Rabu, 08 April 2009

Caleg yang Marketable

Oleh; M.J Latuconsina


 Partai politik, merupakan institusi politik yang memiliki salah satu fungsi sebagai sarana rekrutmen politik, guna menghasilkan calon-calon pimpinan politik, untuk dipersiapkan menduduki jabatan legislatif dan eksekutif melalui pemilu. Melalui rekrutmen politik, juga akan menjamin kontinuitas partai politik, dan kelestraian partai politik.[1] Karena itu, menghadapi pemilu yang akan digelar pada tahun 2009 mendatang, partai politik di level pengurus provinsi dan kabupaten/kota di Maluku memiliki kewajiban melakukan proses rekrutmen politik, untuk mengajukan pengurus partai politik, sebagai calon anggota legislatif (caleg).
  Dalam proses rekrutmen politik, terdapat dua mekanisme yang biasanya ditempuh oleh pengurus partai politik, pada level provinsi dan kabupaten/kota di Maluku, yakni ; Pertama, merekrut caleg dari internal partai politik. Dalam mekanisme ini, partai politik mengakomodasi kader partai politik yang menjadi pengurus partai politik, untuk direkrut sebagai caleg. Kedua, merekrut caleg dari eksternal partai politik. Dalam mekanisme ini, partai politik mengakomodasi non kader partai politik, yang tidak menjadi pengurus partai politik untuk direkrut sebagai caleg.
Caleg yang Marketable
Dalam proses rekrutmen caleg yang dilakukan oleh partai politik, baik secara internal dan eksternal tersebut, partai politik tidak hanya mempertimbangkan seorang caleg memiliki syarat kapasitas (kemampuan pribadi), akseptabilitas (dapat diterima masyarakat) dan memiliki syarat akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan kinerjanya) semata. Namun lebih dari itu, seorang caleg perlu memiliki syarat marketable (harus layak jual) kepada konstituen selaku konsumen.
 Jika mengacu pada pendekatan political marketing (pemasaran politik), maka, caleg yang marketable tersebut, tentu tidak semata-mata akan mengantungkan keberutungannya pada nomor topi, yang selama ini sering menjadi rebutan para pengurus partai politik dalam proses rekrutmen caleg. Namun biar dipasang pada nomor urut sepatu-pun, tidak menjadi problem bagi caleg yang memiliki kualifikasi marketable, sejauh caleg itu laris dijual kepada para konstituen.  
 Proses seorang caleg yang marketable, untuk menjadi anggota legsilatif, lebih ditentukan oleh mekanisme pasar politik. Dimana konstituen yang berlaku sebagai konsumen, memilih caleg yang berlaku sebagai produk politik partai, yang dinilai akan memuaskan kebutuhan politik mereka. Kebutuhan politik yang dimaksud adalah, kemampuan dari caleg yang marketable tersebut, mampu merealisasikan janji-janji politiknya kepada para konstituen, ketika benar-benar terpilih dan duduk sebagai anggota legislatif.  
 Meminjam pendapat Susanto (2008), bahwa pemilih mempunyai seperangkat ciri (atribut) kebijakan yang dinginkan. Jika ciri-ciri kebijakan yang dijanjikan politikus ”klop” dengan harapan pemilih, terbentuklah kepuasan tingkat pertama yang disebut attribute-based satisfaction. Tentu saja pemilih tidak hanya berhenti sebatas janji. Mereka mengharapkan implementasi janji itu secara konstisten. Jika kondisi itu terpenuhi, maka lahirlah kepuasan tingkat kedua yang disebut consequence based satisfaction. Tingkat tertinggi adalah goal-based satisfaction. Kepuasan ini tercipta jika maksud dan tujuan pemilih terpenuhi.
Pemilu 2009 merupakan arena politik, dimana tidak pernah akan sepi dari persaingan antara masing-masing caleg, untuk memperebutkan simpati konstituen sebanyak-banyaknya. Para caleg tentu akan tampil semaksimalnya untuk meraih kemenangan dalam Pemilu 2009, sehingga bisa menduduki kursi legislatif. Dalam persaingan itu, menuntut para caleg yang berlaku sebagai produk politik partai, untuk mampu membaca selera konstituen selaku konsumen, sehingga para caleg tersebut bisa laris dipasaran.
Karena itu, kalau caleg yang ingin meraih sura terbanyak dalam Pemilu 2009, dituntut memiliki syarat marketable kepada para konstituen yang berlaku sebagai konsumen. Sehingga, bagi para caleg yang marketable jika ingin laris di pasar politik, perlu berupaya maksimal dalam mendesain program, yang paling disukai oleh para konstituen. Efeknya tidak lain adalah menarik konstituen sebanyak-banyaknya untuk mencoblos mereka dalam pemilu.
Caleg marketable dalam mendesain program yang akan dijual kepada para konstituen, mempunyai target yang hendak dicapai, tatkala program itu disampaikan kepada para konstituen. Target itu adalah kesuksesan menarik suara konstituen sebanyak-banyaknya. Namun dalam menarik suara konstituen, caleg yang marketable perlu memfokuskan pada potensi sumber suara pendukung politik, dengan strategi membangun image. Pasalnya image, yang baik akan turut berpengaruh terhadap prefrensi politik pemilih, untuk kemudian memilih caleg yang marketable tersebut. 
Mendesain Program
Bagi caleg yang marketable, yang akan berkontestasi dalam Pemilu 2009, memiliki optimisme tersendiri, agar para konstituen dapat memilih mereka sebanyak-banyaknya. Sehingga dapat menjadi tiket untuk melangkah mulus ke kursi legislatif di level provinsi dan kabupaten/kota di Maluku. Akan tetapi upaya ini tidak-lah gampang, karena membutuhkan kreatifitas dari para caleg yang marketable, dalam mendesain program-program yang akan dipasarkan kepada para konstituen.
Dalam merancang program-program kepada para konstituen, para caleg yang marketable tidak bisa mendesain program-program secara sepihak, tanpa mempedulikan konstituen mereka. Karena itu dalam merancang program-program tersebut, para caleg yang marketable perlu melibatkan para konstituen, yang merupakan bagian dari segmentasi dukungan mereka. Sehingga tatkala program-program itu, diimplementasikan dapat tepat pada sasarannya.  
Proses melibatkan konstituen itu, menurut Firmanzah (2007), melalui dua cara, yaitu langsung atau-pun tidak langsung. Melibatkan konstituen secara langsung misalnya dengan mengajak mereka berdialog, observasi langsung ke lapangan, diskusi, tatap muka dan hadir ditengah-tengah keresahan masyarakat. Sedangkan pelibatan konstituen secara tidak langsung dapat dilakukan melalui hasil polling dan analisis media massa (seperti koran, radio, TV).
 Fenomena yang terjadi selama ini, justru banyak caleg dalam merancang programnya tidak terlalu melibatkan rakyat. Hal ini terjadi karena, para caleg lebih bersandar pada pemilih “pelanggan tetap”, dari pemilu ke pemilu. Dimana merupakan pemilih sosiologis dan psikologis. Padahal jika mereka mendesain program, dengan melibatkan rakyat, tentu para caleg telah melakukan ekspansi untuk menjaring suara konstituen diluar pemilih “pelanggan tetap” tersebut.
Karena itu, jika caleg yang marketable dapat merancang programnya dengan melibatkan rakyat, tentu akan memudahkan akuntabilitas caleg yang marketable tersebut, dalam implementasi programnya kepada para konstituen, tatkala dikemudian hari benar-benar terpilih dan duduk sebagai anggota legislatif. Melalui mekanisme ini, tentu akan tercipta persepsi yang positif dari para konstituen, bahwa mereka dipedulikan oleh caleg yang marketable, dengan melibatkan mereka dalam menyusun program caleg. Sehingga disinilah akan tercipta jargon “dari wakil rakyat untuk rakyat, dan dari rakyat untuk wakil rakyat.” Dimana bukan sekedar slogan, dalam menyambut pesta demokrasi lima tahunan, tapi benar-benar terealisasi demi kepentingan konstituen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar