Rabu, 08 April 2009

Budaya Politik Parokial

Oleh: M.J Latuconsina

 Klimkas dari proses pemilukada Maluku telah berakhir 9 Juli 2008 lalu, keingin-tahuan rakyat di daerah ini menyangkut siapa calon gubernur (cagub), dan calon wakil gubernur (cawagub), yang bakal memenangkan pemilukada Maluku sudah terpenuhi. Sehingga tidak terdapat lagi kasuk-kusuk di tengah-tengah rakyat, menyangkut cagub dan cawagub yang memiliki kans, untuk memenangkan pemilukada Maluku. 
Tahapan berikut dari proses pemilukada Maluku, adalah menanti proses pelantikan cagub dan cawagub terpilih. Sehingga, bagi cagub dan cawagub yang memenangkan pemilukada Maluku, tentu akan menyambut proses pelantikan tersebut, dengan penuh antusiasme. Pasalnya proses pelantikan itu, merupakan puncak dari kemenangan yang diraih cagub dan cawagub tersebut dalam pemilukada Maluku. 
 Setelah cagub dan cawagub terpilih, dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur Maluku, tentu rakyat menaruh harapan besar agar visi dan misi mereka benar-benar dapat direalisasikan kepada rakyat, melalui program kerja yang rill. Karena itu, selaku cagub dan cawagub terpilih jika kelak menjalankan roda pemerintahan, perlu berupaya semaksimalnya untuk dapat merealisasikan visi, dan misi mereka kepada rakyat melalui program kerja yang rill.
 Sehingga visi dan misi cagub dan cawagub tersebut, bukan sekedar konsep kosong semata, yang kerap digembar-gemborkan dalam tiap lima tahunan ritual demokrasi di pentas lokal, namun visi dan misi tersebut benar-benar dapat direalisasikan kepada rakyat. Melalui cara seperti ini, tentu para cagub dan cawagub terpilih, akan senantiasa dapat memelihara kepercayaan dari rakyat, sekaligus mampu memegang amanat rakyat, karena menunjukan keberpihakan kepada rakyat. 
Kalau tidak demikian rakyat kemudian akan mengalami deprivasi. Sehingga mereka akan menjadi kecewa dan meninggalkan pemerintahan, yang dipimpin cagub dan cawagub pilihan rakyat tersebut. Bahkan pada pemilukada yang akan datang, dipastikan mereka tidak akan memilih pimpinan yang meninggalkan mereka. Untuk itu keberpihakan kepada rakyat melalui pembangunan, yang rill merupakan cara yang paling efektif guna tetap mempertahankan simpati pemilih terhadap gubernur dan wakil gubernur.
 Diluar harapan rakyat tersebut, terdapat suatu catatan penting dari proses pemilukada Maluku kali ini. Dimana dalam proses pemilukada yang berjalan, sampai hampir memasuki tahapan akhir tersebut, terdapat suatu kecenderungan menarik dari para aktor-aktor, yang berpartisipasi dalam perhelatan pemilukada Maluku, turut larut dalam budaya politik parokial. 
 Fenomena ini nampak, tatkala para aktor-aktor yang menekuni bidangnya masing-masing, memiliki peran melampaui bidang yang mereka geluti. Sehingga mereka-pun tidak hanya berperan dalam salah bidang yang mereka tekuni, tetapi juga menyusup dalam bidang politik. Tanpa sepenuhnya memberikan ruang, yang lebih leluasa kepada aktor-aktor lain, yang memiliki kompetensi pada bidangnya. Peran inilah, yang kemudian menumbuh-suburkan budaya politik parokial dalam proses pemilukada Maluku. 
 Misalnya, para tokoh agama tidak hanya memiliki fungsi untuk melayani umat dalam melakukan ritual ibadah, tapi mereka juga turut-serta menjadi aktor-aktor politik, dalam proses pemilukada Maluku. Begitu-pun para pedagok, tidak hanya memiliki fungsi untuk memberikan pendidikan kepada para siswa akan ilmu pengetahuan, tapi mereka juga tampil menjadi aktor-aktor politik, yang turut dalam proses pemilukada Maluku.
 Bahkan para birokrat, yang memiliki fungsi untuk menjalankan roda birokrasi pemerintahan-pun, tampil sebagai aktor-aktor politik dalam proses pemilukada Maluku. Begitu-pun elemen-elemen lain, yang mestinya secara fungsional konsisten dalam menjalankan fungsi mereka, sesuai keahliannya turut serta sebagai aktor-aktor politik, dalam proses pemilukada Maluku. Sehingga akhirnya, mereka benar-benar melenceng dari fungsinya semula. 
 Kuatnya intervensi para cagub dan cawagub, yang menjadikan mereka sebagai bagian dari networking politik, untuk memenangkan pemilukada Maluku. Tak pelak membuat mereka terjerambab ke ranah politik. Sehingga mereka akhirnya menjalankan fungsi ganda, baik itu sesuai dengan bidang kompetensi mereka, maupun diluar kompetensi mereka, dalam upaya memenangkan cagub dan cawagub pada pemilukada Maluku.  
Apalagi terdapat diantara mereka, yang diiming-imingi dengan reward kapital dan jabatan pasca pemilukada, oleh cagub dan cawagub yang mereka upayakan untuk dimenangkan dalam pemilukada, membuat mereka dengan mudah larut dalam budaya politik parokial. Namun sebenarnya fenomena ini, adalah suatu problem yang krusial di tengah-tengah pentas politik lokal Maluku. Pasalnya sebagai daerah yang masih dalam tahap perkembangan sistem politiknya, tentu belum mampu menciptakan spesialisasi kepada aktor-aktor di level lokal, untuk menjalankan fungsi sesuai bidangnya masing-masing. 
Sehingga yang mengurusi masalah politik dalam pemilukada Maluku mestinya adalah, para politikus partai, kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (presure group), yang memang hadir untuk memainkan peran-peran politik, dalam pentas politik lokal Maluku. Karena itu, turut-sertanya aktor-aktor lain yang tidak memiliki kompetensi, dalam pemilukada Maluku hanya menjadikan mereka tampil sebagai instrumen politik, dalam memobilisasi dukungan pemilih untuk kepentingan para cagub dan cawagub, dalam upaya memenangkan pemilukada Maluku.
Meskipun para aktor-aktor tersebut, berusaha tampil secara diam-diam agar tidak nampak sepak terjang politik mereka di tengah-tengah rakyat, dalam mensukseskan cagub dan cawagub. Ternyata upaya aktor-aktor tersebut, hanya sia-sia semata. Sebab rakyat di daerah ini sudah semakin cerdas, dengan melihat aktor-aktor tersebut, masuk dalam ranah budaya politik parokial. Akhirnya netralitas hanya-lah jargon-jargon kamuflase, yang didengung-dengungkan mereka kepada rakyat melalui media masa, dengan himbauan ”sukseskan pilkada Maluku yang damai”.  
Meminjam pendapat Afan Gaffar (2006) bahwa, dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik, yang bersifat kognitif akan terbentuk budaya politik yang parokial. Merujuk pada pendapat tersebut, tentu rakyat di daerah ini memiliki sikap dan orientasi politiknya masih didominasi oleh karakteristik, yang bersifat kognitif. Sehingga mudah terbentuk budaya politik parokial dalam pentas politik lokal. 
Karena itu, jika terdapat spesialisasi yang jelas, kepada aktor-aktor tersebut sesuai dengan bidangya masing-masing, tentu para aktor-aktor itu tidak akan dengan mudah larut dalam budaya politik parokial, dalam pemilukada Maluku maupun dalam event-event politik lokal lainnya di daerah ini. Melihat fenomena tersebut, tentu sistem politik di daerah ini, tidak mengalami perkembangan yang signifikan dari pemilukada ke pemilukada, sebab masih terjadi overlaping peran para aktor-aktor dalam sistem politik di daerah ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar