Rabu, 08 April 2009

Politik Keterwakilan Etnis

Oleh; M.J Latuconsina

 
Maluku merupakan salah satu daerah di tanah air yang majemuk. Kemajemukan Maluku ditandai dengan keberadaan berbagai, suku, agama, ras dan bahasa yang telah menjadi karakteristik rakyat di daerah ini. Kemajemukan tersebut tidak hanya terfokus pada satu wilayah saja, namun membentang dari selatan sampai ke tenggara kepulauan Maluku. Mencakup Seram, Buru, Ambon, Banda, Kei, Aru, Tanimbar, Babar, Leti dan Wetar. 
Keberagaman yang merupakan karaktersitik sosial-budaya tersebut, sekaligus membedakan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya di Maluku. Dalam tingkat lokal, keberagaman sosial-budaya itu kerap berimplikasi terhadap praktek politik di daerah ini, dimana etnis-etnis yang memiliki suara dominan di Maluku, sering menjadi target partai politik, untuk menarik simpati mereka dalam pemilukada.
Politik Keterwakilan Etnis
Salah satu jalan yang dilakukan partai politik, untuk menarik simpati mereka, yakni dengan merekrut elit-elit politik mereka, yang dipasangkan sebagai calkada dan cawalkada dalam pemilukada. Cara seperti ini, merupakan bagian dari politik kerterwakilan etnis sekaligus merupakan bagian dari strategi politik yang dilakukan partai politik, untuk menggalang suara sebanyak-banyaknya, dengan target memenangkan pemilukada. 
Dalam marketing politik (pemasaran politik), strategi semacam ini adalah bagian efektif untuk meraih suara dari etnis-etnis yang memiliki suara dominan. Pasalnya, dengan keterwakilan elit etnis yang dominan suaranya dalam paket pasangan calkada dan cawalkada, diharapkan oleh partai politik pengusung, akan menjadi vote getter, sehingga bisa menarik perhatian etnisnya, untuk mencoblos mereka dalam pemilukada.
Selain itu, etnis merupakan bagian dari segmentasi demografis. Pasalnya dalam segmentasi ini pemilahan pemilih Maluku yang mendiami sembilan kabupaten/kota, didasarkan pada karakteristik asal-usul etnis. Oleh Nursal (2004), segmentasi demografis dikatakan sebagai pemilahan para pemilih berdasarkan karakteristik demografis seperti usia, gender, agama, pendidikan, pekerjaan, kelas sosial-ekonomi dan sebagainya. 
Target partai politik dalam merekrut etnis-etnis yang memiliki suara dominan di Maluku, tidak terlepas dari aspirasi yang mencuat ditengah-tengah masyarakat, dimana mereka menghendaki adanya keterwakilan elit politik mereka dalam proses rekruitmen calkada dan cawalkada, yang dilakukan oleh partai politik. Sehingga sering dalam proses rekrutmen itu, kita mendengar adanya keinginan partai politik mengakomodir figur calkada dan cawalkada menurut keterwakilan etnis; Ambon-Kei, Seram-Kei, Buru-Seram dan Lease-Seram.
Hal ini kerap disuarakan oleh Partai Golkar kepada publik beberapa bulan lalu sebelum mengakomodir paket calkada dan cawalkada mereka secara resmi. Dimana, calkada dan cawalkada yang akan diusung Partai Golkar dalam pilkada langsung Maluku, merupakan perpaduan dari etnis Ambon-Kei. Seperti diduga sebelumnya, strategi ini dilakukan oleh Partai Golkar untuk dapat meraih suara pemilih yang tersebar di Pulau Ambon, Lease, Seram dan Kepulaun Kei.
Pola rekrutmen pasangan calkada dan cawalkada oleh partai politik, dengan menggunakan parameter keterwakilan etnis merupakan sesuatu yang wajar dalam perspektif demokrasi. Sebab pola rekrutmen ini, sepanjang tidak berdampak terhadap meningkatnya primordialisme, akan relevan untuk dipraktekkan karena praktek semacam ini bukan merupakan bagian dari politik primordialisme. Namun semata-mata untuk mengakomodasi beragam kemajemukan dalam sistem politik lokal. 
Sebenarnya politik keterwakilan etnis, bukan merupakan trend yang baru di praktekan di Maluku seiring dengan digelarnya pilkada langsung Provinsi Maluku, sebab pada pilkada langsung di Kabupaten/kota di Maluku, pola rekruitmen semacam ini sudah pernah dipraktekkan. Hal itu nampak dalam pilkada langsung di Kabupaten Buru, Seram Bagian Barat (SBB) dan Kabupaten Kepulauan Aru, disamping mempertimbangkan kapasitas figur calkada dan cawalkada untuk direkrut, ternyata asal etnis figur calkada dan cawalkada juga menjadi pertimbangan dari partai politik untuk mengakomodir mereka.
Misalnya pasangan Husni Hentihu-Ramli Umasugi yang dicalonkan Partai Golkar dalam pilkada Buru tahun 2006, adalah reprsentasi dari etnis Buru-Sula. Kemudian duet pasangan Jacobus Putileihalat-La Kadir yang dicalonkan Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Karya Peduli Bangsa (PDKB) dan Partai Pelopor dalam pilkada langsung SBB 2005, adalah representasi dari etnis Seram-Buton. Begitu pun pasangan Tedy Tengko-Junus Duganata, yang dicalonkan Partai Golkar dalam pilkada Aru tahun 2005 adalah keterwakilan dari etnis Tionghoa-Aru.
Kalkulasi Politik Partai
 Namun sebetelunya, diperkirakan partai politik di daerah ini memiliki kalkulasi politik tersendiri dengan merekrut elit politik yang memiliki basis pemilih etnis yang dominan. Pasalnya dalam persepsi partai politik, mayoritas pemilih di Maluku adalah pemilih sosiologis, dimana preferensi politik rakyat di daerah ini masih ditentukan oleh kesamaan etnis, aliran, ikatan darah, suku asal mereka dengan pasangan calkada dan cawalkada yang bertarung dalam pilkada langsung.
 Hal ini oleh Asfar (2007), dikatakan sebagai model sosiologis (Mazhab Columbia) mendasarkan diri pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga, dan hubungan emosional yang dialami pemilih secara historis. Dimana pendekatan ini beranggapan, bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh sangat signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang.
Sehingga diperkirakan dalam pilkada Maluku nanti, mayoritas pemilih di daerah ini akan cenderung untuk memilih figur calkada dan cawalkada yang memiliki kesamaan etnis dengan mereka. Oleh karena itu, aspek etnis tampaknya tidak bisa diabaikan perannya dalam pilkada langsung Maluku. Pasalnya latar belakang etnis kandidat akan banyak mempengaruhi prefrensi politik pemilih pada pilkada langsung.
Pola rekruitmen pasangan calkada dan cawalkada yang dilakukan oleh partai politik, dengan mempertimbangkan keterwakilan etnis sebenarnya merupakan bagian dari upaya untuk mengelola konflik di ranah lokal. Asumsinya jika dalam politik di aras lokal dapat mengakomodasi kemajemukan etnis, tentu akan dapat meminimalisir terjadinya konflik akibat ketidakpuasan dari suatu etnis, yang tidak terakomodir elitnya dalam proses pilkada langsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar