Kamis, 05 Juli 2012

Politik Energi, Perikanan, dan Kelautan


Politik energi pemerintah pusat sejak era pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, sampai dengan era pemerintahan Orde Reformasi terhadap  daerah, selalu menempatkan daerah pada posisi yang tidak menguntungkan. Pasalnya berbagai eksploitasi energi yang dimiliki daerah, yang dikonfersikan pengelolaannya menjadi rupiah, dan ditransfer hasil pengelolaannya kepada pemerintah pusat, dan pemerintah daerah sering memberikan porsi yang kecil bagi pemerintah daerah. Hal ini membawa konsekuensi negativ terhadap daerah-daerah penghasil energi minyak bumi, dan gas (migas) seperti ; Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Papua, dimana perkembangan kemajuan pembangunan pada daerah-daerah ini, tidak pesat setara dengan kekayaan energi migas yang dimiliki.
Akibat dari kecilnya porsi perimbangan keuangan antara pemerintah pusat, dan pemerintah daerah, tentu tidak bisa dijadikan sebagai self supporting bagi pembangunan di daerah-daerah yang kaya akan energi migas tersebut. Atas fenomena ini, Aryani (2012) dalam tulisannya yang  berjudul “Konflik Energi dan Otonomi Daerah” lantas menyebutkan bahwa,  penerapan desentralisasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Pemerintah Indonesia juga menunjukkan pergerakan dinamis ke arah sentralisasi di satu sisi, dan desentralisasi di sisi lainnya. Problem ini merupakan sesuatu yang paradoks dengan spirit otonomi daerah, yang dihembuskan sejak bergulirnya reformasi di tahun 1998 lalu.
Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan adanya korporasi antara pemerintah pusat, dan perusahaan-perusahaan internasional, yang bergerak dalam eksploitasi migas seperti ; Exxon Mobil, Caltex, Royal Ducth Shell, Conoco-Philips, dan Chevron. Ironisnya, korporasi diantara kedua aktor ini, justru lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional daripada pemerintah pusat, dimana mengeruk ladang-ladang migas kita untuk menambah pundi-pundi kapital mereka. Di tingkat daerah, melalui penguasaan energi migas oleh perusahaan-perusahaan internasional, juga menyisahkan sedikit keuntungan bagi pemerintah daerah, yang memiliki potensi migas. Fenomena ini, semakin mengukuhkan perusahaan-perusahaan internasional tersebut, sebagai neo-imprealisme dalam penguasaan energi migas di tanah air.
Terlepas dari itu, jika kita secara saksama melihat politik energi pemerintah pusat di daerah Maluku, tentu tidak berbeda jauh dengan daerah Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan daerah Papua, yang memiliki potensi energi migas yang melimpah. Hal ini bisa kita lihat dari pengelolaan minyak bumi di Bula Kabupaten Seram Bagian Timur. Pengelolaan minyak bumi di Bula Kabupaten Seram Bagian Timur, sudah dilakukan sejak era pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, sampai dengan era pemerintahan Orde Reformasi. Diantara perusahaan-perusahaan internasional yang pernah mengelolah ladang minyak bumi di Bula yakni, Caltex, Santos, Kupec, dan Charles.    
Dalam porsi penerimaan pertambangan minyak bumi, yang didapatkan Kabupaten Seram Bagian Timur, dari pengelolaan minyak bumi di Bula, tentu kecil.  Sebab kalau kita melihat porsi penerimaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah pada pasal 14 huruf (e) menyebutkan ; penerimaan pertambangan minyak bumi, yang dihasilkan dari wilayah daerah, yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk pemerintah ; dan 15,5% (lima belas setengah persen) untuk daerah.
Sementara itu pada Pasal 19 ayat (2) menyebutkan bahwa  dana bagi hasil dari pertambangan  minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (e) angka 2 sebesar 15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Dari regulasi ini, menunjukan adanya vertical fiscal imbalance antara pemerintah pusat, dan  pemerintah daerah yang sangat tajam. Sehingga porsi yang didapatkan Bula sebagai daerah penghasil minyak bumi, tidak bisa dijadikan sebagai self supporting dalam pembangunan di daerah itu, apa yang kemudian terjadi daerah kaya seperti Bula tetap miskin, ibarat tikus yang mati dilumbung padi. Ini tentu merupakan sesuatu yang riskan sekaligus memprihatinkan.
Tidak berbeda jauh dengan politik energi dari pemerintah pusat, politik  perikanan dan kelautan sejak era pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, sampai dengan era pemerintahan Orde Reformasi  terhadap daerah selalu menempatkan daerah pada posisi yang tidak menguntungkan pula. Hal ini dikarenakan berbagai eksploitasi perikanan, dan kelautan yang dimiliki daerah, yang dikonfersikan pengelolaannya menjadi rupiah, dan ditransfer hasil pengelolaannya kepada pemerintah pusat, dan pemerintah daerah sering memberikan porsi yang besar kepada pemerintah pusat. Sementara daerah yang kaya akan potensi perikanan, dan kelautan mendapat porsi yang kecil.
Dampak dari porsi sektor perikanan, dan kelautan yang tidak berpihak kepada pemerintah daerah tersebut, maka daerah-daerah yang memiliki potensi perikanan dan kelautan seperti ; Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Papua hingga saat ini belum menjadi tuan di daerahnya sendiri, untuk kemudian mengelolah kekayaan perikanan dan kelautannya, dan hasilnya dapat menjadi self supporting, yang digunakan untuk membiayai pembangunan di daerah-daerah tersebut.
Secara spesifik, kalau kita secara saksama melihat politik perikanan, dan kelautan pemerintah pusat di daerah Maluku, tentu tidak berbeda jauh dengan daerah Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,  Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Papua yang kaya akan potensi perikanan dan kelautan. Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  Tentang Pemerintahan Daerah  Pasal 18 ayat (4) menyebutkan ;  kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas, dan/atau kearah perairan kepulauan untuk provinsi, dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk pemerintah kabupaten/kota.
Sehingga keluar dari 12 mil tersebut, adalah kewenangan pemerintah pusat, yang dikenal sebagai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Sebagai ekses dari penerapan aturan main ini, maka sekitar 50% lebih potensi kekayaan laut yang dimiliki Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat, yang terkandung di Laut Arafuru, Laut Banda ,dan Laut Seram masih dikelolah oleh pemerintah pusat. Meskipun hasil dari pengelolaan perikanan, dan kelautan di ketiga laut tersebut dibagi lagi oleh pemerintah pusat kepada Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat,ternyata pembagian itu belum memuasakan ketiga daerah tersebut.
Begitu pula dengan regulasi armada penangkapan ikan, yang dioperasionalkan di Laut Arafuru, Laut Banda ,dan Laut Seram yang kaya potensi perikanan dan kelautan, merupakan urusan pemerintah pusat. Sebab ijin bagi kapal-kapal penangkapan ikan dengan kapasitas 30 gros ton ke atas, yang akan dioperasionalkan pada ketiga laut itu, merupakan kewenangan dari pemerintah pusat, melalui Departemen Perikanan dan Kelautan. Dengan kondisi ini, maka Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat, yang memiliki potensi perikanan, dan kelautan tidak bisa berbuat banyak, karena tidak memiliki kewenangan melalui dinas otonom terkait, untuk memberikan ijin bagi kapal-kapal penangkapan ikan, dengan kapasitas 30 gros ton ke atas guna dioperasionalkan di ketiga laut tersebut.
Terkait dengan problem ini  Khafid, (2001) dalam artikelnya yang berjudul “Otonomi Daerah di Wilayah Laut Perspektif Pemerintah Kabupaten” lantas mengatakan bahwa, selama ini laut belum bisa dikelola dan dimanfaatkan secara optimal oleh daerah. Hal ini disebabkan karena terbatasnya kewenangan daerah, untuk melakukan pengelolaan wilayah laut. Berbagai kewenangan yang berhubungan dengan pengelolaan, dan pemanfaatan wilayah laut selama ini berada di tangan pusat.
Agar ada perimbangan pengelolaan sumber daya energi migas, perikanan, dan kelautan antara pemerintah pusat, dan pemerintah daerah secara proporsional, maka wakil rakyat dari daerah Maluku yang duduk  sebagai anggota DPR, dan anggota DPD perlu mendorong dilakukannya revisi secara komprehensif, terhadap berbagai regulasi pengelolaan sumber daya energi migas, perikanan dan kelautan, yang merugikan kepentingan daerah Maluku. Hal ini perlu juga didukung oleh elemen civil society di daerah Maluku seperti ; lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi massa (ORMAS), organisasi kepemudaan (OKP), dan organisasi kemahasiswaan untuk bersatu-padu mengajukan judicial reviuw terhadap berbagai regulasi pengelolaan sumber daya energi migas, perikanan dan kelautan, yang tidak berpihak kepada kepentingan daerah Maluku di Mahkamah Konstitusi (MK).

Senin, 12 Juli 2010

Media Demokrat Untuk Demokrasi (dari Refleksi Hut Ameks ke-11)

Oleh : M.J Latuconsina

“media massa memegang peranan penting
sebagai katalisator dalam masyarakat.” -Lasswell-

Ditengah upaya pembangunan politik state di level lokal, kehadiran media massa dengan karakter demokrat sangat diperlukan. Pasalnya dengan tipologi media massa yang demokrat, akan mampu menjadi katalisator bagi upaya pencapaian demokrasi di aras lokal. Hal ini dikarenakan, dalam bidang politik media massa dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen strategis dalam menyampaikan isi politik, dan pendidikan politik kepada publik.
Hal demikian rill tergambar di Maluku, dimana peran media massa dengan karakter demokrat tampil secara intens menjadi katalisator bagi upaya pencapaian demokrasi di pentas lokal. Hal ini ditandai dengan partisipasi aktif media massa, yang tampil menjadi salah satu instrumen strategis dalam menyampaikan isi politik, dan pendidikan politik dari elite politik kepada rakyat, dan dari rakyat kepada elite politik.
Fenomena ini kita temui pada Harian Pagi Ambon Ekspres, yang berpartisipasi aktif dimana tampil menjadi salah satu instrumen dalam menyampaikan isi politik, dan pendidikan politik dari elite politik kepada rakyat, dan dari rakyat kepada elite politik di Maluku. Hal ini dilakukan Harian Pagi Ambon Ekspres seiring dengan semakin kondusifnya Maluku, setelah mengalami konflik kemanusiaan di tahun 1999 lalu.
Karena itu, upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi Maluku pasca konflik kemanusiaan bukan hanya dilakukan secara fisik semata. Namun juga dilakukan secara non fisik melalui pembangunan politik yang berkesinambungan, dengan tujuan untuk pencapaian demokrasi di Maluku. Pembangunan politik dimaksud, salah satunya melalui pelaksanaan agenda-agenda demokrasi dilevel lokal, yang secara periodik dilakukan di daerah ini.
Seperti penyelenggaraan Pemilu 2004 hingga Pemilu 2009 serta pelaksanaan Pemilukada di sepuluh kabupaten/kota sejak 2005 hingga 2010. Tentu perkembangan agenda-agenda demokrasi ditingkat lokal, baik general election dan local election, tidak bisa diterima khalayak di Maluku secara baik tanpa pemberitaan media massa. Dalam kesempataan penyelenggaraan agenda-agenda demokrasi tersebut, Harian Pagi Ambon Ekspres tampil dengan menyugukan berita-berita aktual yang terkait dengan  pelaksanaan event-event demokrasi tersebut.
Sehingga keberhasilan dan kegagalan para kontestan yang tampil dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada dapat diketahui oleh para pemerisa di Maluku. Hal ini merupakan esensi terpenting dari kehadiran Harian Pagi Ambon Ekspres dalam memberitakan moment-moment politik tersebut secara transparan kepada publik di Maluku. Sehingga keingintahuan publik menyangkut    penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada di Maluku dapat terpenuhi secara baik. Melalui aktifitas pemberitaan ini juga, akan  memperkokoh peran staregis Harian Pagi Ambon Ekspres sebagai salah pilar demokrasi di Maluku.  
Diluar itu, Harian Pagi Ambon Ekspres juga tampil sebagai salah satu katalisator yang memiliki pengaruh signifikan bagi upaya pencapaian demokrasi di pentas lokal, karena memiliki kemampuan bersinergi dengan elemen-elemen demokrasi lainnya di ranah lokal seperti ; partai politik, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, organisasi kepemudaan, organisasi massa, dan berbagai elemen demokrasi lainnya, yang konsisten bagi upaya pencapaian demokrasi di Maluku.
Salah satu sinergitas itu kita lihat tatkala Harian Pagi Ambon Ekspres, bersama dengan elemen-elemen demokrasi tersebut, memperjuangkan kepentingan rakyat. Dimana ketika kebijakan-kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), dan Tarif Angkutan Umum (Angkot) yang dibuat eksekutif dan disetujui oleh legislatif, tidak berpihak kepada rakyat. Para mahasiswa, organisasi kepemudaan, dan organisasi massa, yang simpati terhadap rakyat melakukan demonstrasi, dengan tuntutan kepada pihak eksekutif dan legislatif, untuk meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang tidak populis itu.
Peristiwa-peristiwa politik ini kemudian di ekspos Harian Pagi Ambon Ekspres kepada khalayak di Maluku. Efek dari pemberitaan Harian Pagi Ambon Ekspres terhadap kenaikan tarif BBM, TDL dan tarif Angkot tersebut, turut mempengaruhi pihak eksekutif dan legislatif untuk meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang tidak pupulis tersebut. Pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang tidak pupulis itu, direvisi dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat oleh pihak eksekutif dan legislatif.
Hal urgen yang tidak kalah penting, yang juga dilakukan Harian Pagi Ambon Ekspres yakni, dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Maluku yang kian marajalela. Dimana melalui pemberitaannya, Harian Pagi Ambon Ekspres turut membantu aparat penegak hukum seperti; Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan di Maluku dalam mengusut para pelaku tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para elite pemerintahan di daerah ini.
Karena itu, kita perlu memberikan apresiasi positif terhadap upaya yang dilakukan Harian Pagi Ambon Ekspres dalam memberitakan para pelaku tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme di daerah ini. Pasalnya, upaya yang dilakukan Harian Pagi Ambon Ekspres tersebut, merupakan salah satu cara untuk mengamputasi metamorfosis para pelaku tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme di daerah ini menjadi sindikat mafia korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dimana jika dibiarkan akan dapat berpengaruh negatif terhadap kredebilitas state dilevel lokal dimata rakyat. Tentu upaya Harian Pagi Ambon Ekspres tersebut perlu secara intens dilakukan. Sehingga berdampak positif terhadap penciptaan strong government, dalam upaya pencapaian good government, dan clean government di pentas lokal di Maluku. Jika hal ini dapat terlaksana dengan baik, diharapkan akan mampu melapangkan jalan bagi upaya pencapaian demokrasi di level lokal di Maluku.
Pasalnya anggaran yang dikeluarkan state akan terdistribusi secara merata kepada rakyat, tanpa dikorupsi oleh penyelenggara state. Sehingga anggaran yang dikeluarkan state tersebut, akan menjadi self-supporting bagi upaya penciptaan kesejahteraan rakyat di daerah ini. Pada akhirnya kebutuhan mendasar yang diperlukan rakyat di daerah ini akan dapat dipenuhi secara baik oleh state. Dimana optimisme untuk pencapaian welfare state di tingkat lokal akan dapat dipenuhi pula.
Pada 12 Juli 1999 Harian Pagi Ambon Ekspres didirikan, pada  12 Juli 2010 usia Harian Pagi Ambon Ekspres telah mencapai 11 tahun, suatu usia yang masih tergolong muda bagi kiprah Harian Pagi Ambon Ekspres dalam dunia persurat kabaran di Maluku. Meski demikian sikap kritis, dan tajam dalam pemberitaan berbagai peristiwa di daerah ini, selalu menjadi ciri khas Harian Pagi Ambon Ekspres, karena itu merupakan harapan dari khalayak pembaca di Maluku.
Pasang surut Harian Pagi Ambon Ekspres dalam bidang persurat kabaran di Maluku, baik dimasa-masa kritis ketika konflik kemanusiaan melanda daerah ini sudah dilewati, sampai dengan kondusifnya daerah ini dari konflik kemanusiaan tengah  dijalani. Suatu pertanda eksistensi Harian Pagi Ambon Ekspres dalam dunia persurat kabaran di Maluku, yang hingga kini masih tetap kokoh. Dirgahayu Harian Pagi Ambon Ekspres yang ke-11 semoga selalu menjadi sumber informasi, dan inspirasi bagi kemajuan Maluku, serta menjadi media demokrat untuk kemajuan demokrasi di Maluku.

Rabu, 07 April 2010

Sekolah itu Anarkis

Oleh; M.J Latuconsina

”Rakyat bisa cerdas apabila hak-hak
mereka dihormati dan seluruh partisipasi
dan emansipasi mereka diakui..”-Y.B. Mangunwijaya-

Sampai saat ini rakyat masih menaruh harapan besar kepada sekolah, dalam persepsi rakyat sekolah merupakan salah satu media, yang urgen untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sekaligus merupakan salah satu wahana guna memperoleh pencerdasan, dan pencerahan. Sehingga rakyat awalnya tidak memahami suatu ilmu pengetahuan, menjadi memahami suatu ilmu pengetahuan melalui proses belajar di sekolah. Pentingnya sekolah membuat rakyat begitu antusias, meluangkan waktu untuk menimbah ilmu pengetahuan melalui proses belajar di sekolah.   
Bahkan sampai saat ini, rakyat juga masih menaruh harapan besar kepada sekolah, dalam pemahaman rakyat jika mereka memiliki tingkat sekolah yang rendah, akan berdampak buruk terhadap penindasan dan kemiskinan yang akan dialami mereka. Karena itu, sekolah merupakan salah satu jalan terbaik untuk bisa mengeluarkan rakyat, dari keterkungkungan penindasan dan kemiskinan ke arah pembebasan, sekaligus akan mampu menyadarkan rakyat dalam keseluruhan sistem perubahan sosial.
Melalui sekolah pula akan membuat rakyat sukses dalam meraih cita-cita yang mereka inginkan. Sehingga jalan untuk dapat meningkatkan taraf hidup rakyat, ke arah yang lebih baik lagi dapat tercapai. Hal ini didasari oleh pandangan positif rakyat bahwa, dengan sekolah rakyat akan memiliki kualifikasi kelulusan dalam bentuk ijazah, dimana dengan ijazah tersebut dapat digunakan rakyat untuk memperoleh pekerjaan, pada instansi pemerintah dan instansi swasta.  
Guna menyambut antusiasme rakyat akan kebutuhan sekolah itu, maka pihak-pihak (pemerintah/swasta) yang memiliki kepentingan langsung dengan proses aufklarung kepada rakyat, berupaya dengan merogoh kocek ratusan hingga miliaran rupiah untuk meningkatkan jumlah sekolah, maupun mutu sekolah. Hal ini diikuti pula dengan kemampuan finansial dari para siswa untuk membiayai studi mereka di sekolah, yang disediakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan langsung dengan proses pencerdasan, dan pencerahan terhadap rakyat tersebut.
Meningkatkan jumlah sekolah maupun mutu sekolah, diharapkan akan bisa memiliki output yang maksimal terhadap para generasi muda yang lulus dari sekolah tersebut. Melalui upaya ini, akan juga memiliki output yang optimal, bagi instansi pemerintah dan instansi swasta dalam menerima lulusan-lulusan sekolah, yang memiliki kualifikasi yang terbaik. Dimana pada akhirnya lulusan-lulusan sekolah, yang memiliki kualifikasi yang terbaik itu, akan mampu meningkatkan kinerja dari instansi-instansi tersebut tatkala mereka bekerja disana.
Dibalik kebutuhan sekolah oleh rakyat tersebut, terdapat esensi penting dari keikutsertaan rakyat di sekolah. Hal ini sebagaimana dikemukakan Imam Bernadib (1983), yang terkenal melalui karyanya; “Pendidikan Baru” mengatakan bahwa, sekolah akan membentuk kepribadian, dan pengembangan seorang sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk keagamaan. Kesemuanya itu, menghendaki adanya perkembangan individu, menjadi mahluk yang seimbang dan berimbang, maka setiap ajang pendidikan hendaklah memberikan kemungkinan bagi berlangsungnya proses untuk mencapai tujuan yang diharapkan.  
Diluar nilai-nilai luhur sekolah tersebut, ternyata sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang netral, bagi rakyat yang membutuhkannya. Pasalnya mereka-mereka yang memiliki tangunggjawab untuk mengelolah sekolah demi kepentingan rakyat, justru telah tampil secara sektarian dalam mengelolahnya, hanya untuk kepentingan mereka sendiri dan cenderung mengabaikan kepentingan bersama, dalam proses pencerdasan dan pencerahan rakyat. Hal ini diperburuk lagi dengan upaya mengabaikan nilai-nilai pluralisme, dan humanisme di lingkungan sekolah.
Jika demikian yang terjadi, tentu sekolah itu adalah anarkis, karena sekolah hanya menyiapkan siswa-siswa yang hanya berpikir sektrian, yang lambat-laun akan memicu para siswa untuk melakukan tindakan huru-hara, akibat sering terjadinya disharmonisasi dilingkungan sekolah. Hal ini dilakukan para siswa sebagai rasa ketidakpuasan mereka, dari tidak netralnya sekolah itu sendiri. Dalam posisi seperti ini, betapa sekolah telah mengingkari jati dirinya sebagai salah satu institusi vital, yang memiliki nilai-nilai luhur dalam upaya pencerdasan dan pencerahan rakyat. 
Tak pelak sekolah telah terperosok ke jurang nista, karena hanya menjadi semaian dari nilai-nilai anarkisme dan sektarianisme bagi para siswa. Akhirnya output dari sekolah itu sendiri gagal dalam menyamaikan nilai-nilai pluralisme, dan humanisme kepada para siswa. Tentu hal itu adalah raelitas sosial yang cukup memperihatinkan, karena sekolah yang mestinya menyamaikan nilai-nilai pluralisme, dan humanisme justru gagal menyamaikannya kepada para siswa. Kalau model sekolah seperti ini tetap dipertahankan, maka kita tidak bisa berharap banyak bagi upaya pencerdasan dan pencerahan rakyat.
Fenomena sekolah yang demikian oleh Ivan Illich (1982), yang populer melalui karya monumentalnya ; “Bebas dari Sekolah” mengatakan  sebagai anti edukasi terhadap masyarakat. Wajar jika dikatakan fenomena sekolah seperti itu. Karena realitas sosial masih menampatkan sekolah sebagai tempat belajar yang tidak lagi netral. Dimana sekolah memiliki hidden ideologi, yang tidak lagi mempunyai tujuan guna pencerdasan dan pencerahan rakyat, tapi sekolah telah tampil sebagai neo imprealisme, karena hanya menjadi wahana bagi penyamaian sektarianisme, yang pada akhirnya berbuah anarkisme.
Karena itu, mestinya sekolah netral bagi kepentingan pencerdasan dan pencerahan rakyat. Implementasi nilai-nilai yang netral ditengah-tengah proses belajar di sekolah, tentu akan menjadi pendorong utama bagi keberhasilan sekolah dalam upaya pencerahan, dan pencerdasan rakyat. Untuk itu, sekolah perlu dipandang sebagai tempat ideal dalam membentuk kepribadian, dan pengembangan seorang sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk keagamaan. 
Jika nilai-nilai ideal sekolah lebih dikedepankan dalam proses belajar di sekolah, maka sekolah tidak akan lagi anarkis, yang hanya menjadi semaian bagi huru-hara para siswa, tapi sebaliknya sekolah akan memiliki output yang positif dalam upaya pencerahan, dan pencerdasan rakyat, sekaligus akan memiliki output yang positif pula bagi tumbuhnya nilai-nilai pluralisme, dan humanisme dilingkungan sekolah. Karena itu, “tidak ada kata tidak” untuk memposisikan sekolah sebagai tempat belajar yang netral bagi para siswa.

Border

Oleh : M.J Latuconsina

Seseorang tidak bisa menolak menjadi Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa meminta untuk menjadi Jawa, Batak atau Melayu dan sebagainya. Predikat tersebut menjadi sesuatu yang taken for granted sedari awal penciptaan kelahiran.

Sukses pemekaran yang diraih suatu daerah menjadi daerah otonom baru, menjadi spirit awal bagi rakyat di daerah-daerah, yang sebelumnya termarginalkan dalam pembangunan, guna mengejar ketertinggalan pembangunan. Karena itu, ketika suatu daerah berhasil dimekarkan menjadi daerah otonom baru, hal itu menandakan kepercayaan yang diberikan pemerintah pusat, kepada daerah-daerah yang sebelumnya terpinggirkan dalam pembangunan, untuk mengatur dan mengurus rumah tanggahnya sendiri.
Dibalik sukses pemekaran yang dicapai suatu daerah menjadi daerah otonom baru tersebut, seringkali tidak diikuti dengan keberhasilan dalam menuntaskan berbagai problem, yang dihadapi daerah otonom baru tersebut pasca dimekarkan dari daerah induknya. Hal ini dikarenakan terdapat beragam persoalan, yang menghadang setelah daerah otonom baru itu dimekarkan, yakni ; polemik letak ibukota, minimnya aparatur pemerintahan, minimnya infrastruktur pemerintahan, kepala daerah, kepemilikan aset dan polemik tapal batas (border).     
Berbagai persoalan tersebut, adalah sedikit dari sejumlah problem, yang seringkali menimpa daerah otonom baru, baik itu di level kabupaten dan kota di beberapa daerah di tanah air. Munculnya  sejumlah problem ini, sering tidak dapat diantisipasi sejak awal oleh daerah, yang hendak dimekarkan menjadi daerah otonom baru. Pasalnya, euforia pemekaran yang menghinggapi aktor-aktor, yang memiliki kepentingan langsung dengan pemekaran tersebut, menjadi salah satu penyebab mereka lalai mengantisipasinya.
Yang terpikirkan oleh aktor-aktor tersebut, adalah dimekarkan dulu daerah mereka menjadi daerah otonom, baru berbagai persoalan itu dituntaskan dikemudian hari. Padahal, tanpa sadar sejumlah problem ini menjadi bom waktu, yang seringkali bergejolak dikemudian hari. Sehingga kerap berdampak terhadap disharmonisasi daerah induk dengan daerah yang baru dimekarkan tersebut. Apalagi daerah yang baru dimekarkan itu, selama  menjadi bagian dari wilayah daerah induk, merasa termarginalkan, tentu akan sangat rawan terjadinya disharmonisasi.
Hal ini diperburuk lagi dengan teritorialisasi identitas etnis, yang kerap menjadi penyebab suatu daerah dimekarkan menjadi daerah otonom baru dari daerah induknya. Tentu faktor ini akan rawan menyulut disharmonisasi, akibat beberapa problem yang menghinggapi daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut. Tak pelak politik identitas etnis, akan terbawa-bawa dalam sengketa antara daerah yang baru dimekarkan dengan daerah induknya. Fenomena seperti ini, sudah banyak terjadi di sejumlah daerah di tanah air.
Salah satu persoalan crucial, yang seringkali menimpa daerah otonom, yang baru dimekarkan adalah menyangkut border. Dimana daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut, kerap berseteru dengan daerah induknya menyangkut border. Apalagi terdapat basis etnis yang homogen dari aspek bahasa dan agama, yang kebetulan sebagian kecil terdistribusi mengikuti daerah induk, dan sebagian besar terdistribusi mengikuti daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut, tak pelak akan mudah memicu terjadinya disharmonisasi.
Pasalnya perasaan ‘kekitaan’ yang menghinggapi etnis, yang sebagian kecil terdistribusi mengikuti daerah induk, terhadap etnis mereka yang sebagian besar terdistribusi mengikuti daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut sulit terbendung. Akibatnya keinginan untuk bergabung dengan saudara-saudara mereka, yang se-etnis di daerah yang baru dimekarkan tersebut, sering menjadi penyebab konflik border antara daerah induk dan daerah otonom yang baru dimekarkan.   
Fenomena ini, menandai kesalahan interpretasi rakyat di daerah terhadap esensi dari pemekaran daerah otonom itu sendiri. Menyangkut fenomena ini, Daniel Sparringa (2007) dalam tulisannya yang berjudul;‘Transisi Demokrasi di Indonesia: Menstrukturkan Sebuah Peta Jalan Baru’ mengatakan bahwa, pembentukan daerah-daerah administratif di beberapa wilayah memperlihatkan sekaligus terjadinya teritorialisasi identitas. Teritorialisasi identitas sering merupakan awal dari regrouping kultur atas dasar wilayah yang dalam praktiknya dapat mengambil wajah terbentuknya daerah otonom.
Celakanya, muncul keinginan esklusif yang tumbuh secara alamiah dari etnis-etnis yang homogen dari aspek bahasa dan agama tersebut. Ditandai dengan keinginan mereka tetap menjadi satu, dan enggan tercerai-berai dari komunitas etnisnya. Sehingga tatkala pemerintah melalui DPR-RI mensahkan suatu daerah otonom baru, yang disertai dengan border administratif wilayahnya melalui undang-undang pemekaran, seringkali termentahkan. Yang terjadi adalah perlawanan dari etnis-etnis itu, dimana mereka menuntut kepada pemerintah, untuk bergabung dengan daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut.
Fenomena ini seakan mengugurkan kenyataan rill bahwa, kita inklusif dari aspek etnis. Selaku rakyat mestinya kita taat terhadap border administratif wilayah daerah otonom baru, dan daerah otonom lama, yang telah disahkan oleh DPR-RI melalui undang-undang pemekaran. Bukan karena perbedaan etnis lantas kita dapat berbuat sewenang-wenang, untuk kemudian melawan border administratif wilayah daerah otonom lama, yang telah disahkan oleh DPR-RI melalui undang-undang pemekaran, dengan mengatasnamakan ingin bergabung dengan daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut.   
Cara-cara seperti ini, hanya akan membuat kita terbelenggu dalam nilai-nilai primordialisme sempit, dimana tidak menerima kenyataan rill bahwa, kita tercipta dari beragam etnis dan untuk itu kita perlu hidup bersama dalam suasana kemajemukan. Akan realitas kebhinekaan kita tersebut, Ubed Abdilah S (2002) dalam bukunya yang berjudul ; Politik Identitas Etnis, Pergulatan Tanda Tanpa Identitas lantas menyebutkan bahwa, kata etnis sendiri menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau kelompok.
Seseorang atau kelompok yang menjadi Jawa, Bugis, Sunda, Inggris, Belanda atau Afrika mendapat predikat-predikat itu tanpa disadari pada awalnya. Seseorang tidak bisa menolak menjadi Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa meminta untuk menjadi Jawa, Batak atau Melayu dan sebagainya. Predikat tersebut menjadi sesuatu yang taken for granted sedari awal penciptaan kelahiran.
Memaknai kemajemukan secara lahiriah tersebut, tentu jangan karena dilandasi ketidaksukaan terhadap elite di daerah otonom lama, yang berbeda secara etnis lantas secara vulgar kita melakukan perlawanan dengan lebih mengedepankan hard power, untuk meminta bergabung dengan daerah otonom baru, yang kebetulan masih memiliki ikatan etnis yang sama. Mestinya ketidaksukaan terhadap elite di daerah otonom lama, oleh rakyat yang tengah mendiami border administratif wilayah daerah otonom baru itu, dilakukan melalui mekanisme yang konstitusional lewat local election, dengan lebih mengedepankan soft power.     
Dimana jika dalam massa kepemimpinan elite di daerah otonom lama, rakyat tidak merasakan kesejahteraan dan ketentraman. Tentu rakyat memiliki otoritas penuh untuk kemudian melakukan evaluasi kritis terhadap pilihan politik mereka, dalam bentuk ’suara penghukuman’, untuk tidak memilih elite tersebut pada local election lima tahun berikutnya. Mekanisme seperti ini merupakan cara-cara yang konstitusional, dengan lebih mengutamakan nilai-nilai demokratis dalam tatanan kehidupan sosial kita. Ketimbang lebih mengedepankan hard power, yang hanya membuat kita terperangkap dalam mekanisme yang tidak demokratis.

Sabtu, 29 Agustus 2009

Woyla

                               Oleh : M.J Latuconsina


Belum sirna dalam memori kita, atas peristiwa pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, yang dilakukan oleh para teroris yang menyebutkan diri Komando Jihad. Drama pembajakan pesawat beserta awak dan para penumpang, yang didalangi para fundamentalist tersebut, berakhir di Bandara Don Muang Thailand, setelah aksi pembajakan dari para teroris itu, berhasil dilumpuhkan oleh pasukan antiteror ABRI, dari satuan Kopasanda.  
Peristiwa pembajakan pesawat dari maskapai penerbangan sipil itu, pernah ditorehkan kisahannya dalam biografi Jenderal M. Yusuf ‘Panglima Para Prajurit’, Jenderal L.B Moerdani ‘Tragedi Seorang Loyalis’ dan dalam biografi Letnan Jenderal Sintong Panjaitan ‘Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’. Ketiga mantan perwira tinggi ABRI ini, dalam karier militernya pernah bersentuhan langsung, dengan kasus pembajakan pesawat itu. Berikut kisahnya, yang dirangkum dari ketiga biografi tersebut ;
Awal peristiwa pembajakan tersebut, terjadi pada hari Sabtu tanggal 28 Maret 1981, tatkala pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, dengan nomor penerbangan 206 yang mengangkut 48 orang penumpang, dalam penerbangan dari Bandara Internasional Kemayoran Jakarta menuju Bandara Polonia Medan, via Bandara Talangbetutu Palembang dibajak di udara, pada pukul 10.10 WIB setelah pesawat ini melewati Bandara Simpang Tiga Pekanbaru Riau. 
Nasib malang menimpa Copilot Hedhy Juwantoro, mendengar suara ribut di arah belakang. Baru saja akan berpaling, seorang lelaki kekar menyerbu kokpit sambil berteriak, “Jangan bergerak pesawat kami bajak…”. Nasib serupa juga dialami Captain Pilot Herman Rante penerbang DC-9 PK-GNJ, dipaksa dengan todongan senjata mengalihkan tujuan penerbangan ke Penang Malaysia.
Permintaan itu-pun dituruti Captain Pilot Herman Rante. Di Bandara Bayan Lepas Penang, pembajak meminta dikirimi makanan, peta penerbangan bagi kapten pesawat, dan dilakukan pengisian bahan bakar. Permintaan itu kemudian diluluskan Pemerintah Malaysia. Pada pukul 16.05 waktu setempat, pesawat DC-9 Woyla tinggal landas dari Bandara Bayan Lepas Penang. Tempat persinggahan berikut dari pesawat naas ini, adalah Bandara Don Muang Thailand.
Sebelum meminta mengalihkan penerbangan ke Bandara Bayan Lepas Penang, para komplotan pembajak berjumlah lima orang itu, telah melumpuhkan seluruh penumpang dan ketiga pramugari. Salah seorang pembajak Zulfikar, memerintahkan semua penumpang pindah ke bagian belakang sambil meminta semua tanda pengenal. Ketakutan segera terbayang di wajah penumpang, karena mereka tidak bisa membayangkan, bagaimana akhir pengalaman ini?.
Setelah berhasil menguasai pesawat, para teroris itu kemudian memberikan tuntutan kepada pemerintah, agar membebaskan 80 orang tahanan. Terdiri atas tahanan, yang terlibat dalam peristiwa penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki Bandung pada 11 Maret 1981, tahan yang terlibat dalam peristiwa teror Warman di Rajah Paloh pada 22 Agustus 1980, dan para tahanan yang terlibat dalam teror Komando Jihad pada tahun 1977/1978. 
 Berdasarkan informasi dari Wakil Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo, pembajak pesawat DC-9 Woyla itu dilakukan oleh kelompok orang, yang menamakan diri aliran Islam murni (fundamentalist) dan menyebutkan diri Komando Jihad. Kelima pembajak itu antara lain ; Zulfikar T. Djohan Mirza, Abu Sofyan atau Sofyan Efendi, dan Wendy Mohammad Zein ketiganya berasal dari Medan, Mahrizal berasal dari Palembang, serta Abdullah Mulyono seorang kelahiran Yogyakarta.
Drama pembajakan pesawat itu semakin menegangkan, karena para pembajak telah mengalihkan penerbangan pesawat ke negara lain. Pengalihan penerbangan pesawat ke negara lain, tentu menjadi problem serius bagi ABRI, dalam mengupayakan pembebasan pesawat yang telah dibajak tersebut. Pasalnya dalam beberapa kasus pembajakan pesawat, biasanya pihak tuan rumah enggan mengizinkan pasukan asing melakukan operasi militer wilayah negara tersebut. 
Sejak awal Perdana Menteri Thailand Prem Tinsulanonda tidak menghendaki dilakukan kekerasan dalam menangani pembajakan pesawat. Namun akhirnya ia mengijinkan dilakukan operasi militer. Sementara itu, Presiden Soeharto menghendaki dilakukan operasi militer dalam membebaskan sandera. Dalam rangka operasi pembebasan para sandera, Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf yang sedang berada di Ambon, untuk menghadiri rapim dan latgab ABRI, segera memerintahkan Laksamana Sudomo, guna mengkoordinasikan penanggulangannya.  
ABRI kemudian menugaskan pasukan antiteror Kopasanda untuk menanggulanginya. Letkol Sintong Panjaitan, Asisten Operasi Kopasanda dipercayakan merencanakan operasi, dengan menyiapkan satu Karsayudha dari Grup 4/Sandiyudha berkekuatan 72 orang. Namun karena kekuatan pembajak hanya lima orang, jumlahnya disusut menjadi 30 orang. Mereka terdiri dari 24 orang dari Grup 4, tiga orang pamen dari Mako Kopasanda, masing-masing Letkol Sintong Panjaitan sebagai Komandan Tim Antiteror, Mayor Sunarto dan Mayor Isnoor serta tiga dari Grup 1/Parako, yaitu Mayor Subagyo HS dan dua orang lainnya.
Kendati dihadang waktu, pasukan antiteror yang disiapkan itu tetap melakukan latihan. Pihak Garuda-pun menyiapkan pesawat DC-9 Digul, serupa dengan pesawat yang dibajak di hanggar Garuda Line Maintanance Domestic di Bandara Internasional Kemayoran. Berbagai persiapan ini, kemudian membuahkan hasil. Pasalnya pada tanggal 31 Maret 1981 tepatnya pukul 02.45 waktu setempat, para penumpang yang disandera itu, berhasil dibebaskan oleh pasukan antiteror dalam waktu 3 menit. Sedangkan kelima pembajak tersebut tewas saat penyergapan.  
Keberhasilan pasukan antiteror Kopasanda dalam menuntaskan pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla tanpa menewaskan seorang sandra-pun, telah berlalu 29 tahun lalu. Namun keberhasilan tersebut, turut menorehkan nama harum pasukan atiteror Kopasanda dimata dunia internasional. Apresiasi atas keberhasilan ini-pun datang dari berbagai negara. Salah satunya datang dari Israel, yang menyebutkan satuan antiteror Kopasanda bertaraf internasional. 
Sayangnya, keberhasilan yang diraih pasukan antiteror Kopasanda dalam membebaskan pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, yang dilakukan para teroris tersebut, tidak bisa diikuti kesuksesannya oleh Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 POLRI, dalam menangkap Noordin M Top salah seorang gembong teroris, yang selama ini menjadi buronan yang paling dicari-cari oleh Densus 88. Akibat perbuatan teror bom, yang sering dilakukannya di tanah air.
Upaya penangkapan Noordin M Top oleh Densus 88 di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada 8 Agustus 2009 lalu, mengarahkan 200 personil untuk mengepung rumah Muzahri, yang diduga menjadi tempat persembunyiannya. Penyergapan ini-pun memakan waktu 18 jam. Tentu, ini merupakan upaya penangkapan teroris, dengan mengarahkan personil terlalu banyak, tidak sesuai dengan kekuatan teroris dan memakan waktu terlampau lama, untuk suatu keberhasilan operasi antiteror.
Dibandingkan dengan pembebasan para sandera pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, di Bandara Don Muang Thailand oleh pasukan antiteror Kopasanda, dengan mengarahkan 30 personil hanya memerlukan waktu 3 menit untuk membekuk lima orang teroris, yang menyandera para penumpang dan awak pesawat naas itu. Dari “kegagalan” Densus 88 POLRI tersebut, tentu mereka harus “belajar banyak” dari keberhasilan yang pernah diraih pasukan antiteror TNI, dalam menangani aksi teror yang dilakukan oleh para teroris. 



Kleptokratis

Oleh : M.J Latuconsina


Akhir-akhir ini perhatian rakyat tertuju kepada kasus korupsi anggaran negara, yang diduga melibatkan sejumlah pejabat, yang tengah menduduki posisi strategis dilingkup pemerintahan di daerah ini. Penyelewengan anggaran negara yang diduga dilakukan sejumlah pejabat teras tersebut, bukan hanya telah melampaui ratusan juta rupiah, tapi sudah mencapai triliunan rupiah. Tentu merupakan kasus korupsi anggaran negara, dengan jumlah angka yang sangat fantastis. Sehingga dimata rakyat, ini merupakan penyelewengan anggaran negara yang sangat besar.  
Dua diantara sekian banyak kasus korupsi anggaran negara, yang konon melibatkan para pejabat teras dijajaran pemerintahan di provinsi ini, antara lain ; Dana Inpres Nomor 6 tahun 2003 senilai 2,159 triliun rupiah, dan Dana Keserasian Pengungsi bagi 3.550 kepala keluarga di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah senilai 35,5 miliar rupiah. Satu dari kedua kasus itu, telah diproses oleh institusi penegak hukum di daerah ini. Dimana hingga saat ini, rakyat masih menanti diberikannya ganjaran hukuman, bagi para pejabat teras yang diduga terlibat dalam kasus korupsi anggaran negara tersebut.
Jika kelak dugaan penyelewengan anggaran negara tersebut, benar-benar terbukti sebagai bagian dari kejahatan korupsi, yang dilakukan para pejabat teras dilingkup pemerintahan di daerah ini, maka kita jangan pernah berharap banyak upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik kemanusiaan akan tepat sesuai sasarannya. Hal ini, dikarenakan anggaran dari pemerintah pusat, yang diperuntukan bagi upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi provinsi ini pasca konflik horisontal telah terkuras habis. 
Akibatnya upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik kemanusiaan mengalami jomplang, dimana tidak merata sampai ke pelosok-pelosok di daerah ini. Jomplangnya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi provinsi ini pasca konflik kemanusiaan tersebut, dapat dilihat dengan megahnya ibukota provinsi, melalui kehadiran kantor pemerintahan dan kantor wakil rakyat-nya. Tentu ini merupakan suatu keberhasilan semu dari upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini, setelah mengalami pertikaian sipil berkepanjangan.
Para pejabat dari Jakarta, yang datang mengujungi daerah ini-pun, akan dibuat terkagum-kagum dengan megahnya ibukota provinsi, melalui kehadiran kantor pemerintahan dan kantor wakil rakyat-nya. Tak pelak akan muncul persepsi positif dari mereka, bahwa daerah ini telah sukses melakukan rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi pasca konflik horisontal, seperti yang diharapkan mereka sejak awal. Sehingga anggaran yang dikucurkan mereka kepada provinsi ini tidak sia-sia bagi upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik sipil tersebut.
Tentu pandangan dan persepsi mereka keliru, tanpa melihat kondisi rakyat pada pelosok-pelosok di daerah ini, yang masih hidup dalam himpitan kemiskinan, dimana tidak memiliki sandang dan pangan yang cukup memadai. Bahkan 29,7 persen dari jumlah penduduk miskin di tahun 2008 ini, sebagian besar berada pada pelosok-pelosok di provinsi ini. Himpitan kemiskinan yang dialami rakyat di pelosok-pelosok tersebut, jauh dari kemegahan yang terdapat di ibukota provinsi. Fakta ini, tentu merupakan sebuah ironi kemanusiaan, akibat di korupsinya anggaran bagi rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik horisontal tersebut.  
Karena itu, perbuatan korupsi, yang dilakukan para pejabat yang tengah menduduki posisi startegis tersebut, lebih tepat disebut dengan ”kleptokratis”. Oleh Teuku Jacob (2004), dalam bukunya ”Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis”, menyebutkan ”kleptokratis” sebagai pemerintahan penjarah. Dimana ”kleptokratis” merupakan pemerintahan yang inegaliter, yang sama sekali tidak adil. Inti ”kleptokratis” adalah memindahkan kekayaan nasional dari lapisan atas yang berkuasa; politikus dan birokrasi, militer dan polisi serta pengusaha dan pemilik modal.
 Para pejabat yang tengah menduduki posisi startegis dijajaran pemerintahan daerah, tentu tidak memiliki rasa malu lagi ketika mereka diidentikan dengan pemerintahan penjarah. Bagi mereka teriakan pemerintahan penjarah atau-pun yang sejenisnya, tidak lagi mereka pedulikan. Bahkan tatkala mereka diperhadapkan dengan tuduhan korupsi yang bertubi-tubi dialamatkan kepada mereka, justru mereka akan balik mengeluarkan statemen bahwa ”itu kan baru dugaan, kita harus berpenggang teguh kepada asaz praduga tak bersalah. Sehingga tidak segampang itu untuk menuduh kita melakukan korupsi.”
Tak pelak asaz ini seringkali menjadi senjata pamungkas bagi para pejabat tersebut, untuk menghindar dari perbuatan korupsi yang dialamatkan kepada mereka. Padahal sudah ditemukan bukti materil, yang mengarah kepada keterlibatan mereka dalam penyelewengan anggaran negara, namun lagi-lagi mereka belum bisa dijerat dengan ganjaran hukuman pidana, yang setimpal atas perbuatan mereka tersebut. Tentu hal ini merupakan problem serius bagi upaya penegakkan hukum di provinsi ini, dimana masih syarat dengan nuansa politis. 
Dengan kondisi seperti ini, maka yang terpikirkan oleh para pejabat teras tersebut, adalah dapat menunaikan tugas sampai dengan berakhir masa jabatan mereka, tanpa diganjar dengan hukuman pidana akibat perbuatan korupsi yang dilakukan mereka. Sehingga ”posisi cari aman” merupakan jalan terbaik yang mereka tempuh, guna menghindar dari tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada mereka. Hal ini dapat saja terjadi, jika aparat penegak hukum di daerah ini lemah untuk mengungkapkan keterlibatan korupsi dari para pejabat tersebut.
 Namun ”posisi cari aman” yang dilakoni para pejabat, yang tengah menduduki posisi strategis dijajaran pemerintahan daerah tersebut, tidak selamanya dapat dikatakan ”aman-aman saja.” Pasalnya, jika institusi penegak hukum di provinsi ini, memiliki keseriusan untuk menuntaskan masalah korupsi, yang melibatkan sejumlah pejabat teras tersebut, tentu mereka dapat dijerat dengan hukuman pidana, atas perbuatan korupsi yang dilakukan mereka, selama mereka menjalani massa jabatan mereka di pemerintahan. 
Dibanyak daerah sering terjadi demikian, dimana institusi penegak hukum tetap konsisten menuntaskan kasus korupsi, yang melibatkan para pejabat teras. Sehingga ketika para pejabat teras itu menyelesaikan masa jabatan mereka di pemerintahan, diikuti pula dengan proses hukum yang dijalani mereka. Hal ini menimpa Danny Setiawan mantan Gubernur Jawa Barat periode 2003-2008, tersangkut kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran dan alat berat. Ia dianggap bersalah, karena telah menandatangani surat ijin penunjukan pengadaan mobil pemadam kebakaran dan alat berat, tanpa melakukan tender.
Bahkan ia menerima sogokan senilai 2,55 miliar rupiah, dari perusahaan pengadaan mobil pemadam kebakaran dan alat berat. Akibat perbuatan pidananya tersebut, ia kemudian di vonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Nasib serupa juga dialami Lalu Serinata, mantan Gubernur NTB periode 2003-2008, tersangkut kasus korupsi dana APBD NTB tahun 2003 senilai 10 miliar rupiah. Akibat perbuatan pidananya tersebut, ia kemudian divonis lima tahun penjara, oleh Pengadilan Negeri Mataram.  
Akankah para pejabat teras dijajaran pemerintahan di daerah ini, mengalami nasib serupa seperti yang dialami kedua mantan gubernur tersebut?. Tentu terpulang kepada institusi penegak hukum, untuk serius menuntaskan kasus korupsi tersebut. Dimana tanpa ragu-ragu memberikan hukuman pidana, kepada mereka yang sudah benar-benar terbukti melakukan korupsi anggaran negara. Untuk itu, kita berharap sejumlah kasus korupsi tersebut, ”tidak di peti es-kan.” Sehingga meskipun kelak para pejabat teras itu mengakhiri masa jabatan mereka, institusi penegak hukum tetap konsisten menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan mereka. 



Rabu, 08 April 2009

Memotret Indonesia Dari Maluku

Oleh: M. J Latuconsina 


Pasca reformasi, bangsa Indonesia tersentak oleh kemerdekaan Timor Leste. Kejatuhan rejim otoriter Orde Baru pada Mei 1998, membuat komunitas masyarakat yang mendiami Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai rung politik yang lebih terbuka dan lebih demokratis. Isu-isu keterbukaan politik dan kesejahteraan muncul ke permukaan setelah puluhan tahun terpendam.Ditengah terciptanya ruang politik yang lebih terbuka dan lebih demokratis pasca reformasi tersebut, turut dirasakan rakyat di Provinsi Maluku. Pasalnya rakyat lebih bebas melakukan aktifitas politik tanpa perlu merasa was-was, seperti di era Orde Baru. Sayangnya kondisi politik itu tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1999 terjadi konflik kemunal di Ambon yang menyebar ke berbagai daerah di Maluku.
Dalam keadaan yang tidak pasti ini, jelas tidak ada investor, baik asing maupun domestik yang mau menamkan modalnya. Maka ekonomi kita pun berjalan dengan semboyan asal mengambang saja. Tidak ada gairah untuk membuatnya bergerak maju dengan penanaman-penanaman modal baru yang bisa berkembang di masa mendatang. Hasilnya banyak orang kehilangan pekerjaan, sementara harga kebutuhan hidup semakin meningkat.(Arif Budiman, 2006).Apalagi posisi Maluku yang berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI), menjadikan daerah ini semakin sulit untuk bangkit mengejar ketertinggalan pembangunan pasca konflik kemunal tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya keseriusan dari pemerintah pusat dalam mensuport upaya rehabilitasi, rekonstruksi dan recovery Maluku pasca konflik kemanusiaan.
Bahkan provinsi yang turut melahirkan nation state Indonesia ini, mesti menerima kenyataan pahit. Pasalnya masih tertinggal jauh dalam proses pembangunan, jika dibandingkan dengan provinsi lainnya yang bersama-sama melahirkan nation state Indonesia di tahun 1945 lampau. Tidak sebandingnya kemajuan pembangunan yang dialami Provinsi Maluku yang merupakan salah satu provinsi di KTI dengan provinsi yang berada di Kawasan Indonesia Barat (KBI), disebabkan beberapa indikator; 
Pertama, investasi nasional dan internasional yang menekankan pada efesiensi biaya sebagian besar masih terpusat di KBI, karena kawasan ini mempunyai daya beli yang tinggi secara individual maupun secara kolektif-sosial, kedua, investasi pemerintah dalam sektor prasarana (baik untuk pembangunan maupun pemeliharaan) pun kemudian lebih banyak diarahkan untuk daerah-daerah yang secara nyata menunjukan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. 
Ketiga, manajemen pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah secara umum memang tidak diarahkan untuk memajukan perekonomian KTI secara substansial dan kempat, dari sudut pandang kebijakan ekonomi nasional yang mementingkan pertumbuhan dan kurang mementingkan pemerataan, paradigma pertumbuhan ekonomi telah menjebak pemerintah, swasta dan masyarakat dengan berbagai makro dan mengabaikan realitas-realitas mikro.(Djijowiyoto,2003).
Akibatnya, ketertinggalan pembangunan yang dialami Maluku, juga merupakan bagian dari ketertinggalan pembangunan di tanah air. Untuk itu, upaya memotret Indonesia dari Maluku adalah suatu cara melihat nation state Indonesia dari Maluku, dan merupakan mekanisme guna menakar kemajuan pembangunan Indonesia di Maluku sekaligus bagian dari upaya untuk memberikan label model negara Indonesia dari Maluku. 
Dalam perspektif governability apa yang dialami Provinsi Maluku, menandakan tidak adanya kemampuan negara untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods), seperti rasa aman, peneggakan supremasi hukum, pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang maksimal. Padahal political goods merupakan kewajiban negara untuk menyediakannya. 
Terlepas dari itu, upaya memotret Indonesia dari daerah sekaligus pelabelan model negara Indonesia dari daerah bukan merupakan hal yang baru diulas. Pasalnya dalam study politik Indonesia, para ilmuan politik ditanah air, sering melakukan riset untuk memotret Indonesia dari berbagai daerah. Hal ini dilakukan sebagai upaya melihat Indonesia secara utuh, sehingga tak ada kesan bahwa Jakarta adalah Indonesia semata. Tapi Maluku, Papua, Nusa Tenggara, Aceh dan Riau Kepulauan adalah potret Indonesia, yang masih mengalami ketertinggalan pembangunan.
Governability Sebagai Instrumen Memotret Maluku
Governability merupakan instrumen untuk memotret Indonesia dari Maluku. Oleh karena itu untuk memotret Indonesia dari Maluku perlu diketahui apa itu Governability? Menurut Pratikno dan Lay (2006) Governability adalah kapasitas negara bangsa untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods), dimana hirarki barang-barang politik menyangkut: 
Tabel 1
Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
No. Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
1. Keamanan (fungsi monopoli negara) yang bisa dilakukan melalui; mencegah invasi asing, mengeliminasi ancaman domestik yang mengacam tatanan sosial, mencegah kriminalitas dan mengelola perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif.  
2. Tata hukum sebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk
3. pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata
4. Pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata
5. Penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi
6. Sistim uang dan perbankan yang stabil
7. Kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang kondusif
8.Tersedianya ruang publik (publik shere) yang menjamin; hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi, respek dan menyokong institusi politik nasional dan regional, toleran terhadap perbedaan, hak-hak dasar sipil dan asasi serta
9. Pengawasan dan pengaturan lingkungan
  Sumber data; Pratikno, Lay, 2007
Identifikasi Label Negara Indonesia dari Maluku
Terlepas dari itu, apakah memotret Indonesia dari Maluku masuk dalam kategori strong state, weak state, failed state, collapsed state, quasi states, de facto states, sadow states? atau terdapat pelabelan baru dalam memotret Indonesia dari Maluku? Berikut ini paparkan kondisi rill Indonesia dari Maluku melalui menyediakan barang-barang politik (political goods).  
Pertama, keamanan (fungsi monopoli negara), dimana kondisi keamanan di Maluku relatif kondusif sejak tahun 2005 lalu, dan ini sudah mengalami pemulihan yang pesat sejak konflik komunal yang melanda daerah ini di tahun 1999 lalu. Bahkan dalam rangka mencegah invasi asing di Indonesia melalui Maluku, TNI-AD telah menempatkan satuan setingkat kompi di Pulau Wetar, yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, yang ditindaklanjuti lagi dengan penyediaan armada TNI-AL untuk melakukan pengamanan di perairan yang berbatasan langsung dengan Timor Lesta.
Begitu-pun Polri dan TNI di Provinsi Maluku dari waktu ke waktu senantiasa berupaya mengeliminasi ancaman domestik yang mengacam tatanan sosial melalui peningkatan pemeliharaan keamanan. Sehingga angka gangguan keamanan di daerah ini dapat dikendalikan. Namun dalam pegelolaan perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif, adalah problem yang krusial, sebab bukan perkara yang mudah untuk mengelolahnya. Pasalnya rakyat Maluku pasca konflik masih rentan dengan perbedaan kepentingan berdasarkan komunalnya. 
Kedua, tata hukum sebagai standar peerilaku yang meregulasi interaksi penduduk, dimana Dalam implementasi yang rill pasca konflik komunal di Maluku, tata hukum sebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk senantiasa dikedepankan oleh pemerintah daerah. Hal ini dilakukan demi terciptanya stabilitas keamanan. Kendati demikian disadari masih terdapat tata hukum belum dipatuhi oleh rakyat. Indikatornya dapat dilihat dari banyaknya kasus korupsi,yang belum dituntaskan dimeha hijau. 
Ketiga, dalam pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata, pemerintah daerah selalu berupaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi rakyat di daerah ini. Kendati demikian upaya ini sering menemui kendala. Apalagi luas Maluku yang mencapai 658.294 km2, tentu bukan merupakan perkara gampang, karena sebagian rakyat mendiami daerah terpencil yang tersebar di Pulau Buru, Pulau Seram, Aru dan Selatan Daya. Akibanya masih terdapat seperempat penduduk Maluku yang belum terakses pelayanan kesehatan. 
Apalagi angka kemiskinan di Maluku yang mencapai 46% dari total 1,3 juta jiwa penduduk, tentu merupakan problem yang krusial, sebab rakyat tidak memiliki kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan disebabkan minimnya pendapatan mereka. Hal ini diperburuk dengan pelayanan kesehatan yang masih enggan berpihak kepada rakyat miskin di daerah seribu pulau ini.
Keempat, dalam pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata, pemerintah daerah selalu berupaya untuk meningkatkan pelayanan pendidikan di Maluku. Namun saat konflik sarana-prasarana pendidikan banyak yang mengalami kerusakan, sehingga pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata bagi rakyat di daerah ini masih jauh dari harapan, tapi dari waktu ke waktu pemerintah daerah senantiasa berupaya untuk memenuhinya.
Kemudian posisi geografis Maluku menjadi kendala bagi tercapainya pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata. Para guru masih enggan mengabdi di daerah terpencil di daerah ini. Begitu pun fasilitas pendidikan mayoritas berada di kota kecamatan. Bagi daerah terpencil yang masih sulit dibangun fasilitas pendidikan, hal itu berkaitan dengan minimnya jumlah siswa-siswi, yang merupakan syarat pendirian gedung sekolah. Akibatnya mereka membanjiri ibukota kecamatan/desa tetangga yang memiliki fasilitas pendidikan.
Kelima, penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi merupakan faktor vital bagi penunjang pembangunan di Maluku. Namun sayangnya belum maksimal, apalagi ketika konflik komunal di tahun 1999 lalu, turut berimbas pada kerusakan infrastruktur dasar tersebut, karena pemeliharaan jalan terbengkalai dan banyak sarana komunikasi yang rusak. Kendati demikian pasca konflik pemerintah daerah secara terus menerus berupaya memenuhi penyediaan infrastruktur dasar tersebut. 
Keenam, untuk sistim uang dan perbankan di Maluku relatif stabil. Pasalnya sistem uang dan perbankan di daerah ini mengikuti pemerintah pusat. Sehingga jika terdapat kestabilan pada sistim uang dan perbankan di Jakarta, akan berimplikasi positif pada Provinsi Maluku. Namun jika sebaliknya kondisi sistim uang dan perbankan nasional tidak stabil akibat gejolak politik, maka akan berdampak pula pada provinsi Maluku.
Ketujuh, kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang kondusif di Maluku tetap terbuka. Malah pasca konflik pemerintah daerah gencar melakukan promosi tentang prospek menjalankan bisnis di Maluku. Tapi sayangnya lingkungan bisnis di Maluku secara umum belum begitu kondusif. Hal ini disebabkan masih enggannya investor demestik dan mancanegara milirik Maluku, dikarenakan kekuatiran mereka akan kondisi Maluku pasca konflik yang masih rentan konflik komunal. 
Kedelapan, tersedianya ruang publik (publik shere), yang mencakup hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi di Maluku tetap terbuka lebar, kendati demikian secara jujur diakui bahwa hak untuk berpartisipasi dan berkompetsi di Maluku masih saja di warnai semangat primordialisme yang menjadi faktor penghambat. 
Tapi pada satu sisi rakyat Maluku sangat respek dan menyokong institusi politik nasional dan regional. Misalnya partisipasi rakyat menjadi anggota partai begitu besar, yang ditandai dengan peningkatan partisipasi mereka untuk menjadi calon anggota DPR dan DPRD, dalam tiap kali Pemilu yang digelar di republik ini.
Akan tetapi terdapat catatan kritis menyangkut toleran terhadap perbedaan. Pasalnya rakyat Maluku dalam interaksi sebagain besar masih saja tersegregasi atas perbedaan suku, agama dan ras. Meski pada tataran riil tidak nampak, namun hal ini menjadi laten yang suatu saat masih menjadi ancaman untuk terciptanya konflik komunal lagi. Bahkan untuk hak-hak dasar sipil dan asasi belum bisa dipenuhi oleh pemerintah daerah. Misalnya hak rakyat untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak belum juga direalisasikan pemerintah pasca konflik. 
Kesembilan, pengawasan dan pengaturan lingkungan, meskipun sudah ada regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyangkut pengawasan dan pengaturan lingkungan. Tapi fakta membuktikan di Provinsi Maluku justru terjadi kerusakan lingkungan yang kronis. Di laut Banda dan Aru para nelayan domestik maupun mancanegara yang melakukan penangkapan ikan sudah sampai pada tahap over fhising. Cara-cara seperti ini sudah dalam tahap yang sangat menguatirkan.
Menurut Pratikono (2006), jika berbagai kerusakan alam dibiarkan secara terus menerus berlangsung, tanpa adanya upaya pemerintah dalam melakukan proses pengawasan dan pengaturan lingkungan, akan berdampak terhadap rusaknya lingkungan sosial dan psyical, yang sudah tentu akan mengancam keberlangsungah suatu negara.
Label Negara Indonesia dari Maluku
Penyediaan barang-barang politik (political goods) oleh negera di Provinsi Maluku ternyata belum terpenuhi secara maksimal. Sejumlah political goods yang belum dapat direalisasikan negara secara maksimal di Provinsi Maluku seperti yang tertera dalam tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2
Kategori Hirarki Barang-Barang Politik 
Yang Belum Dapat Direalisasikan Negara di Maluku
No. Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
1. Keamanan (fungsi monopoli negara) yang bisa dilakukan melalui; belum terkelolanya perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif
2. Pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata
3. Pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata
4. tidak memadainya penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi
5. Kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang belum kondusif,
6. Belum tersedianya ruang publik (publik shere) yang menjamin : hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi, toleran terhadap perbedaan, hak-hak dasar sipil dan asasi
7. Tidak maksimlanya pengawasan dan pengaturan lingkungan
  Sumber data; dari berbagai sumber, 2007
Berdasarkan identifikasi minimya penyediaan barang-barang politik (political goods) oleh pemerintah di Maluku seperti yang disebutkan itu, maka memotret Indonesia dari Maluku dikategorikan sebagai negara yang hampir bubar (The State Almost Collapsed). Pelabelan baru ini tentu senantiasa disesuaikan dengan kondisi rill di Provinsi Maluku saat ini dan bukan merupakan pelabelan yang sifatnya subyektif. 
Kondisi Maluku yang demikian, relevan dengan pendapat Haryadi (2003) bahwa, hidup berpemerintahan yang justru meningkatkan derajat penderitaan, hanya akan menimbulkan kecenderungan pengingkaran dan anti-pati kepada lembaga-lembaga pemerintahan. Bahkan lebih jauh lagi, dapat mengikis komitmen hidup sebagai suatu bangsa. 
Terlepas dari itu, krisis yang dialami Provinsi Maluku di tahun 1999 lalu, turut berdampak terhadap komitmen hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga rawan terhadap munculnya separatisme, yang senantiasa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu diperparah dengan nasib rakyat yang masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Tak pelak mereka sering mengkambinghitamkan pemerintah, akibat ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan political goods.
Untuk memperbaiki posisi Indonesia dari Maluku yang masuk labelisasi The State Almost Collapsed ke strong state? Hal ini bukan merupakan perkara yang gampang-gampang saja. Paling tidak pemerintah perlu berupaya secara maksimal, untuk penyediaan barang-barang politik (political goods). Sebab ini merupakan upaya terbaik untuk mengeluarkan negara ini dari kehancuran. 
Oleh karena itu bukan saja peran pemerintah daerah, tapi pemerintah pusat perlu memberikan perhatian yang serius bagi pembangunan di Provinsi Maluku. Sehingga melalui upaya ini akan mampu merekonstruksi, merecovery sekaligus merehabilitasi Maluku pasca konflik kemanusiaan. Selain itu, melalui cara ini, ada rasa optimisme bahwa political goods di Maluku akan tercapai.