Senin, 12 Juli 2010

Media Demokrat Untuk Demokrasi (dari Refleksi Hut Ameks ke-11)

Oleh : M.J Latuconsina

“media massa memegang peranan penting
sebagai katalisator dalam masyarakat.” -Lasswell-

Ditengah upaya pembangunan politik state di level lokal, kehadiran media massa dengan karakter demokrat sangat diperlukan. Pasalnya dengan tipologi media massa yang demokrat, akan mampu menjadi katalisator bagi upaya pencapaian demokrasi di aras lokal. Hal ini dikarenakan, dalam bidang politik media massa dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen strategis dalam menyampaikan isi politik, dan pendidikan politik kepada publik.
Hal demikian rill tergambar di Maluku, dimana peran media massa dengan karakter demokrat tampil secara intens menjadi katalisator bagi upaya pencapaian demokrasi di pentas lokal. Hal ini ditandai dengan partisipasi aktif media massa, yang tampil menjadi salah satu instrumen strategis dalam menyampaikan isi politik, dan pendidikan politik dari elite politik kepada rakyat, dan dari rakyat kepada elite politik.
Fenomena ini kita temui pada Harian Pagi Ambon Ekspres, yang berpartisipasi aktif dimana tampil menjadi salah satu instrumen dalam menyampaikan isi politik, dan pendidikan politik dari elite politik kepada rakyat, dan dari rakyat kepada elite politik di Maluku. Hal ini dilakukan Harian Pagi Ambon Ekspres seiring dengan semakin kondusifnya Maluku, setelah mengalami konflik kemanusiaan di tahun 1999 lalu.
Karena itu, upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi Maluku pasca konflik kemanusiaan bukan hanya dilakukan secara fisik semata. Namun juga dilakukan secara non fisik melalui pembangunan politik yang berkesinambungan, dengan tujuan untuk pencapaian demokrasi di Maluku. Pembangunan politik dimaksud, salah satunya melalui pelaksanaan agenda-agenda demokrasi dilevel lokal, yang secara periodik dilakukan di daerah ini.
Seperti penyelenggaraan Pemilu 2004 hingga Pemilu 2009 serta pelaksanaan Pemilukada di sepuluh kabupaten/kota sejak 2005 hingga 2010. Tentu perkembangan agenda-agenda demokrasi ditingkat lokal, baik general election dan local election, tidak bisa diterima khalayak di Maluku secara baik tanpa pemberitaan media massa. Dalam kesempataan penyelenggaraan agenda-agenda demokrasi tersebut, Harian Pagi Ambon Ekspres tampil dengan menyugukan berita-berita aktual yang terkait dengan  pelaksanaan event-event demokrasi tersebut.
Sehingga keberhasilan dan kegagalan para kontestan yang tampil dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada dapat diketahui oleh para pemerisa di Maluku. Hal ini merupakan esensi terpenting dari kehadiran Harian Pagi Ambon Ekspres dalam memberitakan moment-moment politik tersebut secara transparan kepada publik di Maluku. Sehingga keingintahuan publik menyangkut    penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada di Maluku dapat terpenuhi secara baik. Melalui aktifitas pemberitaan ini juga, akan  memperkokoh peran staregis Harian Pagi Ambon Ekspres sebagai salah pilar demokrasi di Maluku.  
Diluar itu, Harian Pagi Ambon Ekspres juga tampil sebagai salah satu katalisator yang memiliki pengaruh signifikan bagi upaya pencapaian demokrasi di pentas lokal, karena memiliki kemampuan bersinergi dengan elemen-elemen demokrasi lainnya di ranah lokal seperti ; partai politik, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, organisasi kepemudaan, organisasi massa, dan berbagai elemen demokrasi lainnya, yang konsisten bagi upaya pencapaian demokrasi di Maluku.
Salah satu sinergitas itu kita lihat tatkala Harian Pagi Ambon Ekspres, bersama dengan elemen-elemen demokrasi tersebut, memperjuangkan kepentingan rakyat. Dimana ketika kebijakan-kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), dan Tarif Angkutan Umum (Angkot) yang dibuat eksekutif dan disetujui oleh legislatif, tidak berpihak kepada rakyat. Para mahasiswa, organisasi kepemudaan, dan organisasi massa, yang simpati terhadap rakyat melakukan demonstrasi, dengan tuntutan kepada pihak eksekutif dan legislatif, untuk meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang tidak populis itu.
Peristiwa-peristiwa politik ini kemudian di ekspos Harian Pagi Ambon Ekspres kepada khalayak di Maluku. Efek dari pemberitaan Harian Pagi Ambon Ekspres terhadap kenaikan tarif BBM, TDL dan tarif Angkot tersebut, turut mempengaruhi pihak eksekutif dan legislatif untuk meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang tidak pupulis tersebut. Pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang tidak pupulis itu, direvisi dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat oleh pihak eksekutif dan legislatif.
Hal urgen yang tidak kalah penting, yang juga dilakukan Harian Pagi Ambon Ekspres yakni, dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Maluku yang kian marajalela. Dimana melalui pemberitaannya, Harian Pagi Ambon Ekspres turut membantu aparat penegak hukum seperti; Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan di Maluku dalam mengusut para pelaku tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para elite pemerintahan di daerah ini.
Karena itu, kita perlu memberikan apresiasi positif terhadap upaya yang dilakukan Harian Pagi Ambon Ekspres dalam memberitakan para pelaku tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme di daerah ini. Pasalnya, upaya yang dilakukan Harian Pagi Ambon Ekspres tersebut, merupakan salah satu cara untuk mengamputasi metamorfosis para pelaku tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme di daerah ini menjadi sindikat mafia korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dimana jika dibiarkan akan dapat berpengaruh negatif terhadap kredebilitas state dilevel lokal dimata rakyat. Tentu upaya Harian Pagi Ambon Ekspres tersebut perlu secara intens dilakukan. Sehingga berdampak positif terhadap penciptaan strong government, dalam upaya pencapaian good government, dan clean government di pentas lokal di Maluku. Jika hal ini dapat terlaksana dengan baik, diharapkan akan mampu melapangkan jalan bagi upaya pencapaian demokrasi di level lokal di Maluku.
Pasalnya anggaran yang dikeluarkan state akan terdistribusi secara merata kepada rakyat, tanpa dikorupsi oleh penyelenggara state. Sehingga anggaran yang dikeluarkan state tersebut, akan menjadi self-supporting bagi upaya penciptaan kesejahteraan rakyat di daerah ini. Pada akhirnya kebutuhan mendasar yang diperlukan rakyat di daerah ini akan dapat dipenuhi secara baik oleh state. Dimana optimisme untuk pencapaian welfare state di tingkat lokal akan dapat dipenuhi pula.
Pada 12 Juli 1999 Harian Pagi Ambon Ekspres didirikan, pada  12 Juli 2010 usia Harian Pagi Ambon Ekspres telah mencapai 11 tahun, suatu usia yang masih tergolong muda bagi kiprah Harian Pagi Ambon Ekspres dalam dunia persurat kabaran di Maluku. Meski demikian sikap kritis, dan tajam dalam pemberitaan berbagai peristiwa di daerah ini, selalu menjadi ciri khas Harian Pagi Ambon Ekspres, karena itu merupakan harapan dari khalayak pembaca di Maluku.
Pasang surut Harian Pagi Ambon Ekspres dalam bidang persurat kabaran di Maluku, baik dimasa-masa kritis ketika konflik kemanusiaan melanda daerah ini sudah dilewati, sampai dengan kondusifnya daerah ini dari konflik kemanusiaan tengah  dijalani. Suatu pertanda eksistensi Harian Pagi Ambon Ekspres dalam dunia persurat kabaran di Maluku, yang hingga kini masih tetap kokoh. Dirgahayu Harian Pagi Ambon Ekspres yang ke-11 semoga selalu menjadi sumber informasi, dan inspirasi bagi kemajuan Maluku, serta menjadi media demokrat untuk kemajuan demokrasi di Maluku.

Rabu, 07 April 2010

Sekolah itu Anarkis

Oleh; M.J Latuconsina

”Rakyat bisa cerdas apabila hak-hak
mereka dihormati dan seluruh partisipasi
dan emansipasi mereka diakui..”-Y.B. Mangunwijaya-

Sampai saat ini rakyat masih menaruh harapan besar kepada sekolah, dalam persepsi rakyat sekolah merupakan salah satu media, yang urgen untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sekaligus merupakan salah satu wahana guna memperoleh pencerdasan, dan pencerahan. Sehingga rakyat awalnya tidak memahami suatu ilmu pengetahuan, menjadi memahami suatu ilmu pengetahuan melalui proses belajar di sekolah. Pentingnya sekolah membuat rakyat begitu antusias, meluangkan waktu untuk menimbah ilmu pengetahuan melalui proses belajar di sekolah.   
Bahkan sampai saat ini, rakyat juga masih menaruh harapan besar kepada sekolah, dalam pemahaman rakyat jika mereka memiliki tingkat sekolah yang rendah, akan berdampak buruk terhadap penindasan dan kemiskinan yang akan dialami mereka. Karena itu, sekolah merupakan salah satu jalan terbaik untuk bisa mengeluarkan rakyat, dari keterkungkungan penindasan dan kemiskinan ke arah pembebasan, sekaligus akan mampu menyadarkan rakyat dalam keseluruhan sistem perubahan sosial.
Melalui sekolah pula akan membuat rakyat sukses dalam meraih cita-cita yang mereka inginkan. Sehingga jalan untuk dapat meningkatkan taraf hidup rakyat, ke arah yang lebih baik lagi dapat tercapai. Hal ini didasari oleh pandangan positif rakyat bahwa, dengan sekolah rakyat akan memiliki kualifikasi kelulusan dalam bentuk ijazah, dimana dengan ijazah tersebut dapat digunakan rakyat untuk memperoleh pekerjaan, pada instansi pemerintah dan instansi swasta.  
Guna menyambut antusiasme rakyat akan kebutuhan sekolah itu, maka pihak-pihak (pemerintah/swasta) yang memiliki kepentingan langsung dengan proses aufklarung kepada rakyat, berupaya dengan merogoh kocek ratusan hingga miliaran rupiah untuk meningkatkan jumlah sekolah, maupun mutu sekolah. Hal ini diikuti pula dengan kemampuan finansial dari para siswa untuk membiayai studi mereka di sekolah, yang disediakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan langsung dengan proses pencerdasan, dan pencerahan terhadap rakyat tersebut.
Meningkatkan jumlah sekolah maupun mutu sekolah, diharapkan akan bisa memiliki output yang maksimal terhadap para generasi muda yang lulus dari sekolah tersebut. Melalui upaya ini, akan juga memiliki output yang optimal, bagi instansi pemerintah dan instansi swasta dalam menerima lulusan-lulusan sekolah, yang memiliki kualifikasi yang terbaik. Dimana pada akhirnya lulusan-lulusan sekolah, yang memiliki kualifikasi yang terbaik itu, akan mampu meningkatkan kinerja dari instansi-instansi tersebut tatkala mereka bekerja disana.
Dibalik kebutuhan sekolah oleh rakyat tersebut, terdapat esensi penting dari keikutsertaan rakyat di sekolah. Hal ini sebagaimana dikemukakan Imam Bernadib (1983), yang terkenal melalui karyanya; “Pendidikan Baru” mengatakan bahwa, sekolah akan membentuk kepribadian, dan pengembangan seorang sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk keagamaan. Kesemuanya itu, menghendaki adanya perkembangan individu, menjadi mahluk yang seimbang dan berimbang, maka setiap ajang pendidikan hendaklah memberikan kemungkinan bagi berlangsungnya proses untuk mencapai tujuan yang diharapkan.  
Diluar nilai-nilai luhur sekolah tersebut, ternyata sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang netral, bagi rakyat yang membutuhkannya. Pasalnya mereka-mereka yang memiliki tangunggjawab untuk mengelolah sekolah demi kepentingan rakyat, justru telah tampil secara sektarian dalam mengelolahnya, hanya untuk kepentingan mereka sendiri dan cenderung mengabaikan kepentingan bersama, dalam proses pencerdasan dan pencerahan rakyat. Hal ini diperburuk lagi dengan upaya mengabaikan nilai-nilai pluralisme, dan humanisme di lingkungan sekolah.
Jika demikian yang terjadi, tentu sekolah itu adalah anarkis, karena sekolah hanya menyiapkan siswa-siswa yang hanya berpikir sektrian, yang lambat-laun akan memicu para siswa untuk melakukan tindakan huru-hara, akibat sering terjadinya disharmonisasi dilingkungan sekolah. Hal ini dilakukan para siswa sebagai rasa ketidakpuasan mereka, dari tidak netralnya sekolah itu sendiri. Dalam posisi seperti ini, betapa sekolah telah mengingkari jati dirinya sebagai salah satu institusi vital, yang memiliki nilai-nilai luhur dalam upaya pencerdasan dan pencerahan rakyat. 
Tak pelak sekolah telah terperosok ke jurang nista, karena hanya menjadi semaian dari nilai-nilai anarkisme dan sektarianisme bagi para siswa. Akhirnya output dari sekolah itu sendiri gagal dalam menyamaikan nilai-nilai pluralisme, dan humanisme kepada para siswa. Tentu hal itu adalah raelitas sosial yang cukup memperihatinkan, karena sekolah yang mestinya menyamaikan nilai-nilai pluralisme, dan humanisme justru gagal menyamaikannya kepada para siswa. Kalau model sekolah seperti ini tetap dipertahankan, maka kita tidak bisa berharap banyak bagi upaya pencerdasan dan pencerahan rakyat.
Fenomena sekolah yang demikian oleh Ivan Illich (1982), yang populer melalui karya monumentalnya ; “Bebas dari Sekolah” mengatakan  sebagai anti edukasi terhadap masyarakat. Wajar jika dikatakan fenomena sekolah seperti itu. Karena realitas sosial masih menampatkan sekolah sebagai tempat belajar yang tidak lagi netral. Dimana sekolah memiliki hidden ideologi, yang tidak lagi mempunyai tujuan guna pencerdasan dan pencerahan rakyat, tapi sekolah telah tampil sebagai neo imprealisme, karena hanya menjadi wahana bagi penyamaian sektarianisme, yang pada akhirnya berbuah anarkisme.
Karena itu, mestinya sekolah netral bagi kepentingan pencerdasan dan pencerahan rakyat. Implementasi nilai-nilai yang netral ditengah-tengah proses belajar di sekolah, tentu akan menjadi pendorong utama bagi keberhasilan sekolah dalam upaya pencerahan, dan pencerdasan rakyat. Untuk itu, sekolah perlu dipandang sebagai tempat ideal dalam membentuk kepribadian, dan pengembangan seorang sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk keagamaan. 
Jika nilai-nilai ideal sekolah lebih dikedepankan dalam proses belajar di sekolah, maka sekolah tidak akan lagi anarkis, yang hanya menjadi semaian bagi huru-hara para siswa, tapi sebaliknya sekolah akan memiliki output yang positif dalam upaya pencerahan, dan pencerdasan rakyat, sekaligus akan memiliki output yang positif pula bagi tumbuhnya nilai-nilai pluralisme, dan humanisme dilingkungan sekolah. Karena itu, “tidak ada kata tidak” untuk memposisikan sekolah sebagai tempat belajar yang netral bagi para siswa.

Border

Oleh : M.J Latuconsina

Seseorang tidak bisa menolak menjadi Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa meminta untuk menjadi Jawa, Batak atau Melayu dan sebagainya. Predikat tersebut menjadi sesuatu yang taken for granted sedari awal penciptaan kelahiran.

Sukses pemekaran yang diraih suatu daerah menjadi daerah otonom baru, menjadi spirit awal bagi rakyat di daerah-daerah, yang sebelumnya termarginalkan dalam pembangunan, guna mengejar ketertinggalan pembangunan. Karena itu, ketika suatu daerah berhasil dimekarkan menjadi daerah otonom baru, hal itu menandakan kepercayaan yang diberikan pemerintah pusat, kepada daerah-daerah yang sebelumnya terpinggirkan dalam pembangunan, untuk mengatur dan mengurus rumah tanggahnya sendiri.
Dibalik sukses pemekaran yang dicapai suatu daerah menjadi daerah otonom baru tersebut, seringkali tidak diikuti dengan keberhasilan dalam menuntaskan berbagai problem, yang dihadapi daerah otonom baru tersebut pasca dimekarkan dari daerah induknya. Hal ini dikarenakan terdapat beragam persoalan, yang menghadang setelah daerah otonom baru itu dimekarkan, yakni ; polemik letak ibukota, minimnya aparatur pemerintahan, minimnya infrastruktur pemerintahan, kepala daerah, kepemilikan aset dan polemik tapal batas (border).     
Berbagai persoalan tersebut, adalah sedikit dari sejumlah problem, yang seringkali menimpa daerah otonom baru, baik itu di level kabupaten dan kota di beberapa daerah di tanah air. Munculnya  sejumlah problem ini, sering tidak dapat diantisipasi sejak awal oleh daerah, yang hendak dimekarkan menjadi daerah otonom baru. Pasalnya, euforia pemekaran yang menghinggapi aktor-aktor, yang memiliki kepentingan langsung dengan pemekaran tersebut, menjadi salah satu penyebab mereka lalai mengantisipasinya.
Yang terpikirkan oleh aktor-aktor tersebut, adalah dimekarkan dulu daerah mereka menjadi daerah otonom, baru berbagai persoalan itu dituntaskan dikemudian hari. Padahal, tanpa sadar sejumlah problem ini menjadi bom waktu, yang seringkali bergejolak dikemudian hari. Sehingga kerap berdampak terhadap disharmonisasi daerah induk dengan daerah yang baru dimekarkan tersebut. Apalagi daerah yang baru dimekarkan itu, selama  menjadi bagian dari wilayah daerah induk, merasa termarginalkan, tentu akan sangat rawan terjadinya disharmonisasi.
Hal ini diperburuk lagi dengan teritorialisasi identitas etnis, yang kerap menjadi penyebab suatu daerah dimekarkan menjadi daerah otonom baru dari daerah induknya. Tentu faktor ini akan rawan menyulut disharmonisasi, akibat beberapa problem yang menghinggapi daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut. Tak pelak politik identitas etnis, akan terbawa-bawa dalam sengketa antara daerah yang baru dimekarkan dengan daerah induknya. Fenomena seperti ini, sudah banyak terjadi di sejumlah daerah di tanah air.
Salah satu persoalan crucial, yang seringkali menimpa daerah otonom, yang baru dimekarkan adalah menyangkut border. Dimana daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut, kerap berseteru dengan daerah induknya menyangkut border. Apalagi terdapat basis etnis yang homogen dari aspek bahasa dan agama, yang kebetulan sebagian kecil terdistribusi mengikuti daerah induk, dan sebagian besar terdistribusi mengikuti daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut, tak pelak akan mudah memicu terjadinya disharmonisasi.
Pasalnya perasaan ‘kekitaan’ yang menghinggapi etnis, yang sebagian kecil terdistribusi mengikuti daerah induk, terhadap etnis mereka yang sebagian besar terdistribusi mengikuti daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut sulit terbendung. Akibatnya keinginan untuk bergabung dengan saudara-saudara mereka, yang se-etnis di daerah yang baru dimekarkan tersebut, sering menjadi penyebab konflik border antara daerah induk dan daerah otonom yang baru dimekarkan.   
Fenomena ini, menandai kesalahan interpretasi rakyat di daerah terhadap esensi dari pemekaran daerah otonom itu sendiri. Menyangkut fenomena ini, Daniel Sparringa (2007) dalam tulisannya yang berjudul;‘Transisi Demokrasi di Indonesia: Menstrukturkan Sebuah Peta Jalan Baru’ mengatakan bahwa, pembentukan daerah-daerah administratif di beberapa wilayah memperlihatkan sekaligus terjadinya teritorialisasi identitas. Teritorialisasi identitas sering merupakan awal dari regrouping kultur atas dasar wilayah yang dalam praktiknya dapat mengambil wajah terbentuknya daerah otonom.
Celakanya, muncul keinginan esklusif yang tumbuh secara alamiah dari etnis-etnis yang homogen dari aspek bahasa dan agama tersebut. Ditandai dengan keinginan mereka tetap menjadi satu, dan enggan tercerai-berai dari komunitas etnisnya. Sehingga tatkala pemerintah melalui DPR-RI mensahkan suatu daerah otonom baru, yang disertai dengan border administratif wilayahnya melalui undang-undang pemekaran, seringkali termentahkan. Yang terjadi adalah perlawanan dari etnis-etnis itu, dimana mereka menuntut kepada pemerintah, untuk bergabung dengan daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut.
Fenomena ini seakan mengugurkan kenyataan rill bahwa, kita inklusif dari aspek etnis. Selaku rakyat mestinya kita taat terhadap border administratif wilayah daerah otonom baru, dan daerah otonom lama, yang telah disahkan oleh DPR-RI melalui undang-undang pemekaran. Bukan karena perbedaan etnis lantas kita dapat berbuat sewenang-wenang, untuk kemudian melawan border administratif wilayah daerah otonom lama, yang telah disahkan oleh DPR-RI melalui undang-undang pemekaran, dengan mengatasnamakan ingin bergabung dengan daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut.   
Cara-cara seperti ini, hanya akan membuat kita terbelenggu dalam nilai-nilai primordialisme sempit, dimana tidak menerima kenyataan rill bahwa, kita tercipta dari beragam etnis dan untuk itu kita perlu hidup bersama dalam suasana kemajemukan. Akan realitas kebhinekaan kita tersebut, Ubed Abdilah S (2002) dalam bukunya yang berjudul ; Politik Identitas Etnis, Pergulatan Tanda Tanpa Identitas lantas menyebutkan bahwa, kata etnis sendiri menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau kelompok.
Seseorang atau kelompok yang menjadi Jawa, Bugis, Sunda, Inggris, Belanda atau Afrika mendapat predikat-predikat itu tanpa disadari pada awalnya. Seseorang tidak bisa menolak menjadi Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa meminta untuk menjadi Jawa, Batak atau Melayu dan sebagainya. Predikat tersebut menjadi sesuatu yang taken for granted sedari awal penciptaan kelahiran.
Memaknai kemajemukan secara lahiriah tersebut, tentu jangan karena dilandasi ketidaksukaan terhadap elite di daerah otonom lama, yang berbeda secara etnis lantas secara vulgar kita melakukan perlawanan dengan lebih mengedepankan hard power, untuk meminta bergabung dengan daerah otonom baru, yang kebetulan masih memiliki ikatan etnis yang sama. Mestinya ketidaksukaan terhadap elite di daerah otonom lama, oleh rakyat yang tengah mendiami border administratif wilayah daerah otonom baru itu, dilakukan melalui mekanisme yang konstitusional lewat local election, dengan lebih mengedepankan soft power.     
Dimana jika dalam massa kepemimpinan elite di daerah otonom lama, rakyat tidak merasakan kesejahteraan dan ketentraman. Tentu rakyat memiliki otoritas penuh untuk kemudian melakukan evaluasi kritis terhadap pilihan politik mereka, dalam bentuk ’suara penghukuman’, untuk tidak memilih elite tersebut pada local election lima tahun berikutnya. Mekanisme seperti ini merupakan cara-cara yang konstitusional, dengan lebih mengutamakan nilai-nilai demokratis dalam tatanan kehidupan sosial kita. Ketimbang lebih mengedepankan hard power, yang hanya membuat kita terperangkap dalam mekanisme yang tidak demokratis.