Rabu, 07 April 2010

Border

Oleh : M.J Latuconsina

Seseorang tidak bisa menolak menjadi Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa meminta untuk menjadi Jawa, Batak atau Melayu dan sebagainya. Predikat tersebut menjadi sesuatu yang taken for granted sedari awal penciptaan kelahiran.

Sukses pemekaran yang diraih suatu daerah menjadi daerah otonom baru, menjadi spirit awal bagi rakyat di daerah-daerah, yang sebelumnya termarginalkan dalam pembangunan, guna mengejar ketertinggalan pembangunan. Karena itu, ketika suatu daerah berhasil dimekarkan menjadi daerah otonom baru, hal itu menandakan kepercayaan yang diberikan pemerintah pusat, kepada daerah-daerah yang sebelumnya terpinggirkan dalam pembangunan, untuk mengatur dan mengurus rumah tanggahnya sendiri.
Dibalik sukses pemekaran yang dicapai suatu daerah menjadi daerah otonom baru tersebut, seringkali tidak diikuti dengan keberhasilan dalam menuntaskan berbagai problem, yang dihadapi daerah otonom baru tersebut pasca dimekarkan dari daerah induknya. Hal ini dikarenakan terdapat beragam persoalan, yang menghadang setelah daerah otonom baru itu dimekarkan, yakni ; polemik letak ibukota, minimnya aparatur pemerintahan, minimnya infrastruktur pemerintahan, kepala daerah, kepemilikan aset dan polemik tapal batas (border).     
Berbagai persoalan tersebut, adalah sedikit dari sejumlah problem, yang seringkali menimpa daerah otonom baru, baik itu di level kabupaten dan kota di beberapa daerah di tanah air. Munculnya  sejumlah problem ini, sering tidak dapat diantisipasi sejak awal oleh daerah, yang hendak dimekarkan menjadi daerah otonom baru. Pasalnya, euforia pemekaran yang menghinggapi aktor-aktor, yang memiliki kepentingan langsung dengan pemekaran tersebut, menjadi salah satu penyebab mereka lalai mengantisipasinya.
Yang terpikirkan oleh aktor-aktor tersebut, adalah dimekarkan dulu daerah mereka menjadi daerah otonom, baru berbagai persoalan itu dituntaskan dikemudian hari. Padahal, tanpa sadar sejumlah problem ini menjadi bom waktu, yang seringkali bergejolak dikemudian hari. Sehingga kerap berdampak terhadap disharmonisasi daerah induk dengan daerah yang baru dimekarkan tersebut. Apalagi daerah yang baru dimekarkan itu, selama  menjadi bagian dari wilayah daerah induk, merasa termarginalkan, tentu akan sangat rawan terjadinya disharmonisasi.
Hal ini diperburuk lagi dengan teritorialisasi identitas etnis, yang kerap menjadi penyebab suatu daerah dimekarkan menjadi daerah otonom baru dari daerah induknya. Tentu faktor ini akan rawan menyulut disharmonisasi, akibat beberapa problem yang menghinggapi daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut. Tak pelak politik identitas etnis, akan terbawa-bawa dalam sengketa antara daerah yang baru dimekarkan dengan daerah induknya. Fenomena seperti ini, sudah banyak terjadi di sejumlah daerah di tanah air.
Salah satu persoalan crucial, yang seringkali menimpa daerah otonom, yang baru dimekarkan adalah menyangkut border. Dimana daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut, kerap berseteru dengan daerah induknya menyangkut border. Apalagi terdapat basis etnis yang homogen dari aspek bahasa dan agama, yang kebetulan sebagian kecil terdistribusi mengikuti daerah induk, dan sebagian besar terdistribusi mengikuti daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut, tak pelak akan mudah memicu terjadinya disharmonisasi.
Pasalnya perasaan ‘kekitaan’ yang menghinggapi etnis, yang sebagian kecil terdistribusi mengikuti daerah induk, terhadap etnis mereka yang sebagian besar terdistribusi mengikuti daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut sulit terbendung. Akibatnya keinginan untuk bergabung dengan saudara-saudara mereka, yang se-etnis di daerah yang baru dimekarkan tersebut, sering menjadi penyebab konflik border antara daerah induk dan daerah otonom yang baru dimekarkan.   
Fenomena ini, menandai kesalahan interpretasi rakyat di daerah terhadap esensi dari pemekaran daerah otonom itu sendiri. Menyangkut fenomena ini, Daniel Sparringa (2007) dalam tulisannya yang berjudul;‘Transisi Demokrasi di Indonesia: Menstrukturkan Sebuah Peta Jalan Baru’ mengatakan bahwa, pembentukan daerah-daerah administratif di beberapa wilayah memperlihatkan sekaligus terjadinya teritorialisasi identitas. Teritorialisasi identitas sering merupakan awal dari regrouping kultur atas dasar wilayah yang dalam praktiknya dapat mengambil wajah terbentuknya daerah otonom.
Celakanya, muncul keinginan esklusif yang tumbuh secara alamiah dari etnis-etnis yang homogen dari aspek bahasa dan agama tersebut. Ditandai dengan keinginan mereka tetap menjadi satu, dan enggan tercerai-berai dari komunitas etnisnya. Sehingga tatkala pemerintah melalui DPR-RI mensahkan suatu daerah otonom baru, yang disertai dengan border administratif wilayahnya melalui undang-undang pemekaran, seringkali termentahkan. Yang terjadi adalah perlawanan dari etnis-etnis itu, dimana mereka menuntut kepada pemerintah, untuk bergabung dengan daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut.
Fenomena ini seakan mengugurkan kenyataan rill bahwa, kita inklusif dari aspek etnis. Selaku rakyat mestinya kita taat terhadap border administratif wilayah daerah otonom baru, dan daerah otonom lama, yang telah disahkan oleh DPR-RI melalui undang-undang pemekaran. Bukan karena perbedaan etnis lantas kita dapat berbuat sewenang-wenang, untuk kemudian melawan border administratif wilayah daerah otonom lama, yang telah disahkan oleh DPR-RI melalui undang-undang pemekaran, dengan mengatasnamakan ingin bergabung dengan daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut.   
Cara-cara seperti ini, hanya akan membuat kita terbelenggu dalam nilai-nilai primordialisme sempit, dimana tidak menerima kenyataan rill bahwa, kita tercipta dari beragam etnis dan untuk itu kita perlu hidup bersama dalam suasana kemajemukan. Akan realitas kebhinekaan kita tersebut, Ubed Abdilah S (2002) dalam bukunya yang berjudul ; Politik Identitas Etnis, Pergulatan Tanda Tanpa Identitas lantas menyebutkan bahwa, kata etnis sendiri menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau kelompok.
Seseorang atau kelompok yang menjadi Jawa, Bugis, Sunda, Inggris, Belanda atau Afrika mendapat predikat-predikat itu tanpa disadari pada awalnya. Seseorang tidak bisa menolak menjadi Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa meminta untuk menjadi Jawa, Batak atau Melayu dan sebagainya. Predikat tersebut menjadi sesuatu yang taken for granted sedari awal penciptaan kelahiran.
Memaknai kemajemukan secara lahiriah tersebut, tentu jangan karena dilandasi ketidaksukaan terhadap elite di daerah otonom lama, yang berbeda secara etnis lantas secara vulgar kita melakukan perlawanan dengan lebih mengedepankan hard power, untuk meminta bergabung dengan daerah otonom baru, yang kebetulan masih memiliki ikatan etnis yang sama. Mestinya ketidaksukaan terhadap elite di daerah otonom lama, oleh rakyat yang tengah mendiami border administratif wilayah daerah otonom baru itu, dilakukan melalui mekanisme yang konstitusional lewat local election, dengan lebih mengedepankan soft power.     
Dimana jika dalam massa kepemimpinan elite di daerah otonom lama, rakyat tidak merasakan kesejahteraan dan ketentraman. Tentu rakyat memiliki otoritas penuh untuk kemudian melakukan evaluasi kritis terhadap pilihan politik mereka, dalam bentuk ’suara penghukuman’, untuk tidak memilih elite tersebut pada local election lima tahun berikutnya. Mekanisme seperti ini merupakan cara-cara yang konstitusional, dengan lebih mengutamakan nilai-nilai demokratis dalam tatanan kehidupan sosial kita. Ketimbang lebih mengedepankan hard power, yang hanya membuat kita terperangkap dalam mekanisme yang tidak demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar