Politik
energi pemerintah pusat sejak era pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, sampai
dengan era pemerintahan Orde Reformasi terhadap daerah, selalu menempatkan daerah pada posisi
yang tidak menguntungkan. Pasalnya berbagai eksploitasi energi yang dimiliki
daerah, yang dikonfersikan pengelolaannya menjadi rupiah, dan ditransfer hasil
pengelolaannya kepada pemerintah pusat, dan pemerintah daerah sering memberikan
porsi yang kecil bagi pemerintah daerah. Hal ini membawa konsekuensi negativ
terhadap daerah-daerah penghasil energi minyak bumi, dan gas (migas) seperti ;
Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Papua, dimana perkembangan kemajuan
pembangunan pada daerah-daerah ini, tidak pesat setara dengan kekayaan energi
migas yang dimiliki.
Akibat
dari kecilnya porsi perimbangan keuangan antara pemerintah pusat, dan
pemerintah daerah, tentu tidak bisa dijadikan sebagai self supporting bagi
pembangunan di daerah-daerah yang kaya akan energi migas tersebut. Atas
fenomena ini, Aryani (2012) dalam tulisannya yang berjudul “Konflik Energi dan Otonomi Daerah”
lantas menyebutkan bahwa, penerapan
desentralisasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Pemerintah Indonesia
juga menunjukkan pergerakan dinamis ke arah sentralisasi di satu sisi, dan
desentralisasi di sisi lainnya. Problem ini merupakan sesuatu yang paradoks
dengan spirit otonomi daerah, yang dihembuskan sejak bergulirnya reformasi di
tahun 1998 lalu.
Kondisi
ini lebih diperparah lagi dengan adanya korporasi antara pemerintah pusat, dan
perusahaan-perusahaan internasional, yang bergerak dalam eksploitasi migas seperti
; Exxon Mobil, Caltex, Royal Ducth Shell, Conoco-Philips, dan Chevron. Ironisnya,
korporasi diantara kedua aktor ini, justru lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan
internasional daripada pemerintah pusat, dimana mengeruk ladang-ladang migas kita
untuk menambah pundi-pundi kapital mereka. Di tingkat daerah, melalui
penguasaan energi migas oleh perusahaan-perusahaan internasional, juga
menyisahkan sedikit keuntungan bagi pemerintah daerah, yang memiliki potensi
migas. Fenomena ini, semakin mengukuhkan perusahaan-perusahaan internasional
tersebut, sebagai neo-imprealisme dalam penguasaan energi migas di tanah air.
Terlepas
dari itu, jika kita secara saksama melihat politik energi pemerintah pusat di daerah
Maluku, tentu tidak berbeda jauh dengan daerah Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan
Timur, dan daerah Papua, yang memiliki potensi energi migas yang melimpah. Hal
ini bisa kita lihat dari pengelolaan minyak bumi di Bula Kabupaten Seram Bagian
Timur. Pengelolaan minyak bumi di Bula Kabupaten Seram Bagian Timur, sudah
dilakukan sejak era pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, sampai dengan era
pemerintahan Orde Reformasi. Diantara perusahaan-perusahaan internasional yang
pernah mengelolah ladang minyak bumi di Bula yakni, Caltex, Santos, Kupec, dan
Charles.
Dalam
porsi penerimaan pertambangan minyak bumi, yang didapatkan Kabupaten Seram
Bagian Timur, dari pengelolaan minyak bumi di Bula, tentu kecil. Sebab kalau kita melihat porsi penerimaan
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah pada pasal 14 huruf (e) menyebutkan ; penerimaan
pertambangan minyak bumi, yang dihasilkan dari wilayah daerah, yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 84,5% (delapan puluh
empat setengah persen) untuk pemerintah ; dan 15,5% (lima belas setengah
persen) untuk daerah.
Sementara
itu pada Pasal 19 ayat (2) menyebutkan bahwa
dana bagi hasil dari pertambangan
minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (e) angka 2
sebesar 15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian 3% (tiga persen)
dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6% (enam persen) dibagikan untuk
kabupaten/kota penghasil, dan 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota
lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Dari regulasi ini, menunjukan adanya vertical
fiscal imbalance antara pemerintah pusat, dan
pemerintah daerah yang sangat tajam. Sehingga porsi yang didapatkan Bula
sebagai daerah penghasil minyak bumi, tidak bisa dijadikan sebagai self
supporting dalam pembangunan di daerah itu, apa yang kemudian terjadi daerah
kaya seperti Bula tetap miskin, ibarat tikus yang mati dilumbung padi. Ini tentu
merupakan sesuatu yang riskan sekaligus memprihatinkan.
Tidak
berbeda jauh dengan politik energi dari pemerintah pusat, politik perikanan dan kelautan sejak era pemerintahan
Orde Lama, Orde Baru, sampai dengan era pemerintahan Orde Reformasi terhadap daerah selalu menempatkan daerah
pada posisi yang tidak menguntungkan pula. Hal ini dikarenakan berbagai eksploitasi
perikanan, dan kelautan yang dimiliki daerah, yang dikonfersikan pengelolaannya
menjadi rupiah, dan ditransfer hasil pengelolaannya kepada pemerintah pusat,
dan pemerintah daerah sering memberikan porsi yang besar kepada pemerintah
pusat. Sementara daerah yang kaya akan potensi perikanan, dan kelautan mendapat
porsi yang kecil.
Dampak
dari porsi sektor perikanan, dan kelautan yang tidak berpihak kepada pemerintah
daerah tersebut, maka daerah-daerah yang memiliki potensi perikanan dan
kelautan seperti ; Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Bali, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Utara, Kepulauan Riau, dan Papua hingga saat ini belum menjadi tuan di daerahnya
sendiri, untuk kemudian mengelolah kekayaan perikanan dan kelautannya, dan
hasilnya dapat menjadi self supporting, yang digunakan untuk membiayai
pembangunan di daerah-daerah tersebut.
Secara
spesifik, kalau kita secara saksama melihat politik perikanan, dan kelautan
pemerintah pusat di daerah Maluku, tentu tidak berbeda jauh dengan daerah
Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Papua yang
kaya akan potensi perikanan dan kelautan. Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 18 ayat (4) menyebutkan ; kewenangan untuk mengelola
sumber daya di wilayah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas, dan/atau kearah perairan kepulauan untuk provinsi,
dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk pemerintah
kabupaten/kota.
Sehingga keluar dari 12 mil
tersebut, adalah kewenangan pemerintah pusat, yang
dikenal sebagai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Sebagai ekses dari penerapan
aturan main ini, maka sekitar 50% lebih potensi kekayaan laut yang dimiliki
Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian
Barat, yang terkandung di Laut Arafuru, Laut Banda ,dan Laut Seram masih dikelolah oleh pemerintah pusat. Meskipun hasil dari pengelolaan perikanan, dan kelautan di ketiga
laut tersebut dibagi lagi oleh pemerintah pusat kepada Kabupaten
Kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat,ternyata pembagian itu belum memuasakan ketiga daerah
tersebut.
Begitu
pula dengan regulasi armada penangkapan ikan, yang dioperasionalkan di Laut
Arafuru, Laut Banda ,dan Laut Seram yang kaya potensi perikanan dan kelautan, merupakan
urusan pemerintah pusat. Sebab ijin bagi kapal-kapal penangkapan ikan dengan
kapasitas 30 gros ton ke atas, yang akan dioperasionalkan pada ketiga laut itu,
merupakan kewenangan dari pemerintah pusat, melalui Departemen Perikanan dan
Kelautan. Dengan kondisi ini, maka Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Maluku
Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat, yang memiliki potensi perikanan, dan
kelautan tidak bisa berbuat banyak, karena tidak memiliki kewenangan melalui
dinas otonom terkait, untuk memberikan ijin bagi kapal-kapal penangkapan ikan,
dengan kapasitas 30 gros ton ke atas guna dioperasionalkan di ketiga laut
tersebut.
Terkait
dengan problem ini Khafid, (2001) dalam
artikelnya yang berjudul “Otonomi Daerah di Wilayah Laut Perspektif Pemerintah
Kabupaten” lantas mengatakan bahwa, selama ini laut belum bisa dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal oleh daerah. Hal ini disebabkan karena terbatasnya
kewenangan daerah, untuk melakukan pengelolaan wilayah laut. Berbagai
kewenangan yang berhubungan dengan pengelolaan, dan pemanfaatan wilayah laut
selama ini berada di tangan pusat.
Agar
ada perimbangan pengelolaan sumber daya energi migas, perikanan, dan kelautan
antara pemerintah pusat, dan pemerintah daerah secara proporsional, maka wakil
rakyat dari daerah Maluku yang duduk
sebagai anggota DPR, dan anggota DPD perlu mendorong dilakukannya revisi
secara komprehensif, terhadap berbagai regulasi pengelolaan sumber daya energi
migas, perikanan dan kelautan, yang merugikan kepentingan daerah Maluku. Hal
ini perlu juga didukung oleh elemen civil society di daerah Maluku seperti ;
lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi massa (ORMAS), organisasi
kepemudaan (OKP), dan organisasi kemahasiswaan untuk bersatu-padu mengajukan
judicial reviuw terhadap berbagai regulasi pengelolaan sumber daya energi
migas, perikanan dan kelautan, yang tidak berpihak kepada kepentingan daerah Maluku
di Mahkamah Konstitusi (MK).