Rabu, 07 April 2010

Sekolah itu Anarkis

Oleh; M.J Latuconsina

”Rakyat bisa cerdas apabila hak-hak
mereka dihormati dan seluruh partisipasi
dan emansipasi mereka diakui..”-Y.B. Mangunwijaya-

Sampai saat ini rakyat masih menaruh harapan besar kepada sekolah, dalam persepsi rakyat sekolah merupakan salah satu media, yang urgen untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sekaligus merupakan salah satu wahana guna memperoleh pencerdasan, dan pencerahan. Sehingga rakyat awalnya tidak memahami suatu ilmu pengetahuan, menjadi memahami suatu ilmu pengetahuan melalui proses belajar di sekolah. Pentingnya sekolah membuat rakyat begitu antusias, meluangkan waktu untuk menimbah ilmu pengetahuan melalui proses belajar di sekolah.   
Bahkan sampai saat ini, rakyat juga masih menaruh harapan besar kepada sekolah, dalam pemahaman rakyat jika mereka memiliki tingkat sekolah yang rendah, akan berdampak buruk terhadap penindasan dan kemiskinan yang akan dialami mereka. Karena itu, sekolah merupakan salah satu jalan terbaik untuk bisa mengeluarkan rakyat, dari keterkungkungan penindasan dan kemiskinan ke arah pembebasan, sekaligus akan mampu menyadarkan rakyat dalam keseluruhan sistem perubahan sosial.
Melalui sekolah pula akan membuat rakyat sukses dalam meraih cita-cita yang mereka inginkan. Sehingga jalan untuk dapat meningkatkan taraf hidup rakyat, ke arah yang lebih baik lagi dapat tercapai. Hal ini didasari oleh pandangan positif rakyat bahwa, dengan sekolah rakyat akan memiliki kualifikasi kelulusan dalam bentuk ijazah, dimana dengan ijazah tersebut dapat digunakan rakyat untuk memperoleh pekerjaan, pada instansi pemerintah dan instansi swasta.  
Guna menyambut antusiasme rakyat akan kebutuhan sekolah itu, maka pihak-pihak (pemerintah/swasta) yang memiliki kepentingan langsung dengan proses aufklarung kepada rakyat, berupaya dengan merogoh kocek ratusan hingga miliaran rupiah untuk meningkatkan jumlah sekolah, maupun mutu sekolah. Hal ini diikuti pula dengan kemampuan finansial dari para siswa untuk membiayai studi mereka di sekolah, yang disediakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan langsung dengan proses pencerdasan, dan pencerahan terhadap rakyat tersebut.
Meningkatkan jumlah sekolah maupun mutu sekolah, diharapkan akan bisa memiliki output yang maksimal terhadap para generasi muda yang lulus dari sekolah tersebut. Melalui upaya ini, akan juga memiliki output yang optimal, bagi instansi pemerintah dan instansi swasta dalam menerima lulusan-lulusan sekolah, yang memiliki kualifikasi yang terbaik. Dimana pada akhirnya lulusan-lulusan sekolah, yang memiliki kualifikasi yang terbaik itu, akan mampu meningkatkan kinerja dari instansi-instansi tersebut tatkala mereka bekerja disana.
Dibalik kebutuhan sekolah oleh rakyat tersebut, terdapat esensi penting dari keikutsertaan rakyat di sekolah. Hal ini sebagaimana dikemukakan Imam Bernadib (1983), yang terkenal melalui karyanya; “Pendidikan Baru” mengatakan bahwa, sekolah akan membentuk kepribadian, dan pengembangan seorang sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk keagamaan. Kesemuanya itu, menghendaki adanya perkembangan individu, menjadi mahluk yang seimbang dan berimbang, maka setiap ajang pendidikan hendaklah memberikan kemungkinan bagi berlangsungnya proses untuk mencapai tujuan yang diharapkan.  
Diluar nilai-nilai luhur sekolah tersebut, ternyata sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang netral, bagi rakyat yang membutuhkannya. Pasalnya mereka-mereka yang memiliki tangunggjawab untuk mengelolah sekolah demi kepentingan rakyat, justru telah tampil secara sektarian dalam mengelolahnya, hanya untuk kepentingan mereka sendiri dan cenderung mengabaikan kepentingan bersama, dalam proses pencerdasan dan pencerahan rakyat. Hal ini diperburuk lagi dengan upaya mengabaikan nilai-nilai pluralisme, dan humanisme di lingkungan sekolah.
Jika demikian yang terjadi, tentu sekolah itu adalah anarkis, karena sekolah hanya menyiapkan siswa-siswa yang hanya berpikir sektrian, yang lambat-laun akan memicu para siswa untuk melakukan tindakan huru-hara, akibat sering terjadinya disharmonisasi dilingkungan sekolah. Hal ini dilakukan para siswa sebagai rasa ketidakpuasan mereka, dari tidak netralnya sekolah itu sendiri. Dalam posisi seperti ini, betapa sekolah telah mengingkari jati dirinya sebagai salah satu institusi vital, yang memiliki nilai-nilai luhur dalam upaya pencerdasan dan pencerahan rakyat. 
Tak pelak sekolah telah terperosok ke jurang nista, karena hanya menjadi semaian dari nilai-nilai anarkisme dan sektarianisme bagi para siswa. Akhirnya output dari sekolah itu sendiri gagal dalam menyamaikan nilai-nilai pluralisme, dan humanisme kepada para siswa. Tentu hal itu adalah raelitas sosial yang cukup memperihatinkan, karena sekolah yang mestinya menyamaikan nilai-nilai pluralisme, dan humanisme justru gagal menyamaikannya kepada para siswa. Kalau model sekolah seperti ini tetap dipertahankan, maka kita tidak bisa berharap banyak bagi upaya pencerdasan dan pencerahan rakyat.
Fenomena sekolah yang demikian oleh Ivan Illich (1982), yang populer melalui karya monumentalnya ; “Bebas dari Sekolah” mengatakan  sebagai anti edukasi terhadap masyarakat. Wajar jika dikatakan fenomena sekolah seperti itu. Karena realitas sosial masih menampatkan sekolah sebagai tempat belajar yang tidak lagi netral. Dimana sekolah memiliki hidden ideologi, yang tidak lagi mempunyai tujuan guna pencerdasan dan pencerahan rakyat, tapi sekolah telah tampil sebagai neo imprealisme, karena hanya menjadi wahana bagi penyamaian sektarianisme, yang pada akhirnya berbuah anarkisme.
Karena itu, mestinya sekolah netral bagi kepentingan pencerdasan dan pencerahan rakyat. Implementasi nilai-nilai yang netral ditengah-tengah proses belajar di sekolah, tentu akan menjadi pendorong utama bagi keberhasilan sekolah dalam upaya pencerahan, dan pencerdasan rakyat. Untuk itu, sekolah perlu dipandang sebagai tempat ideal dalam membentuk kepribadian, dan pengembangan seorang sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk keagamaan. 
Jika nilai-nilai ideal sekolah lebih dikedepankan dalam proses belajar di sekolah, maka sekolah tidak akan lagi anarkis, yang hanya menjadi semaian bagi huru-hara para siswa, tapi sebaliknya sekolah akan memiliki output yang positif dalam upaya pencerahan, dan pencerdasan rakyat, sekaligus akan memiliki output yang positif pula bagi tumbuhnya nilai-nilai pluralisme, dan humanisme dilingkungan sekolah. Karena itu, “tidak ada kata tidak” untuk memposisikan sekolah sebagai tempat belajar yang netral bagi para siswa.

Border

Oleh : M.J Latuconsina

Seseorang tidak bisa menolak menjadi Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa meminta untuk menjadi Jawa, Batak atau Melayu dan sebagainya. Predikat tersebut menjadi sesuatu yang taken for granted sedari awal penciptaan kelahiran.

Sukses pemekaran yang diraih suatu daerah menjadi daerah otonom baru, menjadi spirit awal bagi rakyat di daerah-daerah, yang sebelumnya termarginalkan dalam pembangunan, guna mengejar ketertinggalan pembangunan. Karena itu, ketika suatu daerah berhasil dimekarkan menjadi daerah otonom baru, hal itu menandakan kepercayaan yang diberikan pemerintah pusat, kepada daerah-daerah yang sebelumnya terpinggirkan dalam pembangunan, untuk mengatur dan mengurus rumah tanggahnya sendiri.
Dibalik sukses pemekaran yang dicapai suatu daerah menjadi daerah otonom baru tersebut, seringkali tidak diikuti dengan keberhasilan dalam menuntaskan berbagai problem, yang dihadapi daerah otonom baru tersebut pasca dimekarkan dari daerah induknya. Hal ini dikarenakan terdapat beragam persoalan, yang menghadang setelah daerah otonom baru itu dimekarkan, yakni ; polemik letak ibukota, minimnya aparatur pemerintahan, minimnya infrastruktur pemerintahan, kepala daerah, kepemilikan aset dan polemik tapal batas (border).     
Berbagai persoalan tersebut, adalah sedikit dari sejumlah problem, yang seringkali menimpa daerah otonom baru, baik itu di level kabupaten dan kota di beberapa daerah di tanah air. Munculnya  sejumlah problem ini, sering tidak dapat diantisipasi sejak awal oleh daerah, yang hendak dimekarkan menjadi daerah otonom baru. Pasalnya, euforia pemekaran yang menghinggapi aktor-aktor, yang memiliki kepentingan langsung dengan pemekaran tersebut, menjadi salah satu penyebab mereka lalai mengantisipasinya.
Yang terpikirkan oleh aktor-aktor tersebut, adalah dimekarkan dulu daerah mereka menjadi daerah otonom, baru berbagai persoalan itu dituntaskan dikemudian hari. Padahal, tanpa sadar sejumlah problem ini menjadi bom waktu, yang seringkali bergejolak dikemudian hari. Sehingga kerap berdampak terhadap disharmonisasi daerah induk dengan daerah yang baru dimekarkan tersebut. Apalagi daerah yang baru dimekarkan itu, selama  menjadi bagian dari wilayah daerah induk, merasa termarginalkan, tentu akan sangat rawan terjadinya disharmonisasi.
Hal ini diperburuk lagi dengan teritorialisasi identitas etnis, yang kerap menjadi penyebab suatu daerah dimekarkan menjadi daerah otonom baru dari daerah induknya. Tentu faktor ini akan rawan menyulut disharmonisasi, akibat beberapa problem yang menghinggapi daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut. Tak pelak politik identitas etnis, akan terbawa-bawa dalam sengketa antara daerah yang baru dimekarkan dengan daerah induknya. Fenomena seperti ini, sudah banyak terjadi di sejumlah daerah di tanah air.
Salah satu persoalan crucial, yang seringkali menimpa daerah otonom, yang baru dimekarkan adalah menyangkut border. Dimana daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut, kerap berseteru dengan daerah induknya menyangkut border. Apalagi terdapat basis etnis yang homogen dari aspek bahasa dan agama, yang kebetulan sebagian kecil terdistribusi mengikuti daerah induk, dan sebagian besar terdistribusi mengikuti daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut, tak pelak akan mudah memicu terjadinya disharmonisasi.
Pasalnya perasaan ‘kekitaan’ yang menghinggapi etnis, yang sebagian kecil terdistribusi mengikuti daerah induk, terhadap etnis mereka yang sebagian besar terdistribusi mengikuti daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut sulit terbendung. Akibatnya keinginan untuk bergabung dengan saudara-saudara mereka, yang se-etnis di daerah yang baru dimekarkan tersebut, sering menjadi penyebab konflik border antara daerah induk dan daerah otonom yang baru dimekarkan.   
Fenomena ini, menandai kesalahan interpretasi rakyat di daerah terhadap esensi dari pemekaran daerah otonom itu sendiri. Menyangkut fenomena ini, Daniel Sparringa (2007) dalam tulisannya yang berjudul;‘Transisi Demokrasi di Indonesia: Menstrukturkan Sebuah Peta Jalan Baru’ mengatakan bahwa, pembentukan daerah-daerah administratif di beberapa wilayah memperlihatkan sekaligus terjadinya teritorialisasi identitas. Teritorialisasi identitas sering merupakan awal dari regrouping kultur atas dasar wilayah yang dalam praktiknya dapat mengambil wajah terbentuknya daerah otonom.
Celakanya, muncul keinginan esklusif yang tumbuh secara alamiah dari etnis-etnis yang homogen dari aspek bahasa dan agama tersebut. Ditandai dengan keinginan mereka tetap menjadi satu, dan enggan tercerai-berai dari komunitas etnisnya. Sehingga tatkala pemerintah melalui DPR-RI mensahkan suatu daerah otonom baru, yang disertai dengan border administratif wilayahnya melalui undang-undang pemekaran, seringkali termentahkan. Yang terjadi adalah perlawanan dari etnis-etnis itu, dimana mereka menuntut kepada pemerintah, untuk bergabung dengan daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut.
Fenomena ini seakan mengugurkan kenyataan rill bahwa, kita inklusif dari aspek etnis. Selaku rakyat mestinya kita taat terhadap border administratif wilayah daerah otonom baru, dan daerah otonom lama, yang telah disahkan oleh DPR-RI melalui undang-undang pemekaran. Bukan karena perbedaan etnis lantas kita dapat berbuat sewenang-wenang, untuk kemudian melawan border administratif wilayah daerah otonom lama, yang telah disahkan oleh DPR-RI melalui undang-undang pemekaran, dengan mengatasnamakan ingin bergabung dengan daerah otonom yang baru dimekarkan tersebut.   
Cara-cara seperti ini, hanya akan membuat kita terbelenggu dalam nilai-nilai primordialisme sempit, dimana tidak menerima kenyataan rill bahwa, kita tercipta dari beragam etnis dan untuk itu kita perlu hidup bersama dalam suasana kemajemukan. Akan realitas kebhinekaan kita tersebut, Ubed Abdilah S (2002) dalam bukunya yang berjudul ; Politik Identitas Etnis, Pergulatan Tanda Tanpa Identitas lantas menyebutkan bahwa, kata etnis sendiri menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau kelompok.
Seseorang atau kelompok yang menjadi Jawa, Bugis, Sunda, Inggris, Belanda atau Afrika mendapat predikat-predikat itu tanpa disadari pada awalnya. Seseorang tidak bisa menolak menjadi Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa meminta untuk menjadi Jawa, Batak atau Melayu dan sebagainya. Predikat tersebut menjadi sesuatu yang taken for granted sedari awal penciptaan kelahiran.
Memaknai kemajemukan secara lahiriah tersebut, tentu jangan karena dilandasi ketidaksukaan terhadap elite di daerah otonom lama, yang berbeda secara etnis lantas secara vulgar kita melakukan perlawanan dengan lebih mengedepankan hard power, untuk meminta bergabung dengan daerah otonom baru, yang kebetulan masih memiliki ikatan etnis yang sama. Mestinya ketidaksukaan terhadap elite di daerah otonom lama, oleh rakyat yang tengah mendiami border administratif wilayah daerah otonom baru itu, dilakukan melalui mekanisme yang konstitusional lewat local election, dengan lebih mengedepankan soft power.     
Dimana jika dalam massa kepemimpinan elite di daerah otonom lama, rakyat tidak merasakan kesejahteraan dan ketentraman. Tentu rakyat memiliki otoritas penuh untuk kemudian melakukan evaluasi kritis terhadap pilihan politik mereka, dalam bentuk ’suara penghukuman’, untuk tidak memilih elite tersebut pada local election lima tahun berikutnya. Mekanisme seperti ini merupakan cara-cara yang konstitusional, dengan lebih mengutamakan nilai-nilai demokratis dalam tatanan kehidupan sosial kita. Ketimbang lebih mengedepankan hard power, yang hanya membuat kita terperangkap dalam mekanisme yang tidak demokratis.