Sabtu, 29 Agustus 2009

Woyla

                               Oleh : M.J Latuconsina


Belum sirna dalam memori kita, atas peristiwa pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, yang dilakukan oleh para teroris yang menyebutkan diri Komando Jihad. Drama pembajakan pesawat beserta awak dan para penumpang, yang didalangi para fundamentalist tersebut, berakhir di Bandara Don Muang Thailand, setelah aksi pembajakan dari para teroris itu, berhasil dilumpuhkan oleh pasukan antiteror ABRI, dari satuan Kopasanda.  
Peristiwa pembajakan pesawat dari maskapai penerbangan sipil itu, pernah ditorehkan kisahannya dalam biografi Jenderal M. Yusuf ‘Panglima Para Prajurit’, Jenderal L.B Moerdani ‘Tragedi Seorang Loyalis’ dan dalam biografi Letnan Jenderal Sintong Panjaitan ‘Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’. Ketiga mantan perwira tinggi ABRI ini, dalam karier militernya pernah bersentuhan langsung, dengan kasus pembajakan pesawat itu. Berikut kisahnya, yang dirangkum dari ketiga biografi tersebut ;
Awal peristiwa pembajakan tersebut, terjadi pada hari Sabtu tanggal 28 Maret 1981, tatkala pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, dengan nomor penerbangan 206 yang mengangkut 48 orang penumpang, dalam penerbangan dari Bandara Internasional Kemayoran Jakarta menuju Bandara Polonia Medan, via Bandara Talangbetutu Palembang dibajak di udara, pada pukul 10.10 WIB setelah pesawat ini melewati Bandara Simpang Tiga Pekanbaru Riau. 
Nasib malang menimpa Copilot Hedhy Juwantoro, mendengar suara ribut di arah belakang. Baru saja akan berpaling, seorang lelaki kekar menyerbu kokpit sambil berteriak, “Jangan bergerak pesawat kami bajak…”. Nasib serupa juga dialami Captain Pilot Herman Rante penerbang DC-9 PK-GNJ, dipaksa dengan todongan senjata mengalihkan tujuan penerbangan ke Penang Malaysia.
Permintaan itu-pun dituruti Captain Pilot Herman Rante. Di Bandara Bayan Lepas Penang, pembajak meminta dikirimi makanan, peta penerbangan bagi kapten pesawat, dan dilakukan pengisian bahan bakar. Permintaan itu kemudian diluluskan Pemerintah Malaysia. Pada pukul 16.05 waktu setempat, pesawat DC-9 Woyla tinggal landas dari Bandara Bayan Lepas Penang. Tempat persinggahan berikut dari pesawat naas ini, adalah Bandara Don Muang Thailand.
Sebelum meminta mengalihkan penerbangan ke Bandara Bayan Lepas Penang, para komplotan pembajak berjumlah lima orang itu, telah melumpuhkan seluruh penumpang dan ketiga pramugari. Salah seorang pembajak Zulfikar, memerintahkan semua penumpang pindah ke bagian belakang sambil meminta semua tanda pengenal. Ketakutan segera terbayang di wajah penumpang, karena mereka tidak bisa membayangkan, bagaimana akhir pengalaman ini?.
Setelah berhasil menguasai pesawat, para teroris itu kemudian memberikan tuntutan kepada pemerintah, agar membebaskan 80 orang tahanan. Terdiri atas tahanan, yang terlibat dalam peristiwa penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki Bandung pada 11 Maret 1981, tahan yang terlibat dalam peristiwa teror Warman di Rajah Paloh pada 22 Agustus 1980, dan para tahanan yang terlibat dalam teror Komando Jihad pada tahun 1977/1978. 
 Berdasarkan informasi dari Wakil Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo, pembajak pesawat DC-9 Woyla itu dilakukan oleh kelompok orang, yang menamakan diri aliran Islam murni (fundamentalist) dan menyebutkan diri Komando Jihad. Kelima pembajak itu antara lain ; Zulfikar T. Djohan Mirza, Abu Sofyan atau Sofyan Efendi, dan Wendy Mohammad Zein ketiganya berasal dari Medan, Mahrizal berasal dari Palembang, serta Abdullah Mulyono seorang kelahiran Yogyakarta.
Drama pembajakan pesawat itu semakin menegangkan, karena para pembajak telah mengalihkan penerbangan pesawat ke negara lain. Pengalihan penerbangan pesawat ke negara lain, tentu menjadi problem serius bagi ABRI, dalam mengupayakan pembebasan pesawat yang telah dibajak tersebut. Pasalnya dalam beberapa kasus pembajakan pesawat, biasanya pihak tuan rumah enggan mengizinkan pasukan asing melakukan operasi militer wilayah negara tersebut. 
Sejak awal Perdana Menteri Thailand Prem Tinsulanonda tidak menghendaki dilakukan kekerasan dalam menangani pembajakan pesawat. Namun akhirnya ia mengijinkan dilakukan operasi militer. Sementara itu, Presiden Soeharto menghendaki dilakukan operasi militer dalam membebaskan sandera. Dalam rangka operasi pembebasan para sandera, Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf yang sedang berada di Ambon, untuk menghadiri rapim dan latgab ABRI, segera memerintahkan Laksamana Sudomo, guna mengkoordinasikan penanggulangannya.  
ABRI kemudian menugaskan pasukan antiteror Kopasanda untuk menanggulanginya. Letkol Sintong Panjaitan, Asisten Operasi Kopasanda dipercayakan merencanakan operasi, dengan menyiapkan satu Karsayudha dari Grup 4/Sandiyudha berkekuatan 72 orang. Namun karena kekuatan pembajak hanya lima orang, jumlahnya disusut menjadi 30 orang. Mereka terdiri dari 24 orang dari Grup 4, tiga orang pamen dari Mako Kopasanda, masing-masing Letkol Sintong Panjaitan sebagai Komandan Tim Antiteror, Mayor Sunarto dan Mayor Isnoor serta tiga dari Grup 1/Parako, yaitu Mayor Subagyo HS dan dua orang lainnya.
Kendati dihadang waktu, pasukan antiteror yang disiapkan itu tetap melakukan latihan. Pihak Garuda-pun menyiapkan pesawat DC-9 Digul, serupa dengan pesawat yang dibajak di hanggar Garuda Line Maintanance Domestic di Bandara Internasional Kemayoran. Berbagai persiapan ini, kemudian membuahkan hasil. Pasalnya pada tanggal 31 Maret 1981 tepatnya pukul 02.45 waktu setempat, para penumpang yang disandera itu, berhasil dibebaskan oleh pasukan antiteror dalam waktu 3 menit. Sedangkan kelima pembajak tersebut tewas saat penyergapan.  
Keberhasilan pasukan antiteror Kopasanda dalam menuntaskan pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla tanpa menewaskan seorang sandra-pun, telah berlalu 29 tahun lalu. Namun keberhasilan tersebut, turut menorehkan nama harum pasukan atiteror Kopasanda dimata dunia internasional. Apresiasi atas keberhasilan ini-pun datang dari berbagai negara. Salah satunya datang dari Israel, yang menyebutkan satuan antiteror Kopasanda bertaraf internasional. 
Sayangnya, keberhasilan yang diraih pasukan antiteror Kopasanda dalam membebaskan pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, yang dilakukan para teroris tersebut, tidak bisa diikuti kesuksesannya oleh Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 POLRI, dalam menangkap Noordin M Top salah seorang gembong teroris, yang selama ini menjadi buronan yang paling dicari-cari oleh Densus 88. Akibat perbuatan teror bom, yang sering dilakukannya di tanah air.
Upaya penangkapan Noordin M Top oleh Densus 88 di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada 8 Agustus 2009 lalu, mengarahkan 200 personil untuk mengepung rumah Muzahri, yang diduga menjadi tempat persembunyiannya. Penyergapan ini-pun memakan waktu 18 jam. Tentu, ini merupakan upaya penangkapan teroris, dengan mengarahkan personil terlalu banyak, tidak sesuai dengan kekuatan teroris dan memakan waktu terlampau lama, untuk suatu keberhasilan operasi antiteror.
Dibandingkan dengan pembebasan para sandera pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla, di Bandara Don Muang Thailand oleh pasukan antiteror Kopasanda, dengan mengarahkan 30 personil hanya memerlukan waktu 3 menit untuk membekuk lima orang teroris, yang menyandera para penumpang dan awak pesawat naas itu. Dari “kegagalan” Densus 88 POLRI tersebut, tentu mereka harus “belajar banyak” dari keberhasilan yang pernah diraih pasukan antiteror TNI, dalam menangani aksi teror yang dilakukan oleh para teroris. 



2 komentar:

  1. Mampir jalan-jalan.
    Salam kenal ^_^

    BalasHapus
  2. Saya belum mendapatkan info atau berita tentang korban Selamat, bahkan data2 penumpang sulit saya dapatkan. Semua berita tentang operasi ini memunculkan keberhasilan kopasandha tapi pemunpangnya tidak ada yg di ambil komentarnya.

    Terima kasih

    BalasHapus