dan pada usia 35 tahun menjadi orang termuda sekaligus perempuan pertama yang memimpin sebuah negara dengan mayoritas rakyatnya beragama Islam di zaman modern. Sayangnya kepemimpinan Benazir tidak bertahan lama, sebab 20 bulan kemudian ia digulingkan oleh presiden Ghulam Ishaq Khan atas dukungan militer, yang secara kontroversial menggunakan Amandemen ke-8 untuk membubarkan parlemen dan memaksa diselenggarakannya pemilu. 
Ketika diadakan pemilu pasca di gulingkannya Benazir dengan tuduhan korupsi, rupanya tuduhan ini berimplikasi negatif terhadap ia dan PPP, karena partainya kalah dalam pemilu yang diselenggarakan pada bulan Oktober. Ia kemudian menjadi pemimpin oposisi dan untuk sementara Nawaz Sharif menjadi PM.Pakistan selama tiga tahun berikutnya. Tatkala pemilu Oktober 1993 kembali diadakan, akhirnya koalisi PPP berhasil memenangkannya, sehingga Benazir dapat meraih jabatannya hingga 1996. Sayangnya, kali ini pemerintahan Benazir kembali dibubarkan atas tuduhan korupsi oleh Presiden Farooq Leghari, yang kembali menggunakan kekuasaan pertimbangan khusus yang diberikan oleh Amandemen ke-8.
C. Nawaz Sharif Digulingkan Jenderal Musharraf
 Banyak pengamat Pakistan memprediksikan Pakistan pasca Jenderal Zia ul-Haq, akan mengalami transisi demokrasi ke tangan pemerintahan sipil dengan sukses. Sebab pasca Perang Dingin dipastikan militer dinegara itu, tidak akan masuk lagi dalam arena politik domestic, seperti pengalaman di era Perang Dingin dulu. Apalagi setelah meninggalnya Jenderal Zia ul-Haq ada optimisme bahwa, transisi kekuasaan di negara eks koloni Inggris itu akan senantiasa berada ditangan sipil. Optimisme dari pengamat Pakistan tersebut tidaklah berlebihan, sebab setelah meninggalnya Jenderal Zia ul-Haq, Pakistan dipimpin oleh PM. Benazir Bhuto dan Nawaz Sharif, yang mengawali kekuasaan mereka dengan cara-cara demokratis melalui pemilu.
Rupanya perkiraan itu meleset, karena tatkala pada tahun 1997, Nawaz Sharif terpilih menjadi perdana menteri setelah Partai Liga Muslimin Pakistan yang dipimpinnya memenangkan pemilu dengan mayoritas besar. Partai ini mendapatkan cukup kursi di parlemen, dimana cukup memiliki kekuatan mengubah konstitusi dengan Amandemen ke-14 Konstitusi Pakistan. Sehingga akan menghapuskan checks and balances demi membatasi kekuasaan perdana menteri.
Oleh karena itu, di era Sharif terjadi ketegangan antara ia dan militer. Dimana militer memberi alasan untuk mempercayai pasukan, tetapi ternyata merencanakan kudeta. Tantangan terhadap kekuatannya kian meningkat, Presiden (sipil) Farooq Leghari dan Ketua Mahkamah Agung Sajjad Ali Shah dipaksa mundur. Ketua Mahkamah Agung mengundurkan diri setelah Gedung Mahkamah Agung diserbu oleh pendukung-pendukung Sharif. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Jehangir Karamat mengusulkan dibentuknya Dewan Keamanan Nasional sebagai forum interaksi antara para pemimpin sipil dan para kepala staf militer. Karamat kemudian dipecat oleh PM. Sharif dan selanjutnya ia menunjuk Jenderal Pervez Musharraf untuk menggantikannya. (http://www.google.co.id, 11/05/07).
Ternyata naiknya Musharraf persoalan justru semakin meruncing, karena pada 12 Oktober 1999, Sharif berusaha memecat Musharraf dan mengangkat Direktur Intelijen Antar-Angkatan Khwaja Ziauddin untuk menggantikannya. Upaya pemecatan yang dilakukan PM.Sharif terhadap Musharraf ditolak para jenderal senior Angkatan Darat. Musharraf yang ketika dipecat tengah berada di luar negeri, ia kemudian berusaha kembali ke Pakistan dengan menumpangi pesawat komersial. PM. Sharif lantas memerintahkan Bandara Karachi diblokade guna mencegah pendaratan pesawat yang tengah ditumpangi Musharraf. Akibatnya pesawat komersial yang ditumpangi Musharraf kemudian berputar-putar di udara Kota Karachi. Atas upaya militer Pakistan yang akhirnya dapat mengambil alih bandara barulah pesawat yang diumpangi Musharraf dapat mendarat dengan mulus.
Pesawat itu mendarat hanya dengan bahan bakar yang tersisa cukup untuk beberapa menit saja dan Musharraf kemudian mengambil alih pemerintahan dari Sharif melalui kudeta. Dengan posisinya sebagai Kepada Eksekutif, Musharraf menjadi Kepala Pemerintahan de facto. Ia memiliki kekuasaan yang luas di Pakistan setelah sebuah kudeta tidak berdarah pada 12 Oktober 1999. Sharif dikenai tahanan rumah dan diasingkan ke luar negeri. Sehingga Presiden Muhammad Rafiq Tarar yang menjabat sejak 1 Januari 1998 harus mengakhiri jabatannya pada 20 Juni 2001. Sejak itu, selain sebagai Kepala Eksekutif, secara resmi ia mengangkat dirinya sebagai Presiden. Ini terjadi hanya beberapa hari sebelum kunjungan yang dijadwalkan ke Agra untuk pembicaraan dengan India. (http://www.google.co.id, 11/05/07).
D. Perseteruan Jenderal Musharraf Dengan Ketua MA
 Setelah sukses menyingkirkan Sharif dari jabatannya selaku PM.Pakistan. Musharraf kemudian melibas kekuatan kekuatan oposisi yang berasal dari Nawaz Sharif dan Benazir Bhuto. Sayangnya upaya ini tidak maksimal, karena mitra Muzharraf PM. Zafarullah Khan Jamali mengundurkan diri. Penguduran Jamali karena ia gagal menguasai anggota oposisi di parlemen, terdiri dari aliansi enam partai konservatif yang dipimpin Benazir Bhutto yang seringkali melawan Musharraf dengan tudingan menghambat proses demokrasi. (Suara Merdeka, 27/06/ 2004).
 Rupanya Musharraf tidak hanya melibas kekuatan-kekuatan lama yang mencoba menghambat kepemimpinannya, tapi Ketua Mahkama Agung Iftikhar Muhammad Chaudry kali ini tidak luput dari bidikannya. Dengan tuduhan penyalagunaan kekuasaan kemudian secara semena-mena Musharraf memecat Chaudry pada 9 Maret 2007 lalu. Padahal seperti diduga sebelumnya bahwa pemecatan itu bermotif politik, sebab ada kekuatiran Musharaaf bahwa Chaudry akan menghalangi niatnya menjadi presiden untuk ketiga kalinya, dengan mengubah konstitusi guna melucuti posisi rangkap Musharraf sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Pakistan.
 Dibalik kegigihan Musharraf merangkap jabatan Panglima Angkatan Bersenjata Pakistan itu, sebenarnya merupakan alasan politik yang digunakannya untuk tetap mengendalikan Angkatan Bersenjata Pakistan. Tentu Musharraf memiliki kalkulasi politik untuk kemudian menggunakan Angkatan Bersenjata Pakistan dalam rangka mempertahankan kekuasaanya selaku Presiden. Dimana terdapat kekuatiran jika ia melepaskan jabatan Panglima Angkatan Bersenjata, suatu saat ia bisa dilucuti kekuasaannya oleh Angkatan Bersenjata yang dikomondai panglima baru, kalau sewaktu-waktu stabilitas politik domestik Pakistan memburuk, sehingga ia bisa digantikan dengan rezim yang baru. (Suara Merdeka, 27/06/ 2004).
Penutup
Peralihan kekuasaan yang sering dilakukan melalui kudeta militer di Pakistan, rupanya tidak berakhir sampai dengan masa Jabatan Jenderal Ayub Khan dan Jenderal Zia ul-Haq. Sebab tatkala dua pemerintahan sipil berkuasa di bawah kepemimpinan PM. Benazir Bhuto dan PM. Nawaz Sharif justru ambisi militer tetap kuat untuk berkuasa di negara eks koloni Inggris itu. Hal ini bisa dilihat dari :
Pertama, setelah naiknya Benazir Bhuto sebagai PM Pakistan pada 2 Desember 1988, ia tidak bertahan lama, sebab 20 bulan kemudian Benazir digulingkan oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan yang didukung militer, dimana Khan, secara kontroversial menggunakan Amandemen ke-8 untuk membubarkan parlemen dan memaksa diselenggarakannya pemilu.
Kedua, dalam pemerintahan PM. Nawaz Sharif, tatkala ia berselisih pendapat seputar penyelesaian kelompok separatis dengan Jenderal Pervez Musharraf-pimpinan militer Pakistan pada 1999 beberapa bulan setelah Perang Kargil. Perseteruan keduanya berakhir dengan digulingkannya PM. Nawaz Sharif dari kekuasaannya
Dari dua kasus tergulingnya dua PM Pakistan itu, ternyata militer memiliki andil yang cukup besar untuk menurunkan keduanya dari posisi mereka selaku perdana menteri. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam politik domestik Pakistan terdapat kendala krusial dalam mewujudkan demokratisasi. Apalagi kasus terakhir dari tindakan Jenderal Musharraf memecat Ketua Mahkama Agung Iftikhar Muhammad Chaudry. Semakin memperlihatkan bahwa militer Pakistan di bawa kepemimpinan Jenderal Musharraf enggan membiarkan transformasi pemerintahan melalui cara-cara yang demokratis. Tak pelak hal ini semakin menegaskan bahwa di Pakistan pelaksanaan demokrasinya masih dibawah bayang-bayang militer. Sehingga kondisi ini menjadi hambatan yang serius bagi transisi demokrasi secara berkesinambungan di Pakistan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar