Sabtu, 29 Agustus 2009

Kleptokratis

Oleh : M.J Latuconsina


Akhir-akhir ini perhatian rakyat tertuju kepada kasus korupsi anggaran negara, yang diduga melibatkan sejumlah pejabat, yang tengah menduduki posisi strategis dilingkup pemerintahan di daerah ini. Penyelewengan anggaran negara yang diduga dilakukan sejumlah pejabat teras tersebut, bukan hanya telah melampaui ratusan juta rupiah, tapi sudah mencapai triliunan rupiah. Tentu merupakan kasus korupsi anggaran negara, dengan jumlah angka yang sangat fantastis. Sehingga dimata rakyat, ini merupakan penyelewengan anggaran negara yang sangat besar.  
Dua diantara sekian banyak kasus korupsi anggaran negara, yang konon melibatkan para pejabat teras dijajaran pemerintahan di provinsi ini, antara lain ; Dana Inpres Nomor 6 tahun 2003 senilai 2,159 triliun rupiah, dan Dana Keserasian Pengungsi bagi 3.550 kepala keluarga di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah senilai 35,5 miliar rupiah. Satu dari kedua kasus itu, telah diproses oleh institusi penegak hukum di daerah ini. Dimana hingga saat ini, rakyat masih menanti diberikannya ganjaran hukuman, bagi para pejabat teras yang diduga terlibat dalam kasus korupsi anggaran negara tersebut.
Jika kelak dugaan penyelewengan anggaran negara tersebut, benar-benar terbukti sebagai bagian dari kejahatan korupsi, yang dilakukan para pejabat teras dilingkup pemerintahan di daerah ini, maka kita jangan pernah berharap banyak upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik kemanusiaan akan tepat sesuai sasarannya. Hal ini, dikarenakan anggaran dari pemerintah pusat, yang diperuntukan bagi upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi provinsi ini pasca konflik horisontal telah terkuras habis. 
Akibatnya upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik kemanusiaan mengalami jomplang, dimana tidak merata sampai ke pelosok-pelosok di daerah ini. Jomplangnya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi provinsi ini pasca konflik kemanusiaan tersebut, dapat dilihat dengan megahnya ibukota provinsi, melalui kehadiran kantor pemerintahan dan kantor wakil rakyat-nya. Tentu ini merupakan suatu keberhasilan semu dari upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini, setelah mengalami pertikaian sipil berkepanjangan.
Para pejabat dari Jakarta, yang datang mengujungi daerah ini-pun, akan dibuat terkagum-kagum dengan megahnya ibukota provinsi, melalui kehadiran kantor pemerintahan dan kantor wakil rakyat-nya. Tak pelak akan muncul persepsi positif dari mereka, bahwa daerah ini telah sukses melakukan rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi pasca konflik horisontal, seperti yang diharapkan mereka sejak awal. Sehingga anggaran yang dikucurkan mereka kepada provinsi ini tidak sia-sia bagi upaya rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik sipil tersebut.
Tentu pandangan dan persepsi mereka keliru, tanpa melihat kondisi rakyat pada pelosok-pelosok di daerah ini, yang masih hidup dalam himpitan kemiskinan, dimana tidak memiliki sandang dan pangan yang cukup memadai. Bahkan 29,7 persen dari jumlah penduduk miskin di tahun 2008 ini, sebagian besar berada pada pelosok-pelosok di provinsi ini. Himpitan kemiskinan yang dialami rakyat di pelosok-pelosok tersebut, jauh dari kemegahan yang terdapat di ibukota provinsi. Fakta ini, tentu merupakan sebuah ironi kemanusiaan, akibat di korupsinya anggaran bagi rekonstruksi, recovery, dan rehabilitasi daerah ini pasca konflik horisontal tersebut.  
Karena itu, perbuatan korupsi, yang dilakukan para pejabat yang tengah menduduki posisi startegis tersebut, lebih tepat disebut dengan ”kleptokratis”. Oleh Teuku Jacob (2004), dalam bukunya ”Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis”, menyebutkan ”kleptokratis” sebagai pemerintahan penjarah. Dimana ”kleptokratis” merupakan pemerintahan yang inegaliter, yang sama sekali tidak adil. Inti ”kleptokratis” adalah memindahkan kekayaan nasional dari lapisan atas yang berkuasa; politikus dan birokrasi, militer dan polisi serta pengusaha dan pemilik modal.
 Para pejabat yang tengah menduduki posisi startegis dijajaran pemerintahan daerah, tentu tidak memiliki rasa malu lagi ketika mereka diidentikan dengan pemerintahan penjarah. Bagi mereka teriakan pemerintahan penjarah atau-pun yang sejenisnya, tidak lagi mereka pedulikan. Bahkan tatkala mereka diperhadapkan dengan tuduhan korupsi yang bertubi-tubi dialamatkan kepada mereka, justru mereka akan balik mengeluarkan statemen bahwa ”itu kan baru dugaan, kita harus berpenggang teguh kepada asaz praduga tak bersalah. Sehingga tidak segampang itu untuk menuduh kita melakukan korupsi.”
Tak pelak asaz ini seringkali menjadi senjata pamungkas bagi para pejabat tersebut, untuk menghindar dari perbuatan korupsi yang dialamatkan kepada mereka. Padahal sudah ditemukan bukti materil, yang mengarah kepada keterlibatan mereka dalam penyelewengan anggaran negara, namun lagi-lagi mereka belum bisa dijerat dengan ganjaran hukuman pidana, yang setimpal atas perbuatan mereka tersebut. Tentu hal ini merupakan problem serius bagi upaya penegakkan hukum di provinsi ini, dimana masih syarat dengan nuansa politis. 
Dengan kondisi seperti ini, maka yang terpikirkan oleh para pejabat teras tersebut, adalah dapat menunaikan tugas sampai dengan berakhir masa jabatan mereka, tanpa diganjar dengan hukuman pidana akibat perbuatan korupsi yang dilakukan mereka. Sehingga ”posisi cari aman” merupakan jalan terbaik yang mereka tempuh, guna menghindar dari tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada mereka. Hal ini dapat saja terjadi, jika aparat penegak hukum di daerah ini lemah untuk mengungkapkan keterlibatan korupsi dari para pejabat tersebut.
 Namun ”posisi cari aman” yang dilakoni para pejabat, yang tengah menduduki posisi strategis dijajaran pemerintahan daerah tersebut, tidak selamanya dapat dikatakan ”aman-aman saja.” Pasalnya, jika institusi penegak hukum di provinsi ini, memiliki keseriusan untuk menuntaskan masalah korupsi, yang melibatkan sejumlah pejabat teras tersebut, tentu mereka dapat dijerat dengan hukuman pidana, atas perbuatan korupsi yang dilakukan mereka, selama mereka menjalani massa jabatan mereka di pemerintahan. 
Dibanyak daerah sering terjadi demikian, dimana institusi penegak hukum tetap konsisten menuntaskan kasus korupsi, yang melibatkan para pejabat teras. Sehingga ketika para pejabat teras itu menyelesaikan masa jabatan mereka di pemerintahan, diikuti pula dengan proses hukum yang dijalani mereka. Hal ini menimpa Danny Setiawan mantan Gubernur Jawa Barat periode 2003-2008, tersangkut kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran dan alat berat. Ia dianggap bersalah, karena telah menandatangani surat ijin penunjukan pengadaan mobil pemadam kebakaran dan alat berat, tanpa melakukan tender.
Bahkan ia menerima sogokan senilai 2,55 miliar rupiah, dari perusahaan pengadaan mobil pemadam kebakaran dan alat berat. Akibat perbuatan pidananya tersebut, ia kemudian di vonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Nasib serupa juga dialami Lalu Serinata, mantan Gubernur NTB periode 2003-2008, tersangkut kasus korupsi dana APBD NTB tahun 2003 senilai 10 miliar rupiah. Akibat perbuatan pidananya tersebut, ia kemudian divonis lima tahun penjara, oleh Pengadilan Negeri Mataram.  
Akankah para pejabat teras dijajaran pemerintahan di daerah ini, mengalami nasib serupa seperti yang dialami kedua mantan gubernur tersebut?. Tentu terpulang kepada institusi penegak hukum, untuk serius menuntaskan kasus korupsi tersebut. Dimana tanpa ragu-ragu memberikan hukuman pidana, kepada mereka yang sudah benar-benar terbukti melakukan korupsi anggaran negara. Untuk itu, kita berharap sejumlah kasus korupsi tersebut, ”tidak di peti es-kan.” Sehingga meskipun kelak para pejabat teras itu mengakhiri masa jabatan mereka, institusi penegak hukum tetap konsisten menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan mereka. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar