Kamis, 05 Juli 2012

Politik Energi, Perikanan, dan Kelautan


Politik energi pemerintah pusat sejak era pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, sampai dengan era pemerintahan Orde Reformasi terhadap  daerah, selalu menempatkan daerah pada posisi yang tidak menguntungkan. Pasalnya berbagai eksploitasi energi yang dimiliki daerah, yang dikonfersikan pengelolaannya menjadi rupiah, dan ditransfer hasil pengelolaannya kepada pemerintah pusat, dan pemerintah daerah sering memberikan porsi yang kecil bagi pemerintah daerah. Hal ini membawa konsekuensi negativ terhadap daerah-daerah penghasil energi minyak bumi, dan gas (migas) seperti ; Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Papua, dimana perkembangan kemajuan pembangunan pada daerah-daerah ini, tidak pesat setara dengan kekayaan energi migas yang dimiliki.
Akibat dari kecilnya porsi perimbangan keuangan antara pemerintah pusat, dan pemerintah daerah, tentu tidak bisa dijadikan sebagai self supporting bagi pembangunan di daerah-daerah yang kaya akan energi migas tersebut. Atas fenomena ini, Aryani (2012) dalam tulisannya yang  berjudul “Konflik Energi dan Otonomi Daerah” lantas menyebutkan bahwa,  penerapan desentralisasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Pemerintah Indonesia juga menunjukkan pergerakan dinamis ke arah sentralisasi di satu sisi, dan desentralisasi di sisi lainnya. Problem ini merupakan sesuatu yang paradoks dengan spirit otonomi daerah, yang dihembuskan sejak bergulirnya reformasi di tahun 1998 lalu.
Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan adanya korporasi antara pemerintah pusat, dan perusahaan-perusahaan internasional, yang bergerak dalam eksploitasi migas seperti ; Exxon Mobil, Caltex, Royal Ducth Shell, Conoco-Philips, dan Chevron. Ironisnya, korporasi diantara kedua aktor ini, justru lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional daripada pemerintah pusat, dimana mengeruk ladang-ladang migas kita untuk menambah pundi-pundi kapital mereka. Di tingkat daerah, melalui penguasaan energi migas oleh perusahaan-perusahaan internasional, juga menyisahkan sedikit keuntungan bagi pemerintah daerah, yang memiliki potensi migas. Fenomena ini, semakin mengukuhkan perusahaan-perusahaan internasional tersebut, sebagai neo-imprealisme dalam penguasaan energi migas di tanah air.
Terlepas dari itu, jika kita secara saksama melihat politik energi pemerintah pusat di daerah Maluku, tentu tidak berbeda jauh dengan daerah Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan daerah Papua, yang memiliki potensi energi migas yang melimpah. Hal ini bisa kita lihat dari pengelolaan minyak bumi di Bula Kabupaten Seram Bagian Timur. Pengelolaan minyak bumi di Bula Kabupaten Seram Bagian Timur, sudah dilakukan sejak era pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, sampai dengan era pemerintahan Orde Reformasi. Diantara perusahaan-perusahaan internasional yang pernah mengelolah ladang minyak bumi di Bula yakni, Caltex, Santos, Kupec, dan Charles.    
Dalam porsi penerimaan pertambangan minyak bumi, yang didapatkan Kabupaten Seram Bagian Timur, dari pengelolaan minyak bumi di Bula, tentu kecil.  Sebab kalau kita melihat porsi penerimaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah pada pasal 14 huruf (e) menyebutkan ; penerimaan pertambangan minyak bumi, yang dihasilkan dari wilayah daerah, yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk pemerintah ; dan 15,5% (lima belas setengah persen) untuk daerah.
Sementara itu pada Pasal 19 ayat (2) menyebutkan bahwa  dana bagi hasil dari pertambangan  minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (e) angka 2 sebesar 15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Dari regulasi ini, menunjukan adanya vertical fiscal imbalance antara pemerintah pusat, dan  pemerintah daerah yang sangat tajam. Sehingga porsi yang didapatkan Bula sebagai daerah penghasil minyak bumi, tidak bisa dijadikan sebagai self supporting dalam pembangunan di daerah itu, apa yang kemudian terjadi daerah kaya seperti Bula tetap miskin, ibarat tikus yang mati dilumbung padi. Ini tentu merupakan sesuatu yang riskan sekaligus memprihatinkan.
Tidak berbeda jauh dengan politik energi dari pemerintah pusat, politik  perikanan dan kelautan sejak era pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, sampai dengan era pemerintahan Orde Reformasi  terhadap daerah selalu menempatkan daerah pada posisi yang tidak menguntungkan pula. Hal ini dikarenakan berbagai eksploitasi perikanan, dan kelautan yang dimiliki daerah, yang dikonfersikan pengelolaannya menjadi rupiah, dan ditransfer hasil pengelolaannya kepada pemerintah pusat, dan pemerintah daerah sering memberikan porsi yang besar kepada pemerintah pusat. Sementara daerah yang kaya akan potensi perikanan, dan kelautan mendapat porsi yang kecil.
Dampak dari porsi sektor perikanan, dan kelautan yang tidak berpihak kepada pemerintah daerah tersebut, maka daerah-daerah yang memiliki potensi perikanan dan kelautan seperti ; Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Papua hingga saat ini belum menjadi tuan di daerahnya sendiri, untuk kemudian mengelolah kekayaan perikanan dan kelautannya, dan hasilnya dapat menjadi self supporting, yang digunakan untuk membiayai pembangunan di daerah-daerah tersebut.
Secara spesifik, kalau kita secara saksama melihat politik perikanan, dan kelautan pemerintah pusat di daerah Maluku, tentu tidak berbeda jauh dengan daerah Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,  Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Papua yang kaya akan potensi perikanan dan kelautan. Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  Tentang Pemerintahan Daerah  Pasal 18 ayat (4) menyebutkan ;  kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas, dan/atau kearah perairan kepulauan untuk provinsi, dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk pemerintah kabupaten/kota.
Sehingga keluar dari 12 mil tersebut, adalah kewenangan pemerintah pusat, yang dikenal sebagai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Sebagai ekses dari penerapan aturan main ini, maka sekitar 50% lebih potensi kekayaan laut yang dimiliki Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat, yang terkandung di Laut Arafuru, Laut Banda ,dan Laut Seram masih dikelolah oleh pemerintah pusat. Meskipun hasil dari pengelolaan perikanan, dan kelautan di ketiga laut tersebut dibagi lagi oleh pemerintah pusat kepada Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat,ternyata pembagian itu belum memuasakan ketiga daerah tersebut.
Begitu pula dengan regulasi armada penangkapan ikan, yang dioperasionalkan di Laut Arafuru, Laut Banda ,dan Laut Seram yang kaya potensi perikanan dan kelautan, merupakan urusan pemerintah pusat. Sebab ijin bagi kapal-kapal penangkapan ikan dengan kapasitas 30 gros ton ke atas, yang akan dioperasionalkan pada ketiga laut itu, merupakan kewenangan dari pemerintah pusat, melalui Departemen Perikanan dan Kelautan. Dengan kondisi ini, maka Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat, yang memiliki potensi perikanan, dan kelautan tidak bisa berbuat banyak, karena tidak memiliki kewenangan melalui dinas otonom terkait, untuk memberikan ijin bagi kapal-kapal penangkapan ikan, dengan kapasitas 30 gros ton ke atas guna dioperasionalkan di ketiga laut tersebut.
Terkait dengan problem ini  Khafid, (2001) dalam artikelnya yang berjudul “Otonomi Daerah di Wilayah Laut Perspektif Pemerintah Kabupaten” lantas mengatakan bahwa, selama ini laut belum bisa dikelola dan dimanfaatkan secara optimal oleh daerah. Hal ini disebabkan karena terbatasnya kewenangan daerah, untuk melakukan pengelolaan wilayah laut. Berbagai kewenangan yang berhubungan dengan pengelolaan, dan pemanfaatan wilayah laut selama ini berada di tangan pusat.
Agar ada perimbangan pengelolaan sumber daya energi migas, perikanan, dan kelautan antara pemerintah pusat, dan pemerintah daerah secara proporsional, maka wakil rakyat dari daerah Maluku yang duduk  sebagai anggota DPR, dan anggota DPD perlu mendorong dilakukannya revisi secara komprehensif, terhadap berbagai regulasi pengelolaan sumber daya energi migas, perikanan dan kelautan, yang merugikan kepentingan daerah Maluku. Hal ini perlu juga didukung oleh elemen civil society di daerah Maluku seperti ; lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi massa (ORMAS), organisasi kepemudaan (OKP), dan organisasi kemahasiswaan untuk bersatu-padu mengajukan judicial reviuw terhadap berbagai regulasi pengelolaan sumber daya energi migas, perikanan dan kelautan, yang tidak berpihak kepada kepentingan daerah Maluku di Mahkamah Konstitusi (MK).