Sabtu, 29 Agustus 2009

Woyla

                               Oleh : M.J Latuconsina


Belum sirna dalam memori kita, atas peristiwa pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, yang dilakukan oleh para teroris yang menyebutkan diri Komando Jihad. Drama pembajakan pesawat beserta awak dan para penumpang, yang didalangi para fundamentalist tersebut, berakhir di Bandara Don Muang Thailand, setelah aksi pembajakan dari para teroris itu, berhasil dilumpuhkan oleh pasukan antiteror ABRI, dari satuan Kopasanda.  
Peristiwa pembajakan pesawat dari maskapai penerbangan sipil itu, pernah ditorehkan kisahannya dalam biografi Jenderal M. Yusuf ‘Panglima Para Prajurit’, Jenderal L.B Moerdani ‘Tragedi Seorang Loyalis’ dan dalam biografi Letnan Jenderal Sintong Panjaitan ‘Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’. Ketiga mantan perwira tinggi ABRI ini, dalam karier militernya pernah bersentuhan langsung, dengan kasus pembajakan pesawat itu. Berikut kisahnya, yang dirangkum dari ketiga biografi tersebut ;
Awal peristiwa pembajakan tersebut, terjadi pada hari Sabtu tanggal 28 Maret 1981, tatkala pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, dengan nomor penerbangan 206 yang mengangkut 48 orang penumpang, dalam penerbangan dari Bandara Internasional Kemayoran Jakarta menuju Bandara Polonia Medan, via Bandara Talangbetutu Palembang dibajak di udara, pada pukul 10.10 WIB setelah pesawat ini melewati Bandara Simpang Tiga Pekanbaru Riau. 
Nasib malang menimpa Copilot Hedhy Juwantoro, mendengar suara ribut di arah belakang. Baru saja akan berpaling, seorang lelaki kekar menyerbu kokpit sambil berteriak, “Jangan bergerak pesawat kami bajak…”. Nasib serupa juga dialami Captain Pilot Herman Rante penerbang DC-9 PK-GNJ, dipaksa dengan todongan senjata mengalihkan tujuan penerbangan ke Penang Malaysia.
Permintaan itu-pun dituruti Captain Pilot Herman Rante. Di Bandara Bayan Lepas Penang, pembajak meminta dikirimi makanan, peta penerbangan bagi kapten pesawat, dan dilakukan pengisian bahan bakar. Permintaan itu kemudian diluluskan Pemerintah Malaysia. Pada pukul 16.05 waktu setempat, pesawat DC-9 Woyla tinggal landas dari Bandara Bayan Lepas Penang. Tempat persinggahan berikut dari pesawat naas ini, adalah Bandara Don Muang Thailand.
Sebelum meminta mengalihkan penerbangan ke Bandara Bayan Lepas Penang, para komplotan pembajak berjumlah lima orang itu, telah melumpuhkan seluruh penumpang dan ketiga pramugari. Salah seorang pembajak Zulfikar, memerintahkan semua penumpang pindah ke bagian belakang sambil meminta semua tanda pengenal. Ketakutan segera terbayang di wajah penumpang, karena mereka tidak bisa membayangkan, bagaimana akhir pengalaman ini?.
Setelah berhasil menguasai pesawat, para teroris itu kemudian memberikan tuntutan kepada pemerintah, agar membebaskan 80 orang tahanan. Terdiri atas tahanan, yang terlibat dalam peristiwa penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki Bandung pada 11 Maret 1981, tahan yang terlibat dalam peristiwa teror Warman di Rajah Paloh pada 22 Agustus 1980, dan para tahanan yang terlibat dalam teror Komando Jihad pada tahun 1977/1978. 
 Berdasarkan informasi dari Wakil Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo, pembajak pesawat DC-9 Woyla itu dilakukan oleh kelompok orang, yang menamakan diri aliran Islam murni (fundamentalist) dan menyebutkan diri Komando Jihad. Kelima pembajak itu antara lain ; Zulfikar T. Djohan Mirza, Abu Sofyan atau Sofyan Efendi, dan Wendy Mohammad Zein ketiganya berasal dari Medan, Mahrizal berasal dari Palembang, serta Abdullah Mulyono seorang kelahiran Yogyakarta.
Drama pembajakan pesawat itu semakin menegangkan, karena para pembajak telah mengalihkan penerbangan pesawat ke negara lain. Pengalihan penerbangan pesawat ke negara lain, tentu menjadi problem serius bagi ABRI, dalam mengupayakan pembebasan pesawat yang telah dibajak tersebut. Pasalnya dalam beberapa kasus pembajakan pesawat, biasanya pihak tuan rumah enggan mengizinkan pasukan asing melakukan operasi militer wilayah negara tersebut. 
Sejak awal Perdana Menteri Thailand Prem Tinsulanonda tidak menghendaki dilakukan kekerasan dalam menangani pembajakan pesawat. Namun akhirnya ia mengijinkan dilakukan operasi militer. Sementara itu, Presiden Soeharto menghendaki dilakukan operasi militer dalam membebaskan sandera. Dalam rangka operasi pembebasan para sandera, Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf yang sedang berada di Ambon, untuk menghadiri rapim dan latgab ABRI, segera memerintahkan Laksamana Sudomo, guna mengkoordinasikan penanggulangannya.  
ABRI kemudian menugaskan pasukan antiteror Kopasanda untuk menanggulanginya. Letkol Sintong Panjaitan, Asisten Operasi Kopasanda dipercayakan merencanakan operasi, dengan menyiapkan satu Karsayudha dari Grup 4/Sandiyudha berkekuatan 72 orang. Namun karena kekuatan pembajak hanya lima orang, jumlahnya disusut menjadi 30 orang. Mereka terdiri dari 24 orang dari Grup 4, tiga orang pamen dari Mako Kopasanda, masing-masing Letkol Sintong Panjaitan sebagai Komandan Tim Antiteror, Mayor Sunarto dan Mayor Isnoor serta tiga dari Grup 1/Parako, yaitu Mayor Subagyo HS dan dua orang lainnya.
Kendati dihadang waktu, pasukan antiteror yang disiapkan itu tetap melakukan latihan. Pihak Garuda-pun menyiapkan pesawat DC-9 Digul, serupa dengan pesawat yang dibajak di hanggar Garuda Line Maintanance Domestic di Bandara Internasional Kemayoran. Berbagai persiapan ini, kemudian membuahkan hasil. Pasalnya pada tanggal 31 Maret 1981 tepatnya pukul 02.45 waktu setempat, para penumpang yang disandera itu, berhasil dibebaskan oleh pasukan antiteror dalam waktu 3 menit. Sedangkan kelima pembajak tersebut tewas saat penyergapan.  
Keberhasilan pasukan antiteror Kopasanda dalam menuntaskan pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla tanpa menewaskan seorang sandra-pun, telah berlalu 29 tahun lalu. Namun keberhasilan tersebut, turut menorehkan nama harum pasukan atiteror Kopasanda dimata dunia internasional. Apresiasi atas keberhasilan ini-pun datang dari berbagai negara. Salah satunya datang dari Israel, yang menyebutkan satuan antiteror Kopasanda bertaraf internasional. 
Sayangnya, keberhasilan yang diraih pasukan antiteror Kopasanda dalam membebaskan pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, yang dilakukan para teroris tersebut, tidak bisa diikuti kesuksesannya oleh Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 POLRI, dalam menangkap Noordin M Top salah seorang gembong teroris, yang selama ini menjadi buronan yang paling dicari-cari oleh Densus 88. Akibat perbuatan teror bom, yang sering dilakukannya di tanah air.
Upaya penangkapan Noordin M Top oleh Densus 88 di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada 8 Agustus 2009 lalu, mengarahkan 200 personil untuk mengepung rumah Muzahri, yang diduga menjadi tempat persembunyiannya. Penyergapan ini-pun memakan waktu 18 jam. Tentu, ini merupakan upaya penangkapan teroris, dengan mengarahkan personil terlalu banyak, tidak sesuai dengan kekuatan teroris dan memakan waktu terlampau lama, untuk suatu keberhasilan operasi antiteror.
Dibandingkan dengan pembebasan para sandera pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, di Bandara Don Muang Thailand oleh pasukan antiteror Kopasanda, dengan mengarahkan 30 personil hanya memerlukan waktu 3 menit untuk membekuk lima orang teroris, yang menyandera para penumpang dan awak pesawat naas itu. Dari “kegagalan” Densus 88 POLRI tersebut, tentu mereka harus “belajar banyak” dari keberhasilan yang pernah diraih pasukan antiteror TNI, dalam menangani aksi teror yang dilakukan oleh para teroris. 



Kleptokratis

Oleh : M.J Latuconsina


Akhir-akhir ini perhatian rakyat tertuju kepada kasus korupsi anggaran negara, yang diduga melibatkan sejumlah pejabat, yang tengah menduduki posisi strategis dilingkup pemerintahan di daerah ini. Penyelewengan anggaran negara yang diduga dilakukan sejumlah pejabat teras tersebut, bukan hanya telah melampaui ratusan juta rupiah, tapi sudah mencapai triliunan rupiah. Tentu merupakan kasus korupsi anggaran negara, dengan jumlah angka yang sangat fantastis. Sehingga dimata rakyat, ini merupakan penyelewengan anggaran negara yang sangat besar.  
Dua diantara sekian banyak kasus korupsi anggaran negara, yang konon melibatkan para pejabat teras dijajaran pemerintahan di provinsi ini, antara lain ; Dana Inpres Nomor 6 tahun 2003 senilai 2,159 triliun rupiah, dan Dana Keserasian Pengungsi bagi 3.550 kepala keluarga di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah senilai 35,5 miliar rupiah. Satu dari kedua kasus itu, telah diproses oleh institusi penegak hukum di daerah ini. Dimana hingga saat ini, rakyat masih menanti diberikannya ganjaran hukuman, bagi para pejabat teras yang diduga terlibat dalam kasus korupsi anggaran negara tersebut.
Jika kelak dugaan penyelewengan anggaran negara tersebut, benar-benar terbukti sebagai bagian dari kejahatan korupsi, yang dilakukan para pejabat teras dilingkup pemerintahan di daerah ini, maka kita jangan pernah berharap banyak upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik kemanusiaan akan tepat sesuai sasarannya. Hal ini, dikarenakan anggaran dari pemerintah pusat, yang diperuntukan bagi upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi provinsi ini pasca konflik horisontal telah terkuras habis. 
Akibatnya upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik kemanusiaan mengalami jomplang, dimana tidak merata sampai ke pelosok-pelosok di daerah ini. Jomplangnya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi provinsi ini pasca konflik kemanusiaan tersebut, dapat dilihat dengan megahnya ibukota provinsi, melalui kehadiran kantor pemerintahan dan kantor wakil rakyat-nya. Tentu ini merupakan suatu keberhasilan semu dari upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini, setelah mengalami pertikaian sipil berkepanjangan.
Para pejabat dari Jakarta, yang datang mengujungi daerah ini-pun, akan dibuat terkagum-kagum dengan megahnya ibukota provinsi, melalui kehadiran kantor pemerintahan dan kantor wakil rakyat-nya. Tak pelak akan muncul persepsi positif dari mereka, bahwa daerah ini telah sukses melakukan rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi pasca konflik horisontal, seperti yang diharapkan mereka sejak awal. Sehingga anggaran yang dikucurkan mereka kepada provinsi ini tidak sia-sia bagi upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik sipil tersebut.
Tentu pandangan dan persepsi mereka keliru, tanpa melihat kondisi rakyat pada pelosok-pelosok di daerah ini, yang masih hidup dalam himpitan kemiskinan, dimana tidak memiliki sandang dan pangan yang cukup memadai. Bahkan 29,7 persen dari jumlah penduduk miskin di tahun 2008 ini, sebagian besar berada pada pelosok-pelosok di provinsi ini. Himpitan kemiskinan yang dialami rakyat di pelosok-pelosok tersebut, jauh dari kemegahan yang terdapat di ibukota provinsi. Fakta ini, tentu merupakan sebuah ironi kemanusiaan, akibat di korupsinya anggaran bagi rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik horisontal tersebut.  
Karena itu, perbuatan korupsi, yang dilakukan para pejabat yang tengah menduduki posisi startegis tersebut, lebih tepat disebut dengan ”kleptokratis”. Oleh Teuku Jacob (2004), dalam bukunya ”Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis”, menyebutkan ”kleptokratis” sebagai pemerintahan penjarah. Dimana ”kleptokratis” merupakan pemerintahan yang inegaliter, yang sama sekali tidak adil. Inti ”kleptokratis” adalah memindahkan kekayaan nasional dari lapisan atas yang berkuasa; politikus dan birokrasi, militer dan polisi serta pengusaha dan pemilik modal.
 Para pejabat yang tengah menduduki posisi startegis dijajaran pemerintahan daerah, tentu tidak memiliki rasa malu lagi ketika mereka diidentikan dengan pemerintahan penjarah. Bagi mereka teriakan pemerintahan penjarah atau-pun yang sejenisnya, tidak lagi mereka pedulikan. Bahkan tatkala mereka diperhadapkan dengan tuduhan korupsi yang bertubi-tubi dialamatkan kepada mereka, justru mereka akan balik mengeluarkan statemen bahwa ”itu kan baru dugaan, kita harus berpenggang teguh kepada asaz praduga tak bersalah. Sehingga tidak segampang itu untuk menuduh kita melakukan korupsi.”
Tak pelak asaz ini seringkali menjadi senjata pamungkas bagi para pejabat tersebut, untuk menghindar dari perbuatan korupsi yang dialamatkan kepada mereka. Padahal sudah ditemukan bukti materil, yang mengarah kepada keterlibatan mereka dalam penyelewengan anggaran negara, namun lagi-lagi mereka belum bisa dijerat dengan ganjaran hukuman pidana, yang setimpal atas perbuatan mereka tersebut. Tentu hal ini merupakan problem serius bagi upaya penegakkan hukum di provinsi ini, dimana masih syarat dengan nuansa politis. 
Dengan kondisi seperti ini, maka yang terpikirkan oleh para pejabat teras tersebut, adalah dapat menunaikan tugas sampai dengan berakhir masa jabatan mereka, tanpa diganjar dengan hukuman pidana akibat perbuatan korupsi yang dilakukan mereka. Sehingga ”posisi cari aman” merupakan jalan terbaik yang mereka tempuh, guna menghindar dari tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada mereka. Hal ini dapat saja terjadi, jika aparat penegak hukum di daerah ini lemah untuk mengungkapkan keterlibatan korupsi dari para pejabat tersebut.
 Namun ”posisi cari aman” yang dilakoni para pejabat, yang tengah menduduki posisi strategis dijajaran pemerintahan daerah tersebut, tidak selamanya dapat dikatakan ”aman-aman saja.” Pasalnya, jika institusi penegak hukum di provinsi ini, memiliki keseriusan untuk menuntaskan masalah korupsi, yang melibatkan sejumlah pejabat teras tersebut, tentu mereka dapat dijerat dengan hukuman pidana, atas perbuatan korupsi yang dilakukan mereka, selama mereka menjalani massa jabatan mereka di pemerintahan. 
Dibanyak daerah sering terjadi demikian, dimana institusi penegak hukum tetap konsisten menuntaskan kasus korupsi, yang melibatkan para pejabat teras. Sehingga ketika para pejabat teras itu menyelesaikan masa jabatan mereka di pemerintahan, diikuti pula dengan proses hukum yang dijalani mereka. Hal ini menimpa Danny Setiawan mantan Gubernur Jawa Barat periode 2003-2008, tersangkut kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran dan alat berat. Ia dianggap bersalah, karena telah menandatangani surat ijin penunjukan pengadaan mobil pemadam kebakaran dan alat berat, tanpa melakukan tender.
Bahkan ia menerima sogokan senilai 2,55 miliar rupiah, dari perusahaan pengadaan mobil pemadam kebakaran dan alat berat. Akibat perbuatan pidananya tersebut, ia kemudian di vonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Nasib serupa juga dialami Lalu Serinata, mantan Gubernur NTB periode 2003-2008, tersangkut kasus korupsi dana APBD NTB tahun 2003 senilai 10 miliar rupiah. Akibat perbuatan pidananya tersebut, ia kemudian divonis lima tahun penjara, oleh Pengadilan Negeri Mataram.  
Akankah para pejabat teras dijajaran pemerintahan di daerah ini, mengalami nasib serupa seperti yang dialami kedua mantan gubernur tersebut?. Tentu terpulang kepada institusi penegak hukum, untuk serius menuntaskan kasus korupsi tersebut. Dimana tanpa ragu-ragu memberikan hukuman pidana, kepada mereka yang sudah benar-benar terbukti melakukan korupsi anggaran negara. Untuk itu, kita berharap sejumlah kasus korupsi tersebut, ”tidak di peti es-kan.” Sehingga meskipun kelak para pejabat teras itu mengakhiri masa jabatan mereka, institusi penegak hukum tetap konsisten menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan mereka. 



Rabu, 08 April 2009

Memotret Indonesia Dari Maluku

Oleh: M. J Latuconsina 


Pasca reformasi, bangsa Indonesia tersentak oleh kemerdekaan Timor Leste. Kejatuhan rejim otoriter Orde Baru pada Mei 1998, membuat komunitas masyarakat yang mendiami Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai rung politik yang lebih terbuka dan lebih demokratis. Isu-isu keterbukaan politik dan kesejahteraan muncul ke permukaan setelah puluhan tahun terpendam.Ditengah terciptanya ruang politik yang lebih terbuka dan lebih demokratis pasca reformasi tersebut, turut dirasakan rakyat di Provinsi Maluku. Pasalnya rakyat lebih bebas melakukan aktifitas politik tanpa perlu merasa was-was, seperti di era Orde Baru. Sayangnya kondisi politik itu tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1999 terjadi konflik kemunal di Ambon yang menyebar ke berbagai daerah di Maluku.
Dalam keadaan yang tidak pasti ini, jelas tidak ada investor, baik asing maupun domestik yang mau menamkan modalnya. Maka ekonomi kita pun berjalan dengan semboyan asal mengambang saja. Tidak ada gairah untuk membuatnya bergerak maju dengan penanaman-penanaman modal baru yang bisa berkembang di masa mendatang. Hasilnya banyak orang kehilangan pekerjaan, sementara harga kebutuhan hidup semakin meningkat.(Arif Budiman, 2006).Apalagi posisi Maluku yang berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI), menjadikan daerah ini semakin sulit untuk bangkit mengejar ketertinggalan pembangunan pasca konflik kemunal tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya keseriusan dari pemerintah pusat dalam mensuport upaya rehabilitasi, rekonstruksi dan recovery Maluku pasca konflik kemanusiaan.
Bahkan provinsi yang turut melahirkan nation state Indonesia ini, mesti menerima kenyataan pahit. Pasalnya masih tertinggal jauh dalam proses pembangunan, jika dibandingkan dengan provinsi lainnya yang bersama-sama melahirkan nation state Indonesia di tahun 1945 lampau. Tidak sebandingnya kemajuan pembangunan yang dialami Provinsi Maluku yang merupakan salah satu provinsi di KTI dengan provinsi yang berada di Kawasan Indonesia Barat (KBI), disebabkan beberapa indikator; 
Pertama, investasi nasional dan internasional yang menekankan pada efesiensi biaya sebagian besar masih terpusat di KBI, karena kawasan ini mempunyai daya beli yang tinggi secara individual maupun secara kolektif-sosial, kedua, investasi pemerintah dalam sektor prasarana (baik untuk pembangunan maupun pemeliharaan) pun kemudian lebih banyak diarahkan untuk daerah-daerah yang secara nyata menunjukan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. 
Ketiga, manajemen pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah secara umum memang tidak diarahkan untuk memajukan perekonomian KTI secara substansial dan kempat, dari sudut pandang kebijakan ekonomi nasional yang mementingkan pertumbuhan dan kurang mementingkan pemerataan, paradigma pertumbuhan ekonomi telah menjebak pemerintah, swasta dan masyarakat dengan berbagai makro dan mengabaikan realitas-realitas mikro.(Djijowiyoto,2003).
Akibatnya, ketertinggalan pembangunan yang dialami Maluku, juga merupakan bagian dari ketertinggalan pembangunan di tanah air. Untuk itu, upaya memotret Indonesia dari Maluku adalah suatu cara melihat nation state Indonesia dari Maluku, dan merupakan mekanisme guna menakar kemajuan pembangunan Indonesia di Maluku sekaligus bagian dari upaya untuk memberikan label model negara Indonesia dari Maluku. 
Dalam perspektif governability apa yang dialami Provinsi Maluku, menandakan tidak adanya kemampuan negara untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods), seperti rasa aman, peneggakan supremasi hukum, pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang maksimal. Padahal political goods merupakan kewajiban negara untuk menyediakannya. 
Terlepas dari itu, upaya memotret Indonesia dari daerah sekaligus pelabelan model negara Indonesia dari daerah bukan merupakan hal yang baru diulas. Pasalnya dalam study politik Indonesia, para ilmuan politik ditanah air, sering melakukan riset untuk memotret Indonesia dari berbagai daerah. Hal ini dilakukan sebagai upaya melihat Indonesia secara utuh, sehingga tak ada kesan bahwa Jakarta adalah Indonesia semata. Tapi Maluku, Papua, Nusa Tenggara, Aceh dan Riau Kepulauan adalah potret Indonesia, yang masih mengalami ketertinggalan pembangunan.
Governability Sebagai Instrumen Memotret Maluku
Governability merupakan instrumen untuk memotret Indonesia dari Maluku. Oleh karena itu untuk memotret Indonesia dari Maluku perlu diketahui apa itu Governability? Menurut Pratikno dan Lay (2006) Governability adalah kapasitas negara bangsa untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods), dimana hirarki barang-barang politik menyangkut: 
Tabel 1
Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
No. Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
1. Keamanan (fungsi monopoli negara) yang bisa dilakukan melalui; mencegah invasi asing, mengeliminasi ancaman domestik yang mengacam tatanan sosial, mencegah kriminalitas dan mengelola perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif.  
2. Tata hukum sebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk
3. pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata
4. Pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata
5. Penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi
6. Sistim uang dan perbankan yang stabil
7. Kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang kondusif
8.Tersedianya ruang publik (publik shere) yang menjamin; hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi, respek dan menyokong institusi politik nasional dan regional, toleran terhadap perbedaan, hak-hak dasar sipil dan asasi serta
9. Pengawasan dan pengaturan lingkungan
  Sumber data; Pratikno, Lay, 2007
Identifikasi Label Negara Indonesia dari Maluku
Terlepas dari itu, apakah memotret Indonesia dari Maluku masuk dalam kategori strong state, weak state, failed state, collapsed state, quasi states, de facto states, sadow states? atau terdapat pelabelan baru dalam memotret Indonesia dari Maluku? Berikut ini paparkan kondisi rill Indonesia dari Maluku melalui menyediakan barang-barang politik (political goods).  
Pertama, keamanan (fungsi monopoli negara), dimana kondisi keamanan di Maluku relatif kondusif sejak tahun 2005 lalu, dan ini sudah mengalami pemulihan yang pesat sejak konflik komunal yang melanda daerah ini di tahun 1999 lalu. Bahkan dalam rangka mencegah invasi asing di Indonesia melalui Maluku, TNI-AD telah menempatkan satuan setingkat kompi di Pulau Wetar, yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, yang ditindaklanjuti lagi dengan penyediaan armada TNI-AL untuk melakukan pengamanan di perairan yang berbatasan langsung dengan Timor Lesta.
Begitu-pun Polri dan TNI di Provinsi Maluku dari waktu ke waktu senantiasa berupaya mengeliminasi ancaman domestik yang mengacam tatanan sosial melalui peningkatan pemeliharaan keamanan. Sehingga angka gangguan keamanan di daerah ini dapat dikendalikan. Namun dalam pegelolaan perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif, adalah problem yang krusial, sebab bukan perkara yang mudah untuk mengelolahnya. Pasalnya rakyat Maluku pasca konflik masih rentan dengan perbedaan kepentingan berdasarkan komunalnya. 
Kedua, tata hukum sebagai standar peerilaku yang meregulasi interaksi penduduk, dimana Dalam implementasi yang rill pasca konflik komunal di Maluku, tata hukum sebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk senantiasa dikedepankan oleh pemerintah daerah. Hal ini dilakukan demi terciptanya stabilitas keamanan. Kendati demikian disadari masih terdapat tata hukum belum dipatuhi oleh rakyat. Indikatornya dapat dilihat dari banyaknya kasus korupsi,yang belum dituntaskan dimeha hijau. 
Ketiga, dalam pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata, pemerintah daerah selalu berupaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi rakyat di daerah ini. Kendati demikian upaya ini sering menemui kendala. Apalagi luas Maluku yang mencapai 658.294 km2, tentu bukan merupakan perkara gampang, karena sebagian rakyat mendiami daerah terpencil yang tersebar di Pulau Buru, Pulau Seram, Aru dan Selatan Daya. Akibanya masih terdapat seperempat penduduk Maluku yang belum terakses pelayanan kesehatan. 
Apalagi angka kemiskinan di Maluku yang mencapai 46% dari total 1,3 juta jiwa penduduk, tentu merupakan problem yang krusial, sebab rakyat tidak memiliki kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan disebabkan minimnya pendapatan mereka. Hal ini diperburuk dengan pelayanan kesehatan yang masih enggan berpihak kepada rakyat miskin di daerah seribu pulau ini.
Keempat, dalam pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata, pemerintah daerah selalu berupaya untuk meningkatkan pelayanan pendidikan di Maluku. Namun saat konflik sarana-prasarana pendidikan banyak yang mengalami kerusakan, sehingga pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata bagi rakyat di daerah ini masih jauh dari harapan, tapi dari waktu ke waktu pemerintah daerah senantiasa berupaya untuk memenuhinya.
Kemudian posisi geografis Maluku menjadi kendala bagi tercapainya pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata. Para guru masih enggan mengabdi di daerah terpencil di daerah ini. Begitu pun fasilitas pendidikan mayoritas berada di kota kecamatan. Bagi daerah terpencil yang masih sulit dibangun fasilitas pendidikan, hal itu berkaitan dengan minimnya jumlah siswa-siswi, yang merupakan syarat pendirian gedung sekolah. Akibatnya mereka membanjiri ibukota kecamatan/desa tetangga yang memiliki fasilitas pendidikan.
Kelima, penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi merupakan faktor vital bagi penunjang pembangunan di Maluku. Namun sayangnya belum maksimal, apalagi ketika konflik komunal di tahun 1999 lalu, turut berimbas pada kerusakan infrastruktur dasar tersebut, karena pemeliharaan jalan terbengkalai dan banyak sarana komunikasi yang rusak. Kendati demikian pasca konflik pemerintah daerah secara terus menerus berupaya memenuhi penyediaan infrastruktur dasar tersebut. 
Keenam, untuk sistim uang dan perbankan di Maluku relatif stabil. Pasalnya sistem uang dan perbankan di daerah ini mengikuti pemerintah pusat. Sehingga jika terdapat kestabilan pada sistim uang dan perbankan di Jakarta, akan berimplikasi positif pada Provinsi Maluku. Namun jika sebaliknya kondisi sistim uang dan perbankan nasional tidak stabil akibat gejolak politik, maka akan berdampak pula pada provinsi Maluku.
Ketujuh, kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang kondusif di Maluku tetap terbuka. Malah pasca konflik pemerintah daerah gencar melakukan promosi tentang prospek menjalankan bisnis di Maluku. Tapi sayangnya lingkungan bisnis di Maluku secara umum belum begitu kondusif. Hal ini disebabkan masih enggannya investor demestik dan mancanegara milirik Maluku, dikarenakan kekuatiran mereka akan kondisi Maluku pasca konflik yang masih rentan konflik komunal. 
Kedelapan, tersedianya ruang publik (publik shere), yang mencakup hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi di Maluku tetap terbuka lebar, kendati demikian secara jujur diakui bahwa hak untuk berpartisipasi dan berkompetsi di Maluku masih saja di warnai semangat primordialisme yang menjadi faktor penghambat. 
Tapi pada satu sisi rakyat Maluku sangat respek dan menyokong institusi politik nasional dan regional. Misalnya partisipasi rakyat menjadi anggota partai begitu besar, yang ditandai dengan peningkatan partisipasi mereka untuk menjadi calon anggota DPR dan DPRD, dalam tiap kali Pemilu yang digelar di republik ini.
Akan tetapi terdapat catatan kritis menyangkut toleran terhadap perbedaan. Pasalnya rakyat Maluku dalam interaksi sebagain besar masih saja tersegregasi atas perbedaan suku, agama dan ras. Meski pada tataran riil tidak nampak, namun hal ini menjadi laten yang suatu saat masih menjadi ancaman untuk terciptanya konflik komunal lagi. Bahkan untuk hak-hak dasar sipil dan asasi belum bisa dipenuhi oleh pemerintah daerah. Misalnya hak rakyat untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak belum juga direalisasikan pemerintah pasca konflik. 
Kesembilan, pengawasan dan pengaturan lingkungan, meskipun sudah ada regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyangkut pengawasan dan pengaturan lingkungan. Tapi fakta membuktikan di Provinsi Maluku justru terjadi kerusakan lingkungan yang kronis. Di laut Banda dan Aru para nelayan domestik maupun mancanegara yang melakukan penangkapan ikan sudah sampai pada tahap over fhising. Cara-cara seperti ini sudah dalam tahap yang sangat menguatirkan.
Menurut Pratikono (2006), jika berbagai kerusakan alam dibiarkan secara terus menerus berlangsung, tanpa adanya upaya pemerintah dalam melakukan proses pengawasan dan pengaturan lingkungan, akan berdampak terhadap rusaknya lingkungan sosial dan psyical, yang sudah tentu akan mengancam keberlangsungah suatu negara.
Label Negara Indonesia dari Maluku
Penyediaan barang-barang politik (political goods) oleh negera di Provinsi Maluku ternyata belum terpenuhi secara maksimal. Sejumlah political goods yang belum dapat direalisasikan negara secara maksimal di Provinsi Maluku seperti yang tertera dalam tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2
Kategori Hirarki Barang-Barang Politik 
Yang Belum Dapat Direalisasikan Negara di Maluku
No. Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
1. Keamanan (fungsi monopoli negara) yang bisa dilakukan melalui; belum terkelolanya perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif
2. Pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata
3. Pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata
4. tidak memadainya penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi
5. Kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang belum kondusif,
6. Belum tersedianya ruang publik (publik shere) yang menjamin : hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi, toleran terhadap perbedaan, hak-hak dasar sipil dan asasi
7. Tidak maksimlanya pengawasan dan pengaturan lingkungan
  Sumber data; dari berbagai sumber, 2007
Berdasarkan identifikasi minimya penyediaan barang-barang politik (political goods) oleh pemerintah di Maluku seperti yang disebutkan itu, maka memotret Indonesia dari Maluku dikategorikan sebagai negara yang hampir bubar (The State Almost Collapsed). Pelabelan baru ini tentu senantiasa disesuaikan dengan kondisi rill di Provinsi Maluku saat ini dan bukan merupakan pelabelan yang sifatnya subyektif. 
Kondisi Maluku yang demikian, relevan dengan pendapat Haryadi (2003) bahwa, hidup berpemerintahan yang justru meningkatkan derajat penderitaan, hanya akan menimbulkan kecenderungan pengingkaran dan anti-pati kepada lembaga-lembaga pemerintahan. Bahkan lebih jauh lagi, dapat mengikis komitmen hidup sebagai suatu bangsa. 
Terlepas dari itu, krisis yang dialami Provinsi Maluku di tahun 1999 lalu, turut berdampak terhadap komitmen hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga rawan terhadap munculnya separatisme, yang senantiasa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu diperparah dengan nasib rakyat yang masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Tak pelak mereka sering mengkambinghitamkan pemerintah, akibat ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan political goods.
Untuk memperbaiki posisi Indonesia dari Maluku yang masuk labelisasi The State Almost Collapsed ke strong state? Hal ini bukan merupakan perkara yang gampang-gampang saja. Paling tidak pemerintah perlu berupaya secara maksimal, untuk penyediaan barang-barang politik (political goods). Sebab ini merupakan upaya terbaik untuk mengeluarkan negara ini dari kehancuran. 
Oleh karena itu bukan saja peran pemerintah daerah, tapi pemerintah pusat perlu memberikan perhatian yang serius bagi pembangunan di Provinsi Maluku. Sehingga melalui upaya ini akan mampu merekonstruksi, merecovery sekaligus merehabilitasi Maluku pasca konflik kemanusiaan. Selain itu, melalui cara ini, ada rasa optimisme bahwa political goods di Maluku akan tercapai.

Politik Pencitraan Maluku

Oleh; M.J Latuconsina


Awal tahun 1999 adalah tahun paling kelam dalam sejarah pembangunan di Maluku. Pasalnya konflik komunal yang melanda Ambon, menyebar ke berbagai daerah di Maluku. Akibatnya lebih dari 7 ribu orang kehilangan nyawa dan memaksa hampir 600 ribu atau 1/3 penduduknya menyandang predikat pengungsi. Hal ini turut berimbas terhadap anjloknya PDRB Maluku yang mencapai 25% dan terus menunjukan perkembangan negatif hingga akhir 2002. Perkembangan negatif ini turut meningkatkan angka kemiskinan hingga 32,13%. Namun dimulai pada tahun 2003, PDRB Maluku meningkat tipis dari 4.8 juta mencapai 5 juta.
 Kurang lebih delapan tahun Maluku sudah meninggalkan kenangan buruk konflik horizontal, yang menyebabkan Maluku mengalami keterpurukan dalam berbagai bidang. Tindaklanjut recovery, rekonstruksi dan rehabilitasi Maluku pasca konflik begitu gencar di lakukan oleh pemerintah daerah, sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan sekaligus mengembalikan citra Maluku yang senantiasa hidup dalam balutan pela-gandong, larvul ngabal dan kalwedo-kidabela, yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) dalam merajut kemajemukan sosial budaya orang Maluku.
 Bahkan untuk merealisasikan recovery, rekonstruksi dan rehabilitasi Maluku pasca konflik tersebut, pemerintah pusat di era Presiden Megawati Soekarno Putri pun mengeluarkan Instruksi Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Percepatan Pemulihan Pembangunan Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Hal ini menunjukan adanya itikad baik dari pemerintah pusat dalam memperhatikan pembangunan di Maluku setelah konflik komunal.
 Terlepas dari itu, kondusifnya Maluku adalah modal vital sebagai starting awal bagi pemerintah daerah Maluku untuk merecovery, merekonstruksi dan merehabilitasi Maluku pasca konflik. Sehingga berbagai kebijakan pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah sosial seperti; pengungsi, pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang merupakan kebutuhan rakyat senantiasa lebih dikedepankan. Sebab keempat masalah ini setelah konflik sangat membutuhkan penanganan serius dari pemerintah daerah.
 Untuk itu, dalam rangka menyebarluaskan kondisi Maluku yang kondusif setelah konflik, sekaligus untuk menumbuhkan kepercayaan publik domestik dan mancanegara terhadap kondisi Maluku saat ini, ditindaklanjuti dengan beragam statemen pejabat publik, baik itu dari institusi sipil maupun dari instutusi milter di daerah ini pada media masa bahwa Maluku telah kondusif, sehingga menimbulkan kepercayaan publik di level domestik dan mancanegara tentang kondisi terkini Maluku.
Misalnya petinggi Polri di daerah ini sebulan yang lalu, pernah mengimbau kepada Departemen Luar Negeri (Deplu) RI agar dapat menjelaskan kepada negara-negara sahabat terutama; AS, Eropa, dan Jepang bahwa kondisi Maluku saat ini sudah aman, menyusul meredanya konflik sosial sejak 19 Januari 1999. Pasalnya Deplu RI memiliki kewenangan untuk memutuskan kondisi wilayah di RI apakah aman/ tidak untuk dapat dikunjungi, terutama bagi warga mancanegara, baik itu dubes negara sahabat maupun investor, LSM internasional, dan wisman.
Oleh sebab itu, "warna merah" di peta keamanan Deplu RI sudah saatnya dihapus agar tidak menjadi alasan bagi dubes, pengusaha, LSM internasional, dan wisman untuk merasa takut berkunjung ke Maluku. Jika "warna merah” di peta Deplu RI masih tetap dipertahankan, berarti Maluku masih dalam status yang tidak kondusif. Sehingga dapat berdampak terhadap enggannya para diplomat, investor, LSM internasional dan wisman untuk berkunjung ke Maluku.(Republika, 14/2/07). 
Politik Pencitraan Maluku
 Statemen pejabat publik tersebut didukung juga oleh pemberitaan media masa yang mengekspos kondisi Maluku yang sudah semakin kondusif. Sehingga tercapai sinergitas antara apa yang dibeberkan oleh pejabat publik dengan kondisi rill Maluku yang memang benar-benar telah kondusif dan bukan merupakan statemen yang sengaja di lontarkan tanpa fakta riil. Oleh karena itu, apa yang di upayakan oleh pemerintah daerah dan berbagai institusi terkait tersebut merupakan bagian dari politik pencitraan Maluku.
 Politik pencitraan Maluku itu ditindaklanjuti dengan dukungan penuh pemerintah daerah Maluku dalam berbagai kegiatan nasional seperti; Rapat Gubernur se-Indonesia, Konas GMKI, Muktamar IMM, Muktamar PII, pertemuan KNPI 7 Provinsi Kepulauan di Kota Ambon. Bias dari event nasional tersebut, merupakan upaya untuk mempromosikan kondisi Maluku yang semakin kondusif. 
 Oleh karena itu, kondusifnya Maluku merupakan modal vital guna mengejar ketertinggalan pembangunan yang dialami daerah ini, sekaligus merupakan sinergitas dari rencana strategi pembangunan Maluku, yang saat ini berada pada tahapan persaingan berkelanjutan. Sehingga upaya untuk mengembalikan Maluku kearah yang lebih baik dapat tercapai sesuai dengan target yang sudah diprogramkan oleh pemerintah daerah.
 Namun tindaklanjut politik pencitraan Maluku, bukan merupakan perkara yang gampang-gampang saja, tanpa dukungan rakyat tentu sia-sia apa yang diupayakan oleh pemerintah daerah bersama instansi terkait. Pasalnya rakyat merupakan elemen vital dalam mendukung politik pencitraan Maluku tersebut. Oleh sebab itu, agar implementasi politik pencitraan ini mendapat dukungan penuh dari rakyat, maka berbagai problem yang dialami rakyat pasca konflik mestinya dapat dituntaskan oleh pemerintah daerah.
 Diantara berbagai persoalan yang dimaksud yakni; masalah pengungsian, pengangguran dan kemiskinan yang masih relativ tinggi di daerah ini. Ketiga permasalahan yang krusial ini, mestinya mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah bersama instansi terkait dapat menyelesaiakannya. Sebab ketiga hal ini menjadi kendala yang serius kearah penciptaan Maluku yang kondusif sekaligus menjadi hambatan bagi realisasi politik pencitraan Maluku yang sedang didengung-dengungkan oleh pemerintah daerah.  
Jika ketiga masalah yang urgen ini dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah dan instansi terkait, maka akan menjadi motifasi yang positif bagi politik pencitraan Maluku di level domestik dan mancanegara. Sehingga optimisme penciptaan Maluku yang kondusif diharapkan akan tercapai, sekaligus upaya mencapai Maluku dalam tahapan persaingan berkelanjutan yang dicanangkan oleh pemerintah daerah Maluku dapat direalisasikan dengan baik, demi kesejahteraan rakyat di daerah seribu pulau ini.

Caleg yang Marketable

Oleh; M.J Latuconsina


 Partai politik, merupakan institusi politik yang memiliki salah satu fungsi sebagai sarana rekrutmen politik, guna menghasilkan calon-calon pimpinan politik, untuk dipersiapkan menduduki jabatan legislatif dan eksekutif melalui pemilu. Melalui rekrutmen politik, juga akan menjamin kontinuitas partai politik, dan kelestraian partai politik.[1] Karena itu, menghadapi pemilu yang akan digelar pada tahun 2009 mendatang, partai politik di level pengurus provinsi dan kabupaten/kota di Maluku memiliki kewajiban melakukan proses rekrutmen politik, untuk mengajukan pengurus partai politik, sebagai calon anggota legislatif (caleg).
  Dalam proses rekrutmen politik, terdapat dua mekanisme yang biasanya ditempuh oleh pengurus partai politik, pada level provinsi dan kabupaten/kota di Maluku, yakni ; Pertama, merekrut caleg dari internal partai politik. Dalam mekanisme ini, partai politik mengakomodasi kader partai politik yang menjadi pengurus partai politik, untuk direkrut sebagai caleg. Kedua, merekrut caleg dari eksternal partai politik. Dalam mekanisme ini, partai politik mengakomodasi non kader partai politik, yang tidak menjadi pengurus partai politik untuk direkrut sebagai caleg.
Caleg yang Marketable
Dalam proses rekrutmen caleg yang dilakukan oleh partai politik, baik secara internal dan eksternal tersebut, partai politik tidak hanya mempertimbangkan seorang caleg memiliki syarat kapasitas (kemampuan pribadi), akseptabilitas (dapat diterima masyarakat) dan memiliki syarat akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan kinerjanya) semata. Namun lebih dari itu, seorang caleg perlu memiliki syarat marketable (harus layak jual) kepada konstituen selaku konsumen.
 Jika mengacu pada pendekatan political marketing (pemasaran politik), maka, caleg yang marketable tersebut, tentu tidak semata-mata akan mengantungkan keberutungannya pada nomor topi, yang selama ini sering menjadi rebutan para pengurus partai politik dalam proses rekrutmen caleg. Namun biar dipasang pada nomor urut sepatu-pun, tidak menjadi problem bagi caleg yang memiliki kualifikasi marketable, sejauh caleg itu laris dijual kepada para konstituen.  
 Proses seorang caleg yang marketable, untuk menjadi anggota legsilatif, lebih ditentukan oleh mekanisme pasar politik. Dimana konstituen yang berlaku sebagai konsumen, memilih caleg yang berlaku sebagai produk politik partai, yang dinilai akan memuaskan kebutuhan politik mereka. Kebutuhan politik yang dimaksud adalah, kemampuan dari caleg yang marketable tersebut, mampu merealisasikan janji-janji politiknya kepada para konstituen, ketika benar-benar terpilih dan duduk sebagai anggota legislatif.  
 Meminjam pendapat Susanto (2008), bahwa pemilih mempunyai seperangkat ciri (atribut) kebijakan yang dinginkan. Jika ciri-ciri kebijakan yang dijanjikan politikus ”klop” dengan harapan pemilih, terbentuklah kepuasan tingkat pertama yang disebut attribute-based satisfaction. Tentu saja pemilih tidak hanya berhenti sebatas janji. Mereka mengharapkan implementasi janji itu secara konstisten. Jika kondisi itu terpenuhi, maka lahirlah kepuasan tingkat kedua yang disebut consequence based satisfaction. Tingkat tertinggi adalah goal-based satisfaction. Kepuasan ini tercipta jika maksud dan tujuan pemilih terpenuhi.
Pemilu 2009 merupakan arena politik, dimana tidak pernah akan sepi dari persaingan antara masing-masing caleg, untuk memperebutkan simpati konstituen sebanyak-banyaknya. Para caleg tentu akan tampil semaksimalnya untuk meraih kemenangan dalam Pemilu 2009, sehingga bisa menduduki kursi legislatif. Dalam persaingan itu, menuntut para caleg yang berlaku sebagai produk politik partai, untuk mampu membaca selera konstituen selaku konsumen, sehingga para caleg tersebut bisa laris dipasaran.
Karena itu, kalau caleg yang ingin meraih sura terbanyak dalam Pemilu 2009, dituntut memiliki syarat marketable kepada para konstituen yang berlaku sebagai konsumen. Sehingga, bagi para caleg yang marketable jika ingin laris di pasar politik, perlu berupaya maksimal dalam mendesain program, yang paling disukai oleh para konstituen. Efeknya tidak lain adalah menarik konstituen sebanyak-banyaknya untuk mencoblos mereka dalam pemilu.
Caleg marketable dalam mendesain program yang akan dijual kepada para konstituen, mempunyai target yang hendak dicapai, tatkala program itu disampaikan kepada para konstituen. Target itu adalah kesuksesan menarik suara konstituen sebanyak-banyaknya. Namun dalam menarik suara konstituen, caleg yang marketable perlu memfokuskan pada potensi sumber suara pendukung politik, dengan strategi membangun image. Pasalnya image, yang baik akan turut berpengaruh terhadap prefrensi politik pemilih, untuk kemudian memilih caleg yang marketable tersebut. 
Mendesain Program
Bagi caleg yang marketable, yang akan berkontestasi dalam Pemilu 2009, memiliki optimisme tersendiri, agar para konstituen dapat memilih mereka sebanyak-banyaknya. Sehingga dapat menjadi tiket untuk melangkah mulus ke kursi legislatif di level provinsi dan kabupaten/kota di Maluku. Akan tetapi upaya ini tidak-lah gampang, karena membutuhkan kreatifitas dari para caleg yang marketable, dalam mendesain program-program yang akan dipasarkan kepada para konstituen.
Dalam merancang program-program kepada para konstituen, para caleg yang marketable tidak bisa mendesain program-program secara sepihak, tanpa mempedulikan konstituen mereka. Karena itu dalam merancang program-program tersebut, para caleg yang marketable perlu melibatkan para konstituen, yang merupakan bagian dari segmentasi dukungan mereka. Sehingga tatkala program-program itu, diimplementasikan dapat tepat pada sasarannya.  
Proses melibatkan konstituen itu, menurut Firmanzah (2007), melalui dua cara, yaitu langsung atau-pun tidak langsung. Melibatkan konstituen secara langsung misalnya dengan mengajak mereka berdialog, observasi langsung ke lapangan, diskusi, tatap muka dan hadir ditengah-tengah keresahan masyarakat. Sedangkan pelibatan konstituen secara tidak langsung dapat dilakukan melalui hasil polling dan analisis media massa (seperti koran, radio, TV).
 Fenomena yang terjadi selama ini, justru banyak caleg dalam merancang programnya tidak terlalu melibatkan rakyat. Hal ini terjadi karena, para caleg lebih bersandar pada pemilih “pelanggan tetap”, dari pemilu ke pemilu. Dimana merupakan pemilih sosiologis dan psikologis. Padahal jika mereka mendesain program, dengan melibatkan rakyat, tentu para caleg telah melakukan ekspansi untuk menjaring suara konstituen diluar pemilih “pelanggan tetap” tersebut.
Karena itu, jika caleg yang marketable dapat merancang programnya dengan melibatkan rakyat, tentu akan memudahkan akuntabilitas caleg yang marketable tersebut, dalam implementasi programnya kepada para konstituen, tatkala dikemudian hari benar-benar terpilih dan duduk sebagai anggota legislatif. Melalui mekanisme ini, tentu akan tercipta persepsi yang positif dari para konstituen, bahwa mereka dipedulikan oleh caleg yang marketable, dengan melibatkan mereka dalam menyusun program caleg. Sehingga disinilah akan tercipta jargon “dari wakil rakyat untuk rakyat, dan dari rakyat untuk wakil rakyat.” Dimana bukan sekedar slogan, dalam menyambut pesta demokrasi lima tahunan, tapi benar-benar terealisasi demi kepentingan konstituen.

Kota Ambon Dalam Lanskap Serve State

Oleh : M. J Latuconsina


  Guna meningkatkan pelayanan publik sangat dibutuhkan aparatur pemerintahan yang berkualitas. Oleh karena itu pendidikan dan latihan (diklat) merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) aparatur pemerintahan yang handal, sehingga mampu terpenuhinya aparatur pemerintahan yang disiplin sekaligus mampu melaksanakan tugasnya secara berdaya guna dan berhasil guna.
  Tidak terkecuali Kota Ambon yang merupakan barometer kemajuan pelayanan publik di Maluku, senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan. Melalui pemenuhan kualitas SDM aparatur pemerintahan, diharapkan akan memiliki kemampuan pikir yang tinggi dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Oleh karena itu, kualitas SDM aparatur pemerintahan memiliki peran yang strategis dalam rangka meningkatkan pelayanan publik di Kota Ambon.
  Selain itu, SDM aparatur pemerintahan yang berkualitas di Kota Ambon adalah penopang bagi pencapaian manajemen pemerintahan yang akuntabel. Sebab kualitas aparatur pemerintahan menjadi kunci bagi terbangunnya kembali kepercayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang amanah. Sehingga aparatur pemerintahan sebagai penyelenggara roda pemerintahan dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja, dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.
  Oleh karena itu, pengembangan kualitas sumber daya aparatur pemerintahan didasarkan pada tiga aspek sebagai human capital, yang meliputi: Intelectual capital, Social capital dan Soft capital. Dimana pembangunan bidang aparatur negara mengandung empat misi utama yakni : (1) mewujudkan penyelenggara negara yang profesional, (2) mengembangkan etika birokrasi dan budaya kerja yang transparan, (3) akuntabel, peka dan tanggap terhadap aspirasi masyarakat dan (4) mewujudkan sistem manajemen pelayanan publik yang cepat, tepat dan memuaskan. (Masdar, 2005).
  Kemudian untuk mengahasilkan aparatur pemerintahan yang berkualitas, maka dalam pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menyebutkan bahwa: untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar – besarnya diadakan pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan dan latihan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan dan ketrampilan. 
  Hal ini menunjukan bahwa, pemerintah telah berupaya mengambil kebijaksanaan dalam mengantisipasi mutu kualitas aparatur yang ada dalam suatu instansi agar lebih profesional dan lebih mandiri. Kemudian dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa: Daerah berwenang mengelolah sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
  Menindaklanjuti aturan main tersebut, pemerintah Kota Ambon perlu berupaya secara terus menerus meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan melalui diklat. Melalui upaya ini merupakan mekanisme untuk memacu kinerja aparatur pemerintahan. Sehingga melalui partisipasi para aparatur pemerintahan dalam diklat, diharapkan akan dapat meningkatkan pengetahuan, disiplin dan kemampuan mereka dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.
  Dalam perspektif Governability, jika terdapat sosok aparatur pemerintahan mampu meningkatkan kinerja mereka, yang akhirnya berdampak terhadap kepuasan publik maka Kota Ambon akan masuk dalam lanskap Serve State, yakni fungsi negara adalah mermaksimlakan peran untuk melayani rakyat dengan kebutuhan barang-barang politik (political goods), sekaligus memberikan kepuasan kepada rakyat melalui pelayanan publik, yang mampu direalisasikan oleh aparat pemerintahah. 
  Kemudian dalam Serve State negara berperan melayani rakyat dengan kebutuhan barang-barang politik (political goods), sekaligus memberikan kepuasan kepada rakyat melalui pelayanan publik, yang dilakukan oleh aparat birokrat, dimana ciri-cirinya mencakup: (1) mampu melayani rakyat dengan baik, (2) kesejahteraan rakyat diperhatikan, (3) pelayanan birokrasi yang memadai dan (4) penciptaan pemerintah yang berwibawa.  
  Terlepas dari itu, terdapat banyak jenis pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, khususnya yang diletakan dalam konteks kebijakan publik yang dapat berbentuk distributif, redistributif, dan regulatif. Namun, secara generik, pelayanan yang diberikan kepada pemerintah dibagi menjadi tiga, mencakup: (1) pelayanan primer, yaitu pelayanan yang paling mendasar,(2) pelayanan sekunder, yaitu pelayanan pendukung namun bersifat kelompok spesifik dan (3) pelayanan tersier, yaitu pelayanan yang berhubungan secara tidak langsung kepada publik. (Djijowiyoto,2003)
  Menurut Djijowiyoto (2003), pelayanan primer atau pelayanan paling mendasar pada hakikatnya ada pada pelayanan minimum. Secara sederhana, terdapat tiga pelayanan minimum yang dilakukan pemerintah, yaitu: (1) pelayanan kewarganegaraan, (2) pelayanan kesehatan, (3) pelayanan pendidikan dan (4) pelayanan ekonomi. Pemberian pelayanan minimum atau dasar adalah tugas pokok yang diemban oleh pemerintah, dan menjadi tolak ukur kinerja pemerintah. Sehingga keberhasilan pelayanan minimum atau dasar ini membutuhkan adanya aparatur yang mampu mengimplementasikannya dalam kinerja pada instansi tempat mereka bekerja. 
Bahkan pelayanan minimumsebagai bagian dari hak azasi manusia merupakan kewajiban negara yang tak dapat ditawar-tawar lagi, dimana sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Dalam level lokal pemerintah Kota Ambon, senantiasa berupaya menyediaan aparatur pemerintahanyang berkualitas dalam upaya merealisasikan pelayanan minimum itu. Dalam obeservasi penulis upaya pemenuhan pelayanan dasar yang dilakukan pemerintah Kota Ambon mencakup;
  Pertama, pelayanan kewarganegaraan yang terkait dengan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga Kota Ambon mulai ditingkatkan sejak tahun 2005, dimana pembuatan KTP telah dialihkan dari Kantor Kelurahan ke Kantor Kecamatan. Mereka yang mengajukan pembuatan KTP adalah warga Kota Ambon dengan terlebih dahulu menunjukan pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada aparatur pemerintahan di tingkat kecamatan. Begitu pun dalam pengurusan surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), yang diajukan warga Kota Ambon di Dinas Tata Kota, dikenai syarat bahwa, keberadaan tanah yang hendak dilakukan aktivitas pembangunan rumah/gedung adalah sah kepemilikannya dan pendirian bangunan gedung/rumah harus sesuai dengan pengembangan tata ruang Kota Ambon. 
  Kedua, pelayanan kesehatan merupakan hal yang paling urgen. Di Kota Ambon pelayanan kesehatan, pasca konflik kemanusiaan senantiasa mendapat perthatian sirius dari pemerintah Kota Ambon melalui Dinas Kesehatan. Bahkan bagi warga Kota Ambon yang masih mendiami barak-barak pengungsian senantiasa diberikan pelayanan kesehatan yang maksimal kepada mereka. Upaya Dinas Kesehatan Kota Ambon tersebut tidak sia-sia. Sebab sampai saat ini tidak ada wabah penyakit seperti gizi buruk, malaria, demam berdarah dan berbagai jenis penyakit lainnya menyerang warga Kota Ambon sampai pada level Kejadian Luar Biasa (KLB). 
  Perhatian pemerintah Kota Ambon dalam peningkatan pelayanan kesehatan tersebut, tidak terlepas dari dengan dukungan penuh fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan tenaga medis yang memadai, sehingga pemerintah Kota Ambon secara dini dapat mengatisipasi berbagai ancaman wabah penyakit yang setiap saat dapat mengancam kesehatan warga Kota Ambon.
  Ketiga, pelayanan pendidikan di Kota Ambon tetap ditingkatkan. Meskipun saat konflik puluhan fasilitas pendidikan di Kota Ambon hangus terbakar oleh amuk konflik komunal, namun sejak tahun 2001, pemerintah Kota Ambon bersama dinas terkait mulai perlahan-lahan merekonstruksi sejumlah fasilitas pendidikan itu. Bahkan pemerintah Kota Ambon di bawa kepemimpinan Walikota M.J Papilaja mulai melakukan pembebasan biaya SPP kepada siswa-siswa dilingkup Sekolah Dasar (SD), dimana pada waktu yang akan datang akan dilakukan juga pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
  Untuk tenaga pendidik, sekolah-sekolah di Kota Ambon sudah bisa terpenuhi, pasalnya pemerintah Kota Ambon merekrut puluhan guru kontrak untuk sementara diperbantukan pada sekola-sekolah yang ada pada wilayah administratif Kota Ambon, sambil kedepan meningkatkan status mereka menjadi PNS. Upaya yang dilakukan pemerintah Kota Ambon ini dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM), yang kualitasnya menurun sejak konflik di tahun 1999 lalu.
  Keempat, pelayanan ekonomi dari waktu ke waktu senantiasa dtingkatkan pemerintah Kota Ambon. Hal ini bisa dilihat dengan upaya pemerintah Kota Ambon mempromosikan peluang berinvestasi di Kota Ambon. Sehingga akan menarik investor domestik maupun mancanegara. Kemudian para pengusaha keturunan Cina, Bugis, Makasar, Buton dan Sumatera yang hengkang akibat konflik kemanusiaan pada berbagai daerah di tanah air, saat ini sudah kembali ke Kota Ambon untuk menjalankan usahanya seperti sebelum terjadinya konflik, sehingga perekonomian Kota Ambon semakin bergeliat.
  Begitu juga kebutuhan sembilan bahan pokok mudah dijangkau oleh warga Kota Ambon, tidak seperti saat konflik dimana harga sembilan bahan pokok melambung tinggi karena mengalami kelangkaan di pasaran lokal. Semua ini terjadi, berkat upaya pemerintah Kota Ambon bersama dinas terkait yang secara intens melakukan operasi pasar guna mengontrol harga sembilan bahan pokok. Sehingga para pedagang tidak menainkan harga sembilan bahan pokok demi keuntungan mereka dan merugikan warga Kota Ambon.
  Seiring dengan meredahnya konflik komunal, pemerintah Kota Ambon bersama sejumlah instansi terkait mulai bahu-membahu untuk meningkatkan pelayanan dasar tersebut. Hal dilakukan sebagai bagian dari upaya rekonstruksi, recovery dan rehabilitasi Kota Ambon pasca konflik kemanusiaan. Dalam perspektif governability, hal ini menunjukan bahwa terdapat upaya serius yang dilakukan negara untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods) di Kota Ambon, yang mencakup; pelayanan kewarganegaraan, kesehatan pendidikan dan ekonomi. 

RMS dan Defisit Political Goods

Oleh; M.J Latuconsina


Awal tahun 1999 adalah tahun paling kelam dalam sejarah pembangunan di Maluku. Pasalnya konflik horizontal yang melanda Ambon, menyebar ke berbagai daerah di Maluku. Akibatnya lebih dari 7 ribu orang kehilangan nyawa dan memaksa hampir 600 ribu atau 1/3 penduduknya menyandang predikat pengungsi. Hal ini turut berimbas terhadap anjloknya PDRB Maluku yang mencapai 25% dan terus menunjukan perkembangan negatif hingga akhir 2002. Perkembangan negatif ini turut meningkatkan angka kemiskinan hingga 32,13%. Namun dimulai pada tahun 2003, PDRB Maluku meningkat tipis dari 4.8 juta mencapai 5 juta.(Karmen, 2007)
 Kurang lebih delapan tahun Maluku sudah meninggalkan kenangan buruk konflik horizontal, yang menyebabkan Maluku mengalami keterpurukan dalam berbagai bidang. Tindaklanjut recovery, rekonstruksi dan rehabilitasi Maluku pasca konflik begitu gencar di lakukan oleh pemerintah daerah, sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan sekaligus mengembalikan citra Maluku yang senantiasa hidup dalam balutan pela-gandong, larwul ngabal dan kalwedo-kidabela, yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) dalam merajut kemajemukan sosial budaya orang Maluku.
 Guna merealisasikan recovery, rekonstruksi dan rehabilitasi Maluku pasca konflik tersebut, pemerintah pusat di era Presiden Megawati Soekarno Putri pun mengeluarkan Instruksi Nomor 6 Tahun 2003, Tentang Percepatan Pemulihan Pembangunan Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Hal ini menunjukan adanya itikad baik dari pemerintah pusat dalam memperhatikan pembangunan di Provinsi Maluku setelah konflik horizontal tersebut.
 Terlepas dari itu, kondusifnya Maluku adalah modal vital sebagai starting awal bagi pemerintah daerah Maluku untuk merecovery, merekonstruksi dan merehabilitasi Maluku pasca konflik. Sehingga berbagai kebijakan pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah sosial seperti; pengungsi, pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang merupakan kebutuhan rakyat kecil senantiasa lebih dikedepankan. Sebab keempat masalah ini setelah konflik sangat membutuhkan penanganan serius dari pemerintah daerah.
RMS dan Defisit Political Goods 
 Sayangnya berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat di Maluku tersebut, lagi-lagi mengalami problem yang serius. Problem yang serius, hadir tatkala kasus tarian cakalele yang dilakoni aktifis gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang tidak diagendakan dalam acara Hari Keluarga Nasional (Harganas) memasuki lapangan Merdeka pada 29 Juni 2007 lalu, sambil membetangkan bendera RMS (Banang Raja) dihadapan mata Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
 Peristiwa ini, tentu sangat mengejutkan publik di level lokal dan nasional. Betapa ketatnya pengamanan Harganas yang dihadiri oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, tapi para aktifis gerakan separatis RMS tersebut, dapat lolos memasuki area perayaan Harganas, tanpa mengalami pemeriksaan oleh aparat keamanan. Lalu siapa lagi yang disalahkan dalam kasus ini?, tentu lagi-lagi aparat keamanan yang dinilai lemah saat mengamankan Harganas tersebut. 
 Begitulah fenomena aktifitas gerakan separatis di berbagai negara dibelahan dunia, mulai dari Quebec, Catalonia, Zapatista,Macan Tamil, Moro, OPM hingga RMS senantiasa menggunakan berbagai cara yang tepat untuk memancing opini public dunia internasional, yang bertujuan menarik simpati dunia internasional guna mendukung gerakan pemisahan mereka, dari negara yang mereka diami. Padahal dalam tinjauan hukum ketatanegaraan tidak dibenarkan adanya negara dalam negara.(state in state)
Dalam perspektif governability/kapasitas negara bangsa untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods), dimana hirarki barang-barang politik menyangkut keamanan (fungsi monopoli negara) dilakukan melalui; upaya mengeliminasi ancaman domestik. Khususnya yang dialami Provinsi Maluku, terkait dengan sering terjadinya pengibaran bendera oleh gerakan separatis RMS, menandakan tidak adanya kemampuan negara untuk mengelola dan menyediakan political goods, seperti rasa aman di Maluku. (Pratikno dan Lay,2006).  
Oleh karena itu, intensitas pengibaran bendera RMS dari tahun ke tahun, tanpa adanya penyelesaian masalah ini secara komprehensif oleh aparat keamanan, menandakan Provinsi Maluku mengalami defisit political goods, yang terkait dengan penyediaan rasa aman. Sehingga menempatkan Provinsi Maluku sebagai salah satu daerah di Indonesia yang lemah dalam penananganan bidang keamanan, selain provinsi tetangga Papua dan Papua Barat, yang sering juga menjadi tempat bagi aktifitas gerakan saparatis Papua Merdeka (OPM).
Padahal jika merunut gerakan-gerakan separatis serupa yang pernah terjadi diberbagai daerah di tanah air seperti; DI/TII Kartosuwiryo (1942-1962), DI/TII Kahar Muzakar (1951-1965), DI/TII Daud Beureueh (1953-1962), dan PRRI/Permesta (1957-1961).(Tempo,2003) Aparat keamanan mampu menuntaskan gerakan-gerakan separatis ter sebut. Lain halnya dengan RMS (1950-1963), meskipun Soumokil tokoh gerakan separatis ini dapat ditangkap pada 2 Desember 1963 dan selanjutnya dijatuhi hukuman mati.(Tempo,2003). Namun rupanya gerakan separatis ini tidak pernah surut dalam melakukan aksinya. 
Dalam perspektif governance dan manajemen konflik politik, Zartman (1997) mengatakan bahwa, konflik bisa diatur dengan berbagai cara dan di kategorikan dalam beberapa dimensi berbeda,..(conflicts can be managed in a myriad of ways, and categorize along different dimensions,...). Oleh karena itu, penuntasan masalah gerakan separatis RMS perlu ditangani secara serius oleh pemerintah, sehingga jangan sampai gerakan separatis ini, dari hari ke hari intensitas gerakannya samakin meningkat, tentu hal ini membahayakan integritas keutuhan RI.
  Jika saja pada waktu-waktu yang akan datang, tidak ada itikad serius dari pemerintah melalui aparat keamanan untuk menuntaskan masalah gerakan separatis RMS di Maluku, tentu terdapat kekuatiran bahwa, posisi Indonesia dari Maluku perlahan-lahan akan masuk labelisasi negara yang hampir bubar (the state almost finished). Labelisasi ini bukan an-sich persoalan lemahnya penanganan sektor keamanan semata, namun terdapat indiktor-indiktor lainnya yang turut menopangnya antara lain;
Pertama, pelayanan kesehatan yang belum terjangkau dan merata, kedua, pelayanan pendidikan yang belum terjangkau dan merata, ketiga tidak memadainya penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi, keempat, kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang belum kondusif, kelima, belum tersedianya ruang publik (publik shere) yang menjamin: hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi, toleran terhadap perbedaan, hak-hak dasar sipil dan asasi. Dan keenam, tidak optimalnya pengawasan dan pengaturan lingkungan.

Kemiskinan Bagian Dari Revivalisasi Idiologi (Tanggapan Untuk Darul Kutni Tuhepaly)

Oleh; M.J Latuconsina


Pada tanggal 29 Juni 2007 lalu, Provinsi Maluku mendapat kepercayaan dari pemerintah Jakarta sebagai tuan rumah Hari Keluarga Nasional (Harganas). Acara ini, cukup meriah, meskipun Kota Ambon tengah diguyur hujan deras. Sayangnya, moment nasional ini akhirnya ternodai, dengan kasus tarian cakalele yang dilakukan aktifis gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), yang tidak diagendakan dalam acara Harganas kemudian memasuki lapangan Merdeka, sambil membentangkan bendera RMS (Banang Raja) dihadapan mata Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
 Peristiwa ini, sempat mendapat perhatian publik di tingkat lokal, nasional dan internasional. Betapa ketatnya pengamanan Harganas yang dihadiri oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, tapi para aktifis gerakan separatis RMS tersebut, dapat lolos memasuki area perayaan Harganas, tanpa mengalami pemeriksaan oleh aparat keamanan. Lalu siapa lagi yang disalahkan dalam kasus ini?, tentu lagi-lagi aparat keamanan yang dinilai lemah saat mengamankan Harganas. 
Bisa diduga RMS telah memiliki gerakan klandestin (gerakan bawah tanah), yang berupaya masuk dalam struktur birokrasi pemerintahan dan struktur aparat keamanan di daerah ini. Sehingga mereka dengan mudah melakukan aktifitas separatis bertepatan dengan moment nasional tersebut, tanpa menemui kendala. Bukankah hal yang sama pernah di lakukan Fretelin (Frente Revolucionaria Timor Leste Independente), dengan gerakan klandestin-nya di Timor Leste saat diduduki Indonesia, sehingga segala aktifitas Fretelin dapat berjalan dengan mulus, untuk mencuri perhatian publik internasional.
Dalam mendiskripsikan kasus separatisme tersebut, Darul Kutni Tuhepaly pada tulisannya di harian ini pertama-tama meminjam analogi salah seorang rekannya di DPRD, menyangkut kasus China, bahwa; Saat pengaruh komunis begitu besar di China, rakyat negara tirai bambu itu sangat miskin, namun sekarang coba lihat ekonomi China tumbuh pesat. Ini disebabkan pendekatan yang dipakai pemerintah, adalah pengentasan kemiskinan dan lebih fokus pada pembangunan ekonomi. (Ameks, 7/6/07).
Tuhepaly-pun mengatakan, analogi yang digunakan rekannya, cukup membingungkan kalau dipakai untuk menjelaskan bagaimana pemerintah harus mengatasi gerakan separatis. Pertama, China yang komunis sampai saat ini tetap komunis, argumen ini saya sepakat. Namun pada argumen yang kedua, Tuhepaly menyebutkan tidak terdapat gerakan separatis di China, tentu hal ini cukup mengagetkan. Sebab publik internasional, hingga saat ini tidak menutup mata dengan perjuangan Dalai Lama, pimpinan Tibet yang sampai saat ini masih berada di pengasingan. 
Tokoh spritual ini, tetap komitmen dengan perjuangannya untuk memisahkan Tibet dari China, sejak 1950 tatkala rezim Komunis Republik Rakyat China (RRC) melebarkan hegemoninya di Tibet. Lewat kekerasan pada musim rontok 1951 pasukan RRC berhasil menguasi ibukota Lhasa, sekaligus mendongkel Dalai Lama, pimpinan negara dan tokoh religi utama Tibet. Oleh karena itu, dalam rangka melakukan upaya pemisahan (separatis) dari RRC Gompo Tashi Andrugtsang (51) kemudian mendirikan kelompok perlawanan Chusi Gandrug.(Angkasa,XXIV). 
Kemiskinan&Revivalisasi Idiologi
Selanjutnya, Tuhepaly kembali menyentil pendapat rekannya di DPRD bahwa, Desa Aboru yang miskin menjadi salah satu faktor munculnya laten RMS disana. Dia mengambarkan begitu miskinnya orang Aboru. Tapi perlu di catat, sampai saat ini tidak pernah di Maluku Tengah dilanda kemiskinan. Kalau kemudian orang merasa miskin dan mencari idiologi lain, katakanlah RMS seperti yang dicontohkan rekan saya, lalu bagaimana dengan orang MTB sana atau SBT sana?.(Ameks, 7/6/07).
Dalam argumen yang dikemukakan rekan Tuhepaly di DPRD itu, terdapat salah satu point bahwa, di MTB sejak negara ini merdeka ada desa yang tidak menikmati terangnya lampu listrik, kemiskinan yang merenggut nyawa anak-anak di daerah itu, dan desa yang sangat tertinggal. Tapi apakah masyarakat di dua kabupaten itu pernah sekali mengibarkan bendera RMS, atau berencana mengganti idiologinya menjadi separatis? Khan tidak. Jadi persoalan kemiskinan di desa Aboru tidak bisa dijadikan juga sebagai salah satu indikator kenapa mereka harus mengibarkan bendera RMS.(Ameks, 7/6/07). 
Argumen ini tentu sah-sah saja, tapi menurut saya kemiskinan merupakan bagian dari penopang revivalisasi (kebangkitan) idiologi lain, dan bukan semata-mata menjadi faktor beralihnya rakyat ke idiologi lain. Kalau di MTB dan SBT terdapat orang yang miskin tidak beralih idiologi, tentu ini adalah argumen yang cukup realistis. Namun kita jangan lupa bahwa, kondisi sosio-kultur dan politik MTB dan SBT berbeda dengan Desa Aboru. Oleh karena itu, kita perlu meneropong sejarah masalah lalu, bahwa terdapat pentolan gerakan separatis RMS (1950-1963) yang berasal dari Desa Aboru. Bukan tidak mungkin idiologi RMS yang diusung oleh generasi-genersi terdahulu, kembali terwariskan pada generasi-generasi berikutnya.
Berbeda dengan MTB dan SBT, pada dua daerah tidak terdapat sama sekali pengikut idiologis gerakan separatis RMS, sehingga biarpun dikedua daerah ini menderita kemiskinan, mereka tidak akan dengan mudah tergiur beralih ke idiologi lain. Sehingga menurut saya, selain faktor kemiskinan, faktor pengalaman historis generasi-generasi terdahulu dalam gerakan separatis RMS, turut menjadi sprit romantisme dari generasi-generasi mudah saat ini untuk merivalisasi gerakan New RMS di Maluku, melalui aktifitas pengibaran bendera.
Dalam konteks ini, bukan tergantung idiologi separatis RMS yang sudah tertanam dalam memori mereka, dan bukan juga karena mereka yang sering mengibarkan bendera RMS dari waktu ke waktu, tidak ingin sejahtera. Namun dibutuhkan keseriusan pemerintah daerah dan pusat untuk mampu mengelola (manajemen) konflik-konflik politik, yang intensitasnya dari tahun ke tahun meningkat hanya karena pengibaran bendera RMS. 
Mencuatnya gerakan separatis RMS bukan baru hadir saat ini, tapi melalui proses yang panjang. Tidak mungkin hanya karena HUT RMS 25 April dan bertepatan dengan datangnya presiden RI, lalu mereka mengibarkan bendera RMS. Tentu terdapat penyebab-penyebab lain mengapa aktifitas mereka dapat hadir kembali pasca reformasi? Pertama, konflik horizontal di tahun 1999 lalu, memberikan celah bagi kahadiran gerakan ini, kedua, lemahnya perhatian aparat keamanan terhadap aktifitas gerakan ini, dan ketiga, kemiskinan menjadi bagian dari revivalisasi gerakan ini, pada kantong-kantong idiologis RMS di pulau Ambon, dan Lease.
Lantas mengapa gerakan-gerakan separatis serupa yang pernah terjadi diberbagai daerah di tanah air seperti; DI/TII Kartosuwiryo (1942-1962), DI/TII Kahar Muzakar (1951-1965), DI/TII Daud Beureueh (1953-1962), dan PRRI/Permesta (1957-1961)(Tempo,2003), dapat dituntaskan oleh aparat keamanan? Tentu terdapat ketidak-seriusan dari aparat keamanan untuk menuntaskannya. Padahal awalnya, aparat keamanan mampu menangkap Soumokil tokoh gerakan separatis RMS (1950-1963) pada 2 Desember 1963 dan selanjutnya dijatuhi hukuman mati.(Tempo,2003). Namun rupanya gerakan separatis ini tidak pernah surut dalam melakukan aksinya.
Meminjam pendapat Rizal Pangabean (2007), bahwa dari aspek governance dan manajemen konflik politik, konflik itu tetap ada sepanjang waktu, namun harus di kelola. Pengelolaan konflik itu bisa melalui jalur formal dan non formal. Jalur formal melalui institusi penegak hukum; pengadilan dan kepolisian. Non formal melalui; lembaga-lembaga adat di level lokal. Sudakah upaya-upaya manajemen konflik politik itu diterapkan secara serius oleh pemerintah daerah, dan pemerintah pusat untuk menuntaskan gerakan seperatis RMS? Tentu belum.
Padahal apa yang dilakukan pemerintah di Aceh dan Papua, melalui pemberian otonomi khusus, adalah bagian dari manajemen konflik politik. Sehingga bisa menyurutkan gerakan-gerakan separatis yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun untuk RMS, pemerintah perlu mencari formula yang tepat untuk memanajnya. Saat ini RMS memang kecil, tapi dikemudian hari bisa saja gerakannya menjadi besar, sehingga bisa menjadi kasus yang diinternasionalisasi oleh pihak-pihak yang bersimpati dengan mereka. Bukankah GAM dan OPM berawal dari gerakan-gerakan yang tidak seberapa besar, namun akhirnya menjadi besar, karena dianggap sebelah mata oleh pemerintah.
Oleh karena itu, saya kira, idiologi separatisme akan dengan sendirinya surut, jika kemudian pemerintah daerah dan pemerintah pusat mampu menyediakan political goods (barang-barang politik) yang memadai. Dalam perspektif governability/kapasitas negara bangsa untuk mengelola dan menyediakan political goods, dimana hirarki political goods menyangkut keamanan (fungsi monopoli negara), salah satu diantara dilakukan melalui; upaya mengeliminasi ancaman domestik. (Pratikno&Lay,2006). Khususnya yang dialami Maluku, terkait dengan sering terjadinya pengibaran bendera oleh gerakan separatis RMS, menandakan tidak adanya kemampuan negara untuk mengelola dan menyediakan political goods, seperti rasa aman dan penegakkan hukum di Maluku.

Budaya Politik Parokial

Oleh: M.J Latuconsina

 Klimkas dari proses pemilukada Maluku telah berakhir 9 Juli 2008 lalu, keingin-tahuan rakyat di daerah ini menyangkut siapa calon gubernur (cagub), dan calon wakil gubernur (cawagub), yang bakal memenangkan pemilukada Maluku sudah terpenuhi. Sehingga tidak terdapat lagi kasuk-kusuk di tengah-tengah rakyat, menyangkut cagub dan cawagub yang memiliki kans, untuk memenangkan pemilukada Maluku. 
Tahapan berikut dari proses pemilukada Maluku, adalah menanti proses pelantikan cagub dan cawagub terpilih. Sehingga, bagi cagub dan cawagub yang memenangkan pemilukada Maluku, tentu akan menyambut proses pelantikan tersebut, dengan penuh antusiasme. Pasalnya proses pelantikan itu, merupakan puncak dari kemenangan yang diraih cagub dan cawagub tersebut dalam pemilukada Maluku. 
 Setelah cagub dan cawagub terpilih, dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur Maluku, tentu rakyat menaruh harapan besar agar visi dan misi mereka benar-benar dapat direalisasikan kepada rakyat, melalui program kerja yang rill. Karena itu, selaku cagub dan cawagub terpilih jika kelak menjalankan roda pemerintahan, perlu berupaya semaksimalnya untuk dapat merealisasikan visi, dan misi mereka kepada rakyat melalui program kerja yang rill.
 Sehingga visi dan misi cagub dan cawagub tersebut, bukan sekedar konsep kosong semata, yang kerap digembar-gemborkan dalam tiap lima tahunan ritual demokrasi di pentas lokal, namun visi dan misi tersebut benar-benar dapat direalisasikan kepada rakyat. Melalui cara seperti ini, tentu para cagub dan cawagub terpilih, akan senantiasa dapat memelihara kepercayaan dari rakyat, sekaligus mampu memegang amanat rakyat, karena menunjukan keberpihakan kepada rakyat. 
Kalau tidak demikian rakyat kemudian akan mengalami deprivasi. Sehingga mereka akan menjadi kecewa dan meninggalkan pemerintahan, yang dipimpin cagub dan cawagub pilihan rakyat tersebut. Bahkan pada pemilukada yang akan datang, dipastikan mereka tidak akan memilih pimpinan yang meninggalkan mereka. Untuk itu keberpihakan kepada rakyat melalui pembangunan, yang rill merupakan cara yang paling efektif guna tetap mempertahankan simpati pemilih terhadap gubernur dan wakil gubernur.
 Diluar harapan rakyat tersebut, terdapat suatu catatan penting dari proses pemilukada Maluku kali ini. Dimana dalam proses pemilukada yang berjalan, sampai hampir memasuki tahapan akhir tersebut, terdapat suatu kecenderungan menarik dari para aktor-aktor, yang berpartisipasi dalam perhelatan pemilukada Maluku, turut larut dalam budaya politik parokial. 
 Fenomena ini nampak, tatkala para aktor-aktor yang menekuni bidangnya masing-masing, memiliki peran melampaui bidang yang mereka geluti. Sehingga mereka-pun tidak hanya berperan dalam salah bidang yang mereka tekuni, tetapi juga menyusup dalam bidang politik. Tanpa sepenuhnya memberikan ruang, yang lebih leluasa kepada aktor-aktor lain, yang memiliki kompetensi pada bidangnya. Peran inilah, yang kemudian menumbuh-suburkan budaya politik parokial dalam proses pemilukada Maluku. 
 Misalnya, para tokoh agama tidak hanya memiliki fungsi untuk melayani umat dalam melakukan ritual ibadah, tapi mereka juga turut-serta menjadi aktor-aktor politik, dalam proses pemilukada Maluku. Begitu-pun para pedagok, tidak hanya memiliki fungsi untuk memberikan pendidikan kepada para siswa akan ilmu pengetahuan, tapi mereka juga tampil menjadi aktor-aktor politik, yang turut dalam proses pemilukada Maluku.
 Bahkan para birokrat, yang memiliki fungsi untuk menjalankan roda birokrasi pemerintahan-pun, tampil sebagai aktor-aktor politik dalam proses pemilukada Maluku. Begitu-pun elemen-elemen lain, yang mestinya secara fungsional konsisten dalam menjalankan fungsi mereka, sesuai keahliannya turut serta sebagai aktor-aktor politik, dalam proses pemilukada Maluku. Sehingga akhirnya, mereka benar-benar melenceng dari fungsinya semula. 
 Kuatnya intervensi para cagub dan cawagub, yang menjadikan mereka sebagai bagian dari networking politik, untuk memenangkan pemilukada Maluku. Tak pelak membuat mereka terjerambab ke ranah politik. Sehingga mereka akhirnya menjalankan fungsi ganda, baik itu sesuai dengan bidang kompetensi mereka, maupun diluar kompetensi mereka, dalam upaya memenangkan cagub dan cawagub pada pemilukada Maluku.  
Apalagi terdapat diantara mereka, yang diiming-imingi dengan reward kapital dan jabatan pasca pemilukada, oleh cagub dan cawagub yang mereka upayakan untuk dimenangkan dalam pemilukada, membuat mereka dengan mudah larut dalam budaya politik parokial. Namun sebenarnya fenomena ini, adalah suatu problem yang krusial di tengah-tengah pentas politik lokal Maluku. Pasalnya sebagai daerah yang masih dalam tahap perkembangan sistem politiknya, tentu belum mampu menciptakan spesialisasi kepada aktor-aktor di level lokal, untuk menjalankan fungsi sesuai bidangnya masing-masing. 
Sehingga yang mengurusi masalah politik dalam pemilukada Maluku mestinya adalah, para politikus partai, kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (presure group), yang memang hadir untuk memainkan peran-peran politik, dalam pentas politik lokal Maluku. Karena itu, turut-sertanya aktor-aktor lain yang tidak memiliki kompetensi, dalam pemilukada Maluku hanya menjadikan mereka tampil sebagai instrumen politik, dalam memobilisasi dukungan pemilih untuk kepentingan para cagub dan cawagub, dalam upaya memenangkan pemilukada Maluku.
Meskipun para aktor-aktor tersebut, berusaha tampil secara diam-diam agar tidak nampak sepak terjang politik mereka di tengah-tengah rakyat, dalam mensukseskan cagub dan cawagub. Ternyata upaya aktor-aktor tersebut, hanya sia-sia semata. Sebab rakyat di daerah ini sudah semakin cerdas, dengan melihat aktor-aktor tersebut, masuk dalam ranah budaya politik parokial. Akhirnya netralitas hanya-lah jargon-jargon kamuflase, yang didengung-dengungkan mereka kepada rakyat melalui media masa, dengan himbauan ”sukseskan pilkada Maluku yang damai”.  
Meminjam pendapat Afan Gaffar (2006) bahwa, dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik, yang bersifat kognitif akan terbentuk budaya politik yang parokial. Merujuk pada pendapat tersebut, tentu rakyat di daerah ini memiliki sikap dan orientasi politiknya masih didominasi oleh karakteristik, yang bersifat kognitif. Sehingga mudah terbentuk budaya politik parokial dalam pentas politik lokal. 
Karena itu, jika terdapat spesialisasi yang jelas, kepada aktor-aktor tersebut sesuai dengan bidangya masing-masing, tentu para aktor-aktor itu tidak akan dengan mudah larut dalam budaya politik parokial, dalam pemilukada Maluku maupun dalam event-event politik lokal lainnya di daerah ini. Melihat fenomena tersebut, tentu sistem politik di daerah ini, tidak mengalami perkembangan yang signifikan dari pemilukada ke pemilukada, sebab masih terjadi overlaping peran para aktor-aktor dalam sistem politik di daerah ini. 

Hari-Hari Menjelang Pencoblosan

Oleh; M. J Latuconsina


 Dua pekan lalu, perhatian rakyat di daerah ini terfokus oleh ramainya kampanye pemilukada, yang dilakukan empat pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub), pada kabupaten/kota di Provinsi Maluku. Terbersit harapan rakyat, agar visi-misi empat pasangan cagub dan cawagub tersebut, dapat direalisasikan jika kelak salah satu pasangan diantara mereka, benar-benar terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Maluku mendatang.
 Setelah disibukan dengan proses kampanye pemilukada tersebut, kini semua aktifitas politik yang dilakukan, untuk mempromosikan empat pasangan cagub dan cawagub kepada rakyat tersebut, benar-benar terhenti. Tahapan selanjutnya dari pemilukada Maluku, adalah memasuki masa tenang sambil menanti hari-hari menjelang pencoblosan, yang dijadwalkan jatuh pada 9 Juli 2008 mendatang.
Bak menanti lahirnya seorang bayi, rakyat Maluku saat ini dibuat cemas tatkala hari-hari menjelang pencoblosan tersebut. Bahkan terdapat kegemasan dari rakyat, yang telah memiliki hak pilih, untuk segera memasuki bilik suara guna memilih pasangan cagub dan cawagub, yang sesuai dengan aspirasi politik mereka. Sehingga sesegera mungkin mereka bisa mengetahui, siapa figur pasangan cagub dan cawagub yang keluar sebagai pemenang, dalam pemilukada Maluku.
Pada hari-hari menjelang pencoblosan tersebut, merupakan hari dimana rakyat di daerah ini, tengah menanti untuk menentukan kepemimpinan Maluku periode berikutnya. Pasalnya, rakyat Maluku memiliki otoritas penuh guna menentukan gubernur, dan wakil gubernur Maluku lima tahun mendatang. Sehinggga, bagi para pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, pada hari pencoblosan tentu tidak memiliki otoritas, untuk turut menentukan kepemimpinan Maluku dalam lima tahun mendatang.
Bagi mereka yang memiliki fanatisme dengan pasangan cagub dan cawagub tertentu, terbersit harapan agar calon yang dijagokan mereka bisa keluar sebagai pemenang dalam pemilukada Maluku. Sementara bagi mereka, yang tidak terlampau fanatisme dengan pasangan cagub dan cawagub tertentu, hanya menaruh harapan agar siapa-pun figur kandidat yang terpilih, sebagai gubernur dan wakil gubernur Maluku mendatang dapat menunaikan tugasnya dengan baik. 
Harapan tersebut, memang hadir dengan perspektif yang berbeda, namun kedua-duanya bermuara pada satu aras pokok yakni, gubernur dan wakil gubernur Maluku terpilih mendatang, harus mampu mensejahterakan rakyat di daerah ini. Sehingga impian, untuk mewujudkan daerah yang sejahtera dapat terlaksana. Tentu semua ini, bukan saja menjadi tanggungjawab gubernur dan wakil gubernur yang terpilih, namun juga merupakan tanggujawab segenap rakyat Maluku, untuk bahu-membahu menuju Maluku yang sejahtera.
Namun di tengah-tengah antusiasme rakyat Maluku, menanti hari-hari menjelang pencoblosan tersebut, kita perlu merenungi bersama bahwa, pemilukada memiliki peran yang vital bagi rakyat di daerah ini. Dimana merupakan bagian dari instrumen demokrasi (tools of democracy), sekaligus merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia (the human basic needs), untuk menciptakan masyarakat dan tatanan pemerintahan yang demokratis.  
Pemilukada Maluku kali ini, adalah yang pertamakali dihelat bagi rakyat Maluku memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur secara langsung. Pasalnya lima tahun sebelumnya, pemilihan cagub dan cawagub dilakukan oleh wakil rakyat di DPRD. Meskipun demikian bagi rakyat Maluku, pemilukada bukan merupakan suatu pesta demokrasi yang asing dimata mereka. Sebab pada waktu-waktu yang lalu, pada sejumlah kabupaten/kota di Maluku, telah lebih dulu melaksanakan pemilukada, untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah mereka.
Karena itu, meskipun pemilukada Maluku dipenuhi dengan kompetisi yang cukup ketat diantara ke-empat pasangan cagub dan cawagub, untuk meraih jabatan gubernur dan wakil gubernur Maluku. Namun kita berharap, agar dalam pemilukada Maluku kali ini, tidak terjadi kompetisi ertzast (semu) antara para kontestan cagub dan cawagub tersebut. Akan tetapi kompetisi diantara para pasangan cagub, dan cawagub yang tengah bertarung tersebut, benar-benar merupakan kompetisi yang berkualitas, dengan senantiasa menjunjung nilai-nilai demokrasi. 
Dibalik harapan tersebut, kita juga tidak menginginkan proses pemilukada di daerah ini berjalan layaknya pemilukada di daerah lainnya ditanah air, yang penuh dengan interest politik pasangan cagub, dan cawagub yang tengah bertarung. Dimana berakibat buruk pada konflik politik yang berkepanjangan, dan melelahkan sehingga rakyat-lah yang dikorbankan. Fatalnya lagi pembangunan di daerah terbengkalai, karena para elit bersama rakyat hanya disibukan dengan konflik dalam pemilukada. 
Untuk itu, proses transformasi kepemimpinan lokal di Maluku, melalui pemilukada, perlu dilakukan dalam suasana yang fair play, dengan selalu mengedepankan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur, dan adil (jurdil). Hal ini adalah esensi penting dari pemilukada, yang merupakan sebuah instrumen bagi pelembagaan konflik di tingkat lokal. Sehingga, pemilukada Maluku perlu dimaknai sebagai suatu mekanisme, transformasi kepemimpinan ditingkat lokal secara damai. 
Diluar mekanisme pemilukada yang fair-play tersebut, tentu rakyat Maluku juga tidak iginkan terperangkap dalam frozen demokrasi, yang oleh Sorensen (2003) dikatakan sebagai demokrasi beku, yang lemah serta tidak solid. Karena itu, melalui pemilukada Maluku, rakyat perlu berupaya semaksimalnya untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah ini. Sehingga dapat terhindar dari frozen demokrasi.
Bahkan sebagai sebuah mekanisme demokrasi, rakyat Maluku perlu membiasakan diri untuk memilih pimpinan melalui pemilukada. Pasalnya pemilukada merupakan salah satu mekanisme politik, yang menempatkan pasangan cagub dan cawagub terpilih, untuk merealisasikan akuntabilitas kinerja mereka, kepada rakyat melalui program kerja yang rill. 
Sehingga kalau dikemudian hari, setelah terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur. Lantas akuntabilitas gubernur dan wakil gubernur tersebut, tidak bisa direalisasikan kepada rakyat melalui program kerja yang rill, maka rakyat memiliki otoritas penuh untuk tidak memilih gubernur dan wakil gubernur tersebut pada pemilukada berikutnya, jika ada diantara mereka yang tampil kembali mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Memilih Untuk Tidak Memilih

Oleh; M.J Latuconsina


 Tinggal empat bulan lagi pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung akan di gelar di provinsi Maluku. Menghadapi pesta demokrasi langsung yang baru dilaksanakan di provinsi Maluku tersebut, rakyat selaku konstituen pilkada langsung begitu antusias menyambutnya. Hal ini ditandai dengan perbincangan mereka seputar figur calon kepala daerah (calkada) dan calon wakil kepala daerah (cawalkada), yang layak untuk dipilih tatkala dilaksanakan pilkada langsung.
 Antusiasme rakyat dalam menyambut pilkada langsung tersebut, menunjukan kuatnya partisipasi politik mereka untuk menggunakan hak pilihnya, saat dilangsungkan proses pencoblosan figur calkada dan cawalkada, sekaligus mengindikasikan kuatnya partisipasi politik rakyat dalam menentukan figur calkada dan cawalkada, yang akan memimpin Maluku lima tahun mendatang. 
Bahkan antusiasme rakyat untuk menggunakan hak politiknya, diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Selain itu, melalui partisipasi politik rakyat dalam pesta demokrasi lokal, akan menjadi skesta untuk mengukur tingginya/rendahnya partisipasi politik rakyat dalam menggunakan hak politik mereka pada pilkada langsung.
Vote For No Vote
Sayangnya, dibalik antusiasme konstituen dalam menyambut pelaksanaan pilkada langsung di Provinsi Maluku tersebut, kerap menyisahkan sebagian kecil konstituen di daerah ini yang bersikap “memilih untuk tidak memilih”(vote for no vote) calkada dan cawalkada, yang tampil selaku kontestan pilkada lansung nanti. 
Sikap konstituen yang memilih untuk tidak memilih dalam pilkada langsung, tidak muncul sesaat tatkala dilaksanakannya pesta demokrasi lokal tersebut. Tapi, terdapat penyebab sehingga konstituen bersikap memilih untuk tidak memilih dalam pilkada langsung. Terkait dengan itu, menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI, 2007) dan Jaringan Isu Publik (JIP, 2007) pemilih yang tidak ikut dalam pemilihan (golput), disebabkan; 
Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya.  
Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang pilkda sebagai hal yang penting. Keempat, ekonomi politik. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pilkada dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya.
Variasi Political Behaviour 
 Faktor mana dari keempat faktor tersebut, akan menjadi penyebab konstituen bersikap memilih untuk tidak memilih, dalam pilkada langsung di Maluku?. Tentu tidak bisa digeneralisir, salah satu faktor dari keempat faktor itu, akan dominan menimpa mayoritas konstituen dalam pilkada langsung di Maluku. Pasalnya terdapat faktor structural, sociological, ecological, socio-psychological, dan rational choice, yang melatar-belakangi perilaku pemilih (voting behaviour) Maluku dalam menentukan sikap politik (political behaviour) mereka. 
 Sikap memilih untuk tidak memilih, yang ditunjukan rakyat Maluku dalam pilkada langsung nanti, akan bervariasi antara satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lainnya. Semisal; pertama, seorang pemilih di Batumerah Kota Ambon, tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Hal ini dapat terjadi, karena pemilih tersebut adalah pendatang yang baru menetap di Kota Ambon. 
 Kedua, seorang pemilih yang berprofesi sebagai nelayan kecil di Geser, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih. Ia lebih memilih untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya. Ketiga, seorang pemilih di Lakor, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) tidak mau mencoblos, karena ia merasa tidak memiliki ketertarikan pada politik (political engagement). Bahkan ia tidak memandang pilkda langsung sebagai hal yang penting.
Keempat, seorang pemilih di Sepa, Kabupaten Maluku Tengah memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Dimana, dalam persepsinya pilkada langsung dipandang tidak ada gunanya dan tidak akan membawa perubahan berarti. Kelima, seorang pemilih di Wamlana Kabupaten Buru memilih untuk tidak memilih dalam pilkada langsung, karena dalam perspesinya tidak ada kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah yang disukainya. 
Diluar faktor yang menjadi penyebab konstituen bersikap memilih untuk tidak memilih tersebut, sebenarnya terdapat indikator-indikator lain, yang menyebabkan pemilih bersikap golput. Pertama, para calkada dan cawalkada, yang tampil sebagai konstetan pilkada langsung bukan merupakan representasi dari konfigurasi etnis yang dominan di Maluku. Kedua, partai politik yang kerap dipilih konstituen dalam tiap kali pemilu tidak mengusung calkada dan cawalkada. Ketiga, tidak terdapat calkada dan cawalkada yang merupakan representasi dari kelas sosial didalam masyarakat.
Jika partai politik, bersama elit politik dapat mengantisipasi hal tersebut, dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan, konstituen bersikap memilih untuk tidak memilih, untuk kemudian mengakomondasinya dalam proses rekruitmen calkada dan cawalkada yang tengah berlangsung, tentu sejak dini bisa diminimalisir angka konstituen, yang lebih bersikap memilih untuk tidak memilih dalam pilkada langsung nanti. 
 Terlepas dari itu, partisipasi politik rakyat melalui penggunaan hak pilih mereka dalam pilkada langsung, bukan saja merupakan suatu kesadaran politik yang mesti tumbuh dari nurani para pemilih, tapi diperlukan peran serta lembaga-lembaga yang berkompoten, dalam proses demokratisasi di tingkat lokal, seperti; partai politik, penyelenggara pilkada, pengawas pilkada dan media massa, untuk secara intens memberikan pemahaman menyangkut pentingnya pemberian hak suara dalam pelaksanaan pilkada langsung.