Rabu, 08 April 2009

Kemiskinan Bagian Dari Revivalisasi Idiologi (Tanggapan Untuk Darul Kutni Tuhepaly)

Oleh; M.J Latuconsina


Pada tanggal 29 Juni 2007 lalu, Provinsi Maluku mendapat kepercayaan dari pemerintah Jakarta sebagai tuan rumah Hari Keluarga Nasional (Harganas). Acara ini, cukup meriah, meskipun Kota Ambon tengah diguyur hujan deras. Sayangnya, moment nasional ini akhirnya ternodai, dengan kasus tarian cakalele yang dilakukan aktifis gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), yang tidak diagendakan dalam acara Harganas kemudian memasuki lapangan Merdeka, sambil membentangkan bendera RMS (Banang Raja) dihadapan mata Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
 Peristiwa ini, sempat mendapat perhatian publik di tingkat lokal, nasional dan internasional. Betapa ketatnya pengamanan Harganas yang dihadiri oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, tapi para aktifis gerakan separatis RMS tersebut, dapat lolos memasuki area perayaan Harganas, tanpa mengalami pemeriksaan oleh aparat keamanan. Lalu siapa lagi yang disalahkan dalam kasus ini?, tentu lagi-lagi aparat keamanan yang dinilai lemah saat mengamankan Harganas. 
Bisa diduga RMS telah memiliki gerakan klandestin (gerakan bawah tanah), yang berupaya masuk dalam struktur birokrasi pemerintahan dan struktur aparat keamanan di daerah ini. Sehingga mereka dengan mudah melakukan aktifitas separatis bertepatan dengan moment nasional tersebut, tanpa menemui kendala. Bukankah hal yang sama pernah di lakukan Fretelin (Frente Revolucionaria Timor Leste Independente), dengan gerakan klandestin-nya di Timor Leste saat diduduki Indonesia, sehingga segala aktifitas Fretelin dapat berjalan dengan mulus, untuk mencuri perhatian publik internasional.
Dalam mendiskripsikan kasus separatisme tersebut, Darul Kutni Tuhepaly pada tulisannya di harian ini pertama-tama meminjam analogi salah seorang rekannya di DPRD, menyangkut kasus China, bahwa; Saat pengaruh komunis begitu besar di China, rakyat negara tirai bambu itu sangat miskin, namun sekarang coba lihat ekonomi China tumbuh pesat. Ini disebabkan pendekatan yang dipakai pemerintah, adalah pengentasan kemiskinan dan lebih fokus pada pembangunan ekonomi. (Ameks, 7/6/07).
Tuhepaly-pun mengatakan, analogi yang digunakan rekannya, cukup membingungkan kalau dipakai untuk menjelaskan bagaimana pemerintah harus mengatasi gerakan separatis. Pertama, China yang komunis sampai saat ini tetap komunis, argumen ini saya sepakat. Namun pada argumen yang kedua, Tuhepaly menyebutkan tidak terdapat gerakan separatis di China, tentu hal ini cukup mengagetkan. Sebab publik internasional, hingga saat ini tidak menutup mata dengan perjuangan Dalai Lama, pimpinan Tibet yang sampai saat ini masih berada di pengasingan. 
Tokoh spritual ini, tetap komitmen dengan perjuangannya untuk memisahkan Tibet dari China, sejak 1950 tatkala rezim Komunis Republik Rakyat China (RRC) melebarkan hegemoninya di Tibet. Lewat kekerasan pada musim rontok 1951 pasukan RRC berhasil menguasi ibukota Lhasa, sekaligus mendongkel Dalai Lama, pimpinan negara dan tokoh religi utama Tibet. Oleh karena itu, dalam rangka melakukan upaya pemisahan (separatis) dari RRC Gompo Tashi Andrugtsang (51) kemudian mendirikan kelompok perlawanan Chusi Gandrug.(Angkasa,XXIV). 
Kemiskinan&Revivalisasi Idiologi
Selanjutnya, Tuhepaly kembali menyentil pendapat rekannya di DPRD bahwa, Desa Aboru yang miskin menjadi salah satu faktor munculnya laten RMS disana. Dia mengambarkan begitu miskinnya orang Aboru. Tapi perlu di catat, sampai saat ini tidak pernah di Maluku Tengah dilanda kemiskinan. Kalau kemudian orang merasa miskin dan mencari idiologi lain, katakanlah RMS seperti yang dicontohkan rekan saya, lalu bagaimana dengan orang MTB sana atau SBT sana?.(Ameks, 7/6/07).
Dalam argumen yang dikemukakan rekan Tuhepaly di DPRD itu, terdapat salah satu point bahwa, di MTB sejak negara ini merdeka ada desa yang tidak menikmati terangnya lampu listrik, kemiskinan yang merenggut nyawa anak-anak di daerah itu, dan desa yang sangat tertinggal. Tapi apakah masyarakat di dua kabupaten itu pernah sekali mengibarkan bendera RMS, atau berencana mengganti idiologinya menjadi separatis? Khan tidak. Jadi persoalan kemiskinan di desa Aboru tidak bisa dijadikan juga sebagai salah satu indikator kenapa mereka harus mengibarkan bendera RMS.(Ameks, 7/6/07). 
Argumen ini tentu sah-sah saja, tapi menurut saya kemiskinan merupakan bagian dari penopang revivalisasi (kebangkitan) idiologi lain, dan bukan semata-mata menjadi faktor beralihnya rakyat ke idiologi lain. Kalau di MTB dan SBT terdapat orang yang miskin tidak beralih idiologi, tentu ini adalah argumen yang cukup realistis. Namun kita jangan lupa bahwa, kondisi sosio-kultur dan politik MTB dan SBT berbeda dengan Desa Aboru. Oleh karena itu, kita perlu meneropong sejarah masalah lalu, bahwa terdapat pentolan gerakan separatis RMS (1950-1963) yang berasal dari Desa Aboru. Bukan tidak mungkin idiologi RMS yang diusung oleh generasi-genersi terdahulu, kembali terwariskan pada generasi-generasi berikutnya.
Berbeda dengan MTB dan SBT, pada dua daerah tidak terdapat sama sekali pengikut idiologis gerakan separatis RMS, sehingga biarpun dikedua daerah ini menderita kemiskinan, mereka tidak akan dengan mudah tergiur beralih ke idiologi lain. Sehingga menurut saya, selain faktor kemiskinan, faktor pengalaman historis generasi-generasi terdahulu dalam gerakan separatis RMS, turut menjadi sprit romantisme dari generasi-generasi mudah saat ini untuk merivalisasi gerakan New RMS di Maluku, melalui aktifitas pengibaran bendera.
Dalam konteks ini, bukan tergantung idiologi separatis RMS yang sudah tertanam dalam memori mereka, dan bukan juga karena mereka yang sering mengibarkan bendera RMS dari waktu ke waktu, tidak ingin sejahtera. Namun dibutuhkan keseriusan pemerintah daerah dan pusat untuk mampu mengelola (manajemen) konflik-konflik politik, yang intensitasnya dari tahun ke tahun meningkat hanya karena pengibaran bendera RMS. 
Mencuatnya gerakan separatis RMS bukan baru hadir saat ini, tapi melalui proses yang panjang. Tidak mungkin hanya karena HUT RMS 25 April dan bertepatan dengan datangnya presiden RI, lalu mereka mengibarkan bendera RMS. Tentu terdapat penyebab-penyebab lain mengapa aktifitas mereka dapat hadir kembali pasca reformasi? Pertama, konflik horizontal di tahun 1999 lalu, memberikan celah bagi kahadiran gerakan ini, kedua, lemahnya perhatian aparat keamanan terhadap aktifitas gerakan ini, dan ketiga, kemiskinan menjadi bagian dari revivalisasi gerakan ini, pada kantong-kantong idiologis RMS di pulau Ambon, dan Lease.
Lantas mengapa gerakan-gerakan separatis serupa yang pernah terjadi diberbagai daerah di tanah air seperti; DI/TII Kartosuwiryo (1942-1962), DI/TII Kahar Muzakar (1951-1965), DI/TII Daud Beureueh (1953-1962), dan PRRI/Permesta (1957-1961)(Tempo,2003), dapat dituntaskan oleh aparat keamanan? Tentu terdapat ketidak-seriusan dari aparat keamanan untuk menuntaskannya. Padahal awalnya, aparat keamanan mampu menangkap Soumokil tokoh gerakan separatis RMS (1950-1963) pada 2 Desember 1963 dan selanjutnya dijatuhi hukuman mati.(Tempo,2003). Namun rupanya gerakan separatis ini tidak pernah surut dalam melakukan aksinya.
Meminjam pendapat Rizal Pangabean (2007), bahwa dari aspek governance dan manajemen konflik politik, konflik itu tetap ada sepanjang waktu, namun harus di kelola. Pengelolaan konflik itu bisa melalui jalur formal dan non formal. Jalur formal melalui institusi penegak hukum; pengadilan dan kepolisian. Non formal melalui; lembaga-lembaga adat di level lokal. Sudakah upaya-upaya manajemen konflik politik itu diterapkan secara serius oleh pemerintah daerah, dan pemerintah pusat untuk menuntaskan gerakan seperatis RMS? Tentu belum.
Padahal apa yang dilakukan pemerintah di Aceh dan Papua, melalui pemberian otonomi khusus, adalah bagian dari manajemen konflik politik. Sehingga bisa menyurutkan gerakan-gerakan separatis yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun untuk RMS, pemerintah perlu mencari formula yang tepat untuk memanajnya. Saat ini RMS memang kecil, tapi dikemudian hari bisa saja gerakannya menjadi besar, sehingga bisa menjadi kasus yang diinternasionalisasi oleh pihak-pihak yang bersimpati dengan mereka. Bukankah GAM dan OPM berawal dari gerakan-gerakan yang tidak seberapa besar, namun akhirnya menjadi besar, karena dianggap sebelah mata oleh pemerintah.
Oleh karena itu, saya kira, idiologi separatisme akan dengan sendirinya surut, jika kemudian pemerintah daerah dan pemerintah pusat mampu menyediakan political goods (barang-barang politik) yang memadai. Dalam perspektif governability/kapasitas negara bangsa untuk mengelola dan menyediakan political goods, dimana hirarki political goods menyangkut keamanan (fungsi monopoli negara), salah satu diantara dilakukan melalui; upaya mengeliminasi ancaman domestik. (Pratikno&Lay,2006). Khususnya yang dialami Maluku, terkait dengan sering terjadinya pengibaran bendera oleh gerakan separatis RMS, menandakan tidak adanya kemampuan negara untuk mengelola dan menyediakan political goods, seperti rasa aman dan penegakkan hukum di Maluku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar