Rabu, 08 April 2009

Misi Kemanusiaan Tentara

Oleh: M.J Latuconsina


Pada era Perang Dingin, yang melibatkan Blok Barat dan Blok Timur, peran tentara dalam ranah politik begitu dominan, dengan memegang tampuk kekuasaan negara di berbagai belahan dunia. Pada era ini idiologi politik dunia menghalalkan, campur tangan tentara kedalam ranah politik. Namun tatkala robohnya Tembok Berlin, yang diikuti runtuhnya Uni Sovyet, keadaan berubah drastis dunia sekarang tidak lagi ramah terhadap tentara yang masuk pentas politik. 
Sehingga pasca Perang Dingin ketika terjadi gelombang demokratisasi, yang merambah berbagai belahan dunia, tentara pun mulai perlahan-lahan meninggalkan gelanggang politik, yang selama ini mereka geluti untuk kemudian kembali ke baraknya. Kembalinya tentara ke tangsinya tersebut, ditindaklanjuti dengan upaya mereposisi institusi tentara guna menjalankan fungsinya, sebagai instrumen pertahanan, yang merupakan fungsi ideal tentara dalam nation state.  
Meskipun demikian, masih terdapat sejumlah kecil negara, yang tentara-nya kerap tampil di garda terdepan, untuk merebut pemerintahan dari tangan sipil melalui coup d’etat. Kasus terakhir terjadi di Fiji, tatkala pimpinan militer Fiji Komondor Frank Vorege Bainimarama, menggulingkan Perdana Menteri Laisenia Qarase pada 5 Desember 2006. Namun sampai saat ini, hampir tidak ada lagi dominasi tentara dalam ranah politik, kecuali di Myanmar yang masih di kuasai junta militer.
Bahkan negara-negara di kawasan Amerika Latin seperti ; Argentina, Brasil dan Chili, yang memiliki tradisi coup d’etat oleh tentara, untuk menggulingkan pemerintahan yang sah-pun, sudah sejak lama meninggalkan tradisi ini, yang kemudian mengembalikan sistem politik ke arah yang lebih demokratis. Misalnya Brasil, ketika dipimpin Jenderal Ernesto Geisel, melakukan suatu proses redemokratisasi kehidupan politik secara bertahap ”apertura” (keterbukaan) pada tahun 1971. 
 Terlepas dari itu, dibelahan dunia mana-pun, tentara dikenal memiliki fungsi sebagai instrumen pertahanan dari nation state. Sehingga jika terdapat ancaman dan gangguan terhadap pertahanan negara, tentara akan tampil di front terdepan untuk menangkal ancaman dan gangguan terhadap nation state tersebut. Karena itu, keberadaan tentara memiliki peran yang vital dan strategis, untuk menjaga eksistensi keberadaan sebuah nation state. 
 Tidak mengherankan, banyak negara yang kemudian berlomba-lomba melengkapi tentaranya, dengan alat utama sistem persenjataan (alutsista) canggih, yang disesuaikan dengan kemajuan jaman. Apalagi bagi negara-negara yang menganut faham neo-realisme dalam pergaulan internasional, tentu menganggap tentara bukan hanya memiliki fungsi sekedar alat pertahanan semata, namun lebih dari itu adalah alat untuk melakukan coercion (pemaksaan) dalam memperluas ekspansi ke negara lain. 
 Karena itu, jika di kebanyakan negara berlomba-lomba untuk melengkapi tentaranya dengan alutsista yang canggih, ternyata tidak sedikit diantara negara-negara tersebut, juga melengkapi alutsistanya untuk tujuan non combat operation, guna keperluan misi kemanusiaan. Hal ini dilakukan dalam mengantisipasi peran tentara, yang tidak selalu terlibat dengan kegiatan perang. Sehingga pengerahan tentara untuk misi kemanusiaan, baik itu dilevel domestik dan mancanegara adalah kebutuhan yang realistis.
 Misalnya, untuk bencana alam banjir yang akhir-akhir ini melanda Cina, bukan saja melibatkan tim rescue dan palang merah setempat, yang memiliki keahlian dalam menangani bencana alam banjir dan korban bencana alam banjir tersebut. Namun tentara di negara ini, juga berperanserta untuk penanganan bencana alam banjir. Begitu-pun, tatkala terjadi bencana alam banjir melanda beberapa provinsi di Filipina, tentara setempat juga dikerahkan untuk penanganan bencana alam banjir dan korban bencana alam banjir.  
Partisipasi tentara dikedua negara tersebut, merupakan bagian dari humanitarian operation other than war. Dalam perspektif ini, penggunaan tentara dalam misi kemanusiaan, juga merupakan bagian dari upaya tentara untuk memperoleh peran baru pasca depolitisasi dari rezim pemerintahan pada sebuah nation state. Namun peran baru tentara tersebut, bukan untuk mendominasi peran-peran sipil, tapi hanya semata-mata dalam kerangka menopang sipil dalam penanganan bencana alam.
Kalau kemudian di kebanyakan negara berlomba-lomba untuk melengkapi tentaranya, dengan alutsista canggih yang disesuaikan dengan kemajuan jaman, negara kita juga tidak luput dari upaya ini. Pasalnya sejumlah alutsista dari ketiga matra angkatan ; darat, laut dan udara dari waktu ke waktu sering dilengkapi negara, yang tidak lain merupakan bagian dari upaya memodernisasi angkatan bersenjata kita secara bertahap.
Karena itu, meskipun negara kita mengupayakan melengkapi alutsista tentaranya yang modernis secara bertahap, tapi kebanyakan alutsista tersebut, bukan saja digunakan untuk combat operation, dalam menghadapi ancaman dan gangguan terhadap negara. Namun diluar itu juga digunakan, untuk kegiatan non combat operation seperti misi kemanusiaan di dalam negeri. Hal ini dilakukan, sesuai dengan kondisi negara kita yang sering di landa bencana alam. 
Misalnya di matra laut dan udara, penggunaan kapal jenis landing ship tank (LST) dan jenis pesawat angkut, untuk mendistribusi bantuan kemanusiaan kepada korban bencana alam, maupun untuk mengevakuasi korban bencana alam. Begitu-pun di matra darat, biasanya digunakan kendaraan angkut pasukan, untuk mendistribusi bantuan kemanusiaan kepada korban bencana alam, serta untuk mengevakuasi korban bencana alam. 
Di level domestik, penggunaan tentara dalam misi-misi kemanusiaan, untuk penanganan bencana alam nampak tatkala bencana alam tsunami yang melanda Aceh dan Nias beberapa tahun lalu. Sehingga bersama kesatuan tentara dari berbagai negara, yang datang untuk tujuan non combatant evacuation operation, bersama-sama melakukan operasi kemanusiaan di kedua daerah ini, sekaligus turut serta dalam upaya merekonstruksi, merehabilitasi dan merecovery Aceh dan Nias pasca bencana tsunami.
Khusus di Maluku peran tentara untuk misi kemanusiaan, nampak tatkala bencana alam banjir dan longsor, yang melanda kabupaten/kota. Tentara pun turut serta melakukan pembersihan rumah-rumah rakyat, yang terkena longsor di Kota Ambon, hingga mengevakuasi rakyat, yang terkena banjir di dataran Wayapo Buru. Misi kemanusiaan tentara di daerah ini, pada waktu-waktu lalu juga pernah dilakukan, misalnya operasi penanggulangan bencana alam gunung api Banda tahun 1989, dan operasi penanggulangan bencana banjir di Ambon, pada Juli 1989.
Dalam misi kemanusiaan ini, biasanya tentara didukung dengan detasemen kesehatan, yang dikerahkan untuk tugas non combat operation, meliputi ; menyelamatkan (rescue), menyembuhkan (recovery), memberi pengobatan (medical treatment), dan mengevakuasi korban kapan saja (any time). Begitu-pun, tentara didukung dengan kesatuan zeni, mencakup ; zeni lintas udara, zeni konstruksi dan zeni bangunan, yang bisa dikerahkan dalam upaya merekonstruksi, merehabilitasi dan merecovery suatu daerah pasca bencana alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar