Rabu, 08 April 2009

ISU AGAMA DAN ISU ETNIS

Tidak henti-hentinya para tokoh agama di Maluku memberikan himbauan moral, agar pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang dilaksanakan di daerah ini, dapat menghindari penggunaan isu agama dan isu etnis. Dimata para tokoh agama, penggunaan isu agama dan isu etnis dikhwatirkan akan dapat menjadi pemicu terjadinya konflik horisontal, antara komunitas agama dan komunitas etnis di daerah ini. Salah satu himbauan moral tersebut disampaikan Uskup Amboina Mr. PC Mandagi, MSC. 
Isu Agama dan Isu Etnis  
Himbauan itu disampaiakan dipenghujung bulan lalu, pada Harian Ambon Ekspres (29/4/2008). Dimana Mr. PC Mandagi, MSC mengingatkan seluruh calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub), tim sukses dan partai pendukung dalam pelaksanaan pilkada langsung Maluku, untuk tidak menggunakan isu agama dan isu etnis hanya untuk meraih kekuasaan. Dalam pernyataan tersebut, Mr. PC Mandagi, MSC mengajak semua masyarakat Maluku terutama tokoh agama untuk menjaga kesucian agama.  
 Pernyataan Uskup Amboina tersebut, perlu dimaknai dalam perspektif governance dan manajemen konflik politik, dimana jika isu agama dan isu etnis hanya digunakan oleh cagub dan cawagub, tim sukses dan partai politik pengusung dalam pilkada langsung untuk melakukan kampanye negativ (negative campaign), dengan mendeskreditkan agama dan etnis yang dianut rival politik mereka, dikhwatirkan akan memicu kesalapahaman antar masa pendukung cagub dan cawagub, yang akan berdampak pada terjadinya konflik horisontal antara komunitas agama dan komunitas etnis di daerah ini. 
 Rakyat Maluku selaku konstituen pilkada langsung, tentu tidak menginginkan terjadinya konflik horisontal lagi. Sebab konflik horisontal hanya menyisahkan kerugian yang diderita oleh rakyat Maluku. Karena itu pernyataan Mr. PC Mandagi, MSC tersebut, perlu diimpelementasikan oleh cagub dan cawagub, tim sukses dan partai politik pengusung. Sehingga dapat digunakan sebagai rambu-rambu politik dalam pilkada langsung Maluku, yang akan dilaksanakan pada 9 Juli 2008 mendatang. 
Ditinjau dari aspek governance dan manajemen konflik politik, Pangabean (2007) mengatakan, konflik akan selalu ada sampai kapan-pun. Dimana tidak bisa dihilangkan, namun perlu dikelola. Pengelolaan konflik biasanya menggunakan lembaga-lembaga formal dan non formal. Lembaga-lembaga formal yang digunakan untuk pengelolaan konflik seperti; kepolisian, kehakiman dan lembaga non formal seperti; lembaga-lembaga adat dan sebagainya. 
Keuskupan Amboina sebagai bagian dari kelompok kepentingan (interest group), yang masuk kategori dalam kelompok institusional, tentu sudah pada tempatnya berperan dalam pilkada langsung Maluku melalui kehadirannya di ruang publik, dengan himbauan-himbauan moral dalam rangka mengelolah konflik politik pada pentas politik lokal di Maluku. Bahkan sebagai bagian dari lembaga formal, tentu Keusukupan Amboina memiliki peran untuk turut mengelola konflik politik dilevel lokal. 
Electoral Behaviour
Penggunaan isu agama dan isu etnis, yang terkait dengan negative campaign dalam pendekatan governance dan manajemen konflik politik, tentu akan bertolak belakang dengan pendekatan electoral behaviour (perilaku memilih). Pasalnya dalam pendekatan governance dan manajemen konflik politik, penggunaan isu agama dan isu etnis yang terkait dengan negative campaign dalam pilkada langsung Maluku perlu dihindari, karena dikhwatirkan akan menjadi pemicu terjadinya konflik horisontal, antara konstituen yang terhimpun dalam komunitas agama dan komunitas etnis.  
Sementara dalam pendekatan electoral behaviour penggunaan isu agama isu etnis, sepanjang tidak berkaitan dengan kegiatan negative campaign antara sesama cagub dan cawagub, dimana merupakan bagian dari strategi politik untuk meraih suara pemilih, dari segmentasi pemilih primordial agama dan etnis, tentu relevan digunakan oleh cagub dan cawagub, tim sukses bersama partai politik pengusung pada pilkada langsung Maluku. Pasalnya, dalam pendekatan electoral behaviour identitas sosial pemilih yang mencakup agama dan etnis memiliki pengaruh, yang signifikan terhadap pembentukan perilaku memilih konstituen. 
Dimana dalam pendekatan sosiologis (Sociological School), yang sering disebut Mazhab Columbia (The Columbia School of Electoral Behaviour), menyebutkan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial seperti; usia (tua-muda), jenis kelamin (pria-wanita), agama, pekerjaan, latarbelakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kelompok formal, informal dan lainnya memberi pengaruh cukup signifikan terhadap pembentukan perilaku pemilih. (Nursal, Ridwan, 2004& Erawan, 2007).
Sehingga ikatan primordial yang mencakup agama dan etnis, yang di miliki pemilih di Maluku, kerap digunakan cagub dan cawagub, tim sukses dan partai politik sebagai bagaian dari strategi politik, dalam rangka menggalang dukungan suara pemilih pada pilkada langsung Maluku. Sebab preferensi politik pemilih dalam pilkada langsung Maluku akan cenderung memilih figur cagub dan cawagub, yang didasari background agama dan etnis yang sama dengan mereka. 
Karena itu, dalam pilkada langsung Maluku akan ditemui seorang pemilih beragama Kristen dari Negeri Alang, dan seorang pemilih keturunan Arab dari Negeri Larike di Kabupaten Maluku Tengah, mencoblos paket RASA dalam pilkada langsung. Preferensi politik kedua pemilih yang mencoblos paket RASA, karena terdapat pertautan agama dan etnis antara pemilih dengan paket RASA. Begitu-pun seorang pemilih Muslim dari Negeri Pelau dan seorang pemilih dari Babar yang telah menetap di Kota Ambon akan mencoblos paket TULUS dalam pilkada langsung, karena kedua pemilih tersebut memiliki background agama dan etnis yang sama dengan paket TULUS.
Pengaruh agama dan etnis yang kuat terhadap preferensi politik pemilih dalam pilkada langsung, bukan saja digunakan sebagai strategi politik untuk mendulang suara pemilih oleh cagub dan cawagub. Tapi dalam pola rekruitmen politik cagub dan cawagub yang dilakukan oleh partai politik, juga didasari oleh background agama dan etnis yang melekat pada figur cagub dan cawagub. Hal ini, merupakan salah satu upaya yang tempuh oleh partai politik, untuk menarik segmentasi pemilih agama dan etnis yang memiliki suara cukup dominan di Maluku.
Cagub dan cawagub, tim sukses bersama partai politik pengusung akan tetap menggunakan isu agama dan isu etnis, sebagai bagian dari srategi politik untuk meraih dukungan dari pemilih dalam pilkada langsung Maluku. Karena, preferensi politik pemilih di Maluku, sebagian besar akan didasarkan pada pilihan yang mengarah kepada pendekatan sosiologis, disamping pilihan yang mengarah kepada pendekatan psikologis, rational dan pendekatan marketing. Namun guna memanajemen konflik politik di level lokal, maka penggunaan isu agama dan isu etnis perlu menjauh dari kegiatan-kegiatan negative campaign, dengan motif mendeskreditkan agama dan etnis cagub dan cawagub demi meraih dukungan pemilih dalam pilkada langsung Maluku.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar