Rabu, 08 April 2009

Memotret Indonesia Dari Maluku

Oleh: M. J Latuconsina 


Pasca reformasi, bangsa Indonesia tersentak oleh kemerdekaan Timor Leste. Kejatuhan rejim otoriter Orde Baru pada Mei 1998, membuat komunitas masyarakat yang mendiami Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai rung politik yang lebih terbuka dan lebih demokratis. Isu-isu keterbukaan politik dan kesejahteraan muncul ke permukaan setelah puluhan tahun terpendam.Ditengah terciptanya ruang politik yang lebih terbuka dan lebih demokratis pasca reformasi tersebut, turut dirasakan rakyat di Provinsi Maluku. Pasalnya rakyat lebih bebas melakukan aktifitas politik tanpa perlu merasa was-was, seperti di era Orde Baru. Sayangnya kondisi politik itu tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1999 terjadi konflik kemunal di Ambon yang menyebar ke berbagai daerah di Maluku.
Dalam keadaan yang tidak pasti ini, jelas tidak ada investor, baik asing maupun domestik yang mau menamkan modalnya. Maka ekonomi kita pun berjalan dengan semboyan asal mengambang saja. Tidak ada gairah untuk membuatnya bergerak maju dengan penanaman-penanaman modal baru yang bisa berkembang di masa mendatang. Hasilnya banyak orang kehilangan pekerjaan, sementara harga kebutuhan hidup semakin meningkat.(Arif Budiman, 2006).Apalagi posisi Maluku yang berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI), menjadikan daerah ini semakin sulit untuk bangkit mengejar ketertinggalan pembangunan pasca konflik kemunal tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya keseriusan dari pemerintah pusat dalam mensuport upaya rehabilitasi, rekonstruksi dan recovery Maluku pasca konflik kemanusiaan.
Bahkan provinsi yang turut melahirkan nation state Indonesia ini, mesti menerima kenyataan pahit. Pasalnya masih tertinggal jauh dalam proses pembangunan, jika dibandingkan dengan provinsi lainnya yang bersama-sama melahirkan nation state Indonesia di tahun 1945 lampau. Tidak sebandingnya kemajuan pembangunan yang dialami Provinsi Maluku yang merupakan salah satu provinsi di KTI dengan provinsi yang berada di Kawasan Indonesia Barat (KBI), disebabkan beberapa indikator; 
Pertama, investasi nasional dan internasional yang menekankan pada efesiensi biaya sebagian besar masih terpusat di KBI, karena kawasan ini mempunyai daya beli yang tinggi secara individual maupun secara kolektif-sosial, kedua, investasi pemerintah dalam sektor prasarana (baik untuk pembangunan maupun pemeliharaan) pun kemudian lebih banyak diarahkan untuk daerah-daerah yang secara nyata menunjukan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. 
Ketiga, manajemen pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah secara umum memang tidak diarahkan untuk memajukan perekonomian KTI secara substansial dan kempat, dari sudut pandang kebijakan ekonomi nasional yang mementingkan pertumbuhan dan kurang mementingkan pemerataan, paradigma pertumbuhan ekonomi telah menjebak pemerintah, swasta dan masyarakat dengan berbagai makro dan mengabaikan realitas-realitas mikro.(Djijowiyoto,2003).
Akibatnya, ketertinggalan pembangunan yang dialami Maluku, juga merupakan bagian dari ketertinggalan pembangunan di tanah air. Untuk itu, upaya memotret Indonesia dari Maluku adalah suatu cara melihat nation state Indonesia dari Maluku, dan merupakan mekanisme guna menakar kemajuan pembangunan Indonesia di Maluku sekaligus bagian dari upaya untuk memberikan label model negara Indonesia dari Maluku. 
Dalam perspektif governability apa yang dialami Provinsi Maluku, menandakan tidak adanya kemampuan negara untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods), seperti rasa aman, peneggakan supremasi hukum, pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang maksimal. Padahal political goods merupakan kewajiban negara untuk menyediakannya. 
Terlepas dari itu, upaya memotret Indonesia dari daerah sekaligus pelabelan model negara Indonesia dari daerah bukan merupakan hal yang baru diulas. Pasalnya dalam study politik Indonesia, para ilmuan politik ditanah air, sering melakukan riset untuk memotret Indonesia dari berbagai daerah. Hal ini dilakukan sebagai upaya melihat Indonesia secara utuh, sehingga tak ada kesan bahwa Jakarta adalah Indonesia semata. Tapi Maluku, Papua, Nusa Tenggara, Aceh dan Riau Kepulauan adalah potret Indonesia, yang masih mengalami ketertinggalan pembangunan.
Governability Sebagai Instrumen Memotret Maluku
Governability merupakan instrumen untuk memotret Indonesia dari Maluku. Oleh karena itu untuk memotret Indonesia dari Maluku perlu diketahui apa itu Governability? Menurut Pratikno dan Lay (2006) Governability adalah kapasitas negara bangsa untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods), dimana hirarki barang-barang politik menyangkut: 
Tabel 1
Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
No. Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
1. Keamanan (fungsi monopoli negara) yang bisa dilakukan melalui; mencegah invasi asing, mengeliminasi ancaman domestik yang mengacam tatanan sosial, mencegah kriminalitas dan mengelola perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif.  
2. Tata hukum sebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk
3. pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata
4. Pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata
5. Penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi
6. Sistim uang dan perbankan yang stabil
7. Kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang kondusif
8.Tersedianya ruang publik (publik shere) yang menjamin; hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi, respek dan menyokong institusi politik nasional dan regional, toleran terhadap perbedaan, hak-hak dasar sipil dan asasi serta
9. Pengawasan dan pengaturan lingkungan
  Sumber data; Pratikno, Lay, 2007
Identifikasi Label Negara Indonesia dari Maluku
Terlepas dari itu, apakah memotret Indonesia dari Maluku masuk dalam kategori strong state, weak state, failed state, collapsed state, quasi states, de facto states, sadow states? atau terdapat pelabelan baru dalam memotret Indonesia dari Maluku? Berikut ini paparkan kondisi rill Indonesia dari Maluku melalui menyediakan barang-barang politik (political goods).  
Pertama, keamanan (fungsi monopoli negara), dimana kondisi keamanan di Maluku relatif kondusif sejak tahun 2005 lalu, dan ini sudah mengalami pemulihan yang pesat sejak konflik komunal yang melanda daerah ini di tahun 1999 lalu. Bahkan dalam rangka mencegah invasi asing di Indonesia melalui Maluku, TNI-AD telah menempatkan satuan setingkat kompi di Pulau Wetar, yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, yang ditindaklanjuti lagi dengan penyediaan armada TNI-AL untuk melakukan pengamanan di perairan yang berbatasan langsung dengan Timor Lesta.
Begitu-pun Polri dan TNI di Provinsi Maluku dari waktu ke waktu senantiasa berupaya mengeliminasi ancaman domestik yang mengacam tatanan sosial melalui peningkatan pemeliharaan keamanan. Sehingga angka gangguan keamanan di daerah ini dapat dikendalikan. Namun dalam pegelolaan perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif, adalah problem yang krusial, sebab bukan perkara yang mudah untuk mengelolahnya. Pasalnya rakyat Maluku pasca konflik masih rentan dengan perbedaan kepentingan berdasarkan komunalnya. 
Kedua, tata hukum sebagai standar peerilaku yang meregulasi interaksi penduduk, dimana Dalam implementasi yang rill pasca konflik komunal di Maluku, tata hukum sebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk senantiasa dikedepankan oleh pemerintah daerah. Hal ini dilakukan demi terciptanya stabilitas keamanan. Kendati demikian disadari masih terdapat tata hukum belum dipatuhi oleh rakyat. Indikatornya dapat dilihat dari banyaknya kasus korupsi,yang belum dituntaskan dimeha hijau. 
Ketiga, dalam pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata, pemerintah daerah selalu berupaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi rakyat di daerah ini. Kendati demikian upaya ini sering menemui kendala. Apalagi luas Maluku yang mencapai 658.294 km2, tentu bukan merupakan perkara gampang, karena sebagian rakyat mendiami daerah terpencil yang tersebar di Pulau Buru, Pulau Seram, Aru dan Selatan Daya. Akibanya masih terdapat seperempat penduduk Maluku yang belum terakses pelayanan kesehatan. 
Apalagi angka kemiskinan di Maluku yang mencapai 46% dari total 1,3 juta jiwa penduduk, tentu merupakan problem yang krusial, sebab rakyat tidak memiliki kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan disebabkan minimnya pendapatan mereka. Hal ini diperburuk dengan pelayanan kesehatan yang masih enggan berpihak kepada rakyat miskin di daerah seribu pulau ini.
Keempat, dalam pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata, pemerintah daerah selalu berupaya untuk meningkatkan pelayanan pendidikan di Maluku. Namun saat konflik sarana-prasarana pendidikan banyak yang mengalami kerusakan, sehingga pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata bagi rakyat di daerah ini masih jauh dari harapan, tapi dari waktu ke waktu pemerintah daerah senantiasa berupaya untuk memenuhinya.
Kemudian posisi geografis Maluku menjadi kendala bagi tercapainya pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata. Para guru masih enggan mengabdi di daerah terpencil di daerah ini. Begitu pun fasilitas pendidikan mayoritas berada di kota kecamatan. Bagi daerah terpencil yang masih sulit dibangun fasilitas pendidikan, hal itu berkaitan dengan minimnya jumlah siswa-siswi, yang merupakan syarat pendirian gedung sekolah. Akibatnya mereka membanjiri ibukota kecamatan/desa tetangga yang memiliki fasilitas pendidikan.
Kelima, penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi merupakan faktor vital bagi penunjang pembangunan di Maluku. Namun sayangnya belum maksimal, apalagi ketika konflik komunal di tahun 1999 lalu, turut berimbas pada kerusakan infrastruktur dasar tersebut, karena pemeliharaan jalan terbengkalai dan banyak sarana komunikasi yang rusak. Kendati demikian pasca konflik pemerintah daerah secara terus menerus berupaya memenuhi penyediaan infrastruktur dasar tersebut. 
Keenam, untuk sistim uang dan perbankan di Maluku relatif stabil. Pasalnya sistem uang dan perbankan di daerah ini mengikuti pemerintah pusat. Sehingga jika terdapat kestabilan pada sistim uang dan perbankan di Jakarta, akan berimplikasi positif pada Provinsi Maluku. Namun jika sebaliknya kondisi sistim uang dan perbankan nasional tidak stabil akibat gejolak politik, maka akan berdampak pula pada provinsi Maluku.
Ketujuh, kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang kondusif di Maluku tetap terbuka. Malah pasca konflik pemerintah daerah gencar melakukan promosi tentang prospek menjalankan bisnis di Maluku. Tapi sayangnya lingkungan bisnis di Maluku secara umum belum begitu kondusif. Hal ini disebabkan masih enggannya investor demestik dan mancanegara milirik Maluku, dikarenakan kekuatiran mereka akan kondisi Maluku pasca konflik yang masih rentan konflik komunal. 
Kedelapan, tersedianya ruang publik (publik shere), yang mencakup hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi di Maluku tetap terbuka lebar, kendati demikian secara jujur diakui bahwa hak untuk berpartisipasi dan berkompetsi di Maluku masih saja di warnai semangat primordialisme yang menjadi faktor penghambat. 
Tapi pada satu sisi rakyat Maluku sangat respek dan menyokong institusi politik nasional dan regional. Misalnya partisipasi rakyat menjadi anggota partai begitu besar, yang ditandai dengan peningkatan partisipasi mereka untuk menjadi calon anggota DPR dan DPRD, dalam tiap kali Pemilu yang digelar di republik ini.
Akan tetapi terdapat catatan kritis menyangkut toleran terhadap perbedaan. Pasalnya rakyat Maluku dalam interaksi sebagain besar masih saja tersegregasi atas perbedaan suku, agama dan ras. Meski pada tataran riil tidak nampak, namun hal ini menjadi laten yang suatu saat masih menjadi ancaman untuk terciptanya konflik komunal lagi. Bahkan untuk hak-hak dasar sipil dan asasi belum bisa dipenuhi oleh pemerintah daerah. Misalnya hak rakyat untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak belum juga direalisasikan pemerintah pasca konflik. 
Kesembilan, pengawasan dan pengaturan lingkungan, meskipun sudah ada regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyangkut pengawasan dan pengaturan lingkungan. Tapi fakta membuktikan di Provinsi Maluku justru terjadi kerusakan lingkungan yang kronis. Di laut Banda dan Aru para nelayan domestik maupun mancanegara yang melakukan penangkapan ikan sudah sampai pada tahap over fhising. Cara-cara seperti ini sudah dalam tahap yang sangat menguatirkan.
Menurut Pratikono (2006), jika berbagai kerusakan alam dibiarkan secara terus menerus berlangsung, tanpa adanya upaya pemerintah dalam melakukan proses pengawasan dan pengaturan lingkungan, akan berdampak terhadap rusaknya lingkungan sosial dan psyical, yang sudah tentu akan mengancam keberlangsungah suatu negara.
Label Negara Indonesia dari Maluku
Penyediaan barang-barang politik (political goods) oleh negera di Provinsi Maluku ternyata belum terpenuhi secara maksimal. Sejumlah political goods yang belum dapat direalisasikan negara secara maksimal di Provinsi Maluku seperti yang tertera dalam tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2
Kategori Hirarki Barang-Barang Politik 
Yang Belum Dapat Direalisasikan Negara di Maluku
No. Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
1. Keamanan (fungsi monopoli negara) yang bisa dilakukan melalui; belum terkelolanya perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif
2. Pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata
3. Pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata
4. tidak memadainya penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi
5. Kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang belum kondusif,
6. Belum tersedianya ruang publik (publik shere) yang menjamin : hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi, toleran terhadap perbedaan, hak-hak dasar sipil dan asasi
7. Tidak maksimlanya pengawasan dan pengaturan lingkungan
  Sumber data; dari berbagai sumber, 2007
Berdasarkan identifikasi minimya penyediaan barang-barang politik (political goods) oleh pemerintah di Maluku seperti yang disebutkan itu, maka memotret Indonesia dari Maluku dikategorikan sebagai negara yang hampir bubar (The State Almost Collapsed). Pelabelan baru ini tentu senantiasa disesuaikan dengan kondisi rill di Provinsi Maluku saat ini dan bukan merupakan pelabelan yang sifatnya subyektif. 
Kondisi Maluku yang demikian, relevan dengan pendapat Haryadi (2003) bahwa, hidup berpemerintahan yang justru meningkatkan derajat penderitaan, hanya akan menimbulkan kecenderungan pengingkaran dan anti-pati kepada lembaga-lembaga pemerintahan. Bahkan lebih jauh lagi, dapat mengikis komitmen hidup sebagai suatu bangsa. 
Terlepas dari itu, krisis yang dialami Provinsi Maluku di tahun 1999 lalu, turut berdampak terhadap komitmen hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga rawan terhadap munculnya separatisme, yang senantiasa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu diperparah dengan nasib rakyat yang masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Tak pelak mereka sering mengkambinghitamkan pemerintah, akibat ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan political goods.
Untuk memperbaiki posisi Indonesia dari Maluku yang masuk labelisasi The State Almost Collapsed ke strong state? Hal ini bukan merupakan perkara yang gampang-gampang saja. Paling tidak pemerintah perlu berupaya secara maksimal, untuk penyediaan barang-barang politik (political goods). Sebab ini merupakan upaya terbaik untuk mengeluarkan negara ini dari kehancuran. 
Oleh karena itu bukan saja peran pemerintah daerah, tapi pemerintah pusat perlu memberikan perhatian yang serius bagi pembangunan di Provinsi Maluku. Sehingga melalui upaya ini akan mampu merekonstruksi, merecovery sekaligus merehabilitasi Maluku pasca konflik kemanusiaan. Selain itu, melalui cara ini, ada rasa optimisme bahwa political goods di Maluku akan tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar