Rabu, 08 April 2009

Memotret Indonesia Dari Maluku

Oleh: M. J Latuconsina 


Pasca reformasi, bangsa Indonesia tersentak oleh kemerdekaan Timor Leste. Kejatuhan rejim otoriter Orde Baru pada Mei 1998, membuat komunitas masyarakat yang mendiami Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai rung politik yang lebih terbuka dan lebih demokratis. Isu-isu keterbukaan politik dan kesejahteraan muncul ke permukaan setelah puluhan tahun terpendam.Ditengah terciptanya ruang politik yang lebih terbuka dan lebih demokratis pasca reformasi tersebut, turut dirasakan rakyat di Provinsi Maluku. Pasalnya rakyat lebih bebas melakukan aktifitas politik tanpa perlu merasa was-was, seperti di era Orde Baru. Sayangnya kondisi politik itu tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1999 terjadi konflik kemunal di Ambon yang menyebar ke berbagai daerah di Maluku.
Dalam keadaan yang tidak pasti ini, jelas tidak ada investor, baik asing maupun domestik yang mau menamkan modalnya. Maka ekonomi kita pun berjalan dengan semboyan asal mengambang saja. Tidak ada gairah untuk membuatnya bergerak maju dengan penanaman-penanaman modal baru yang bisa berkembang di masa mendatang. Hasilnya banyak orang kehilangan pekerjaan, sementara harga kebutuhan hidup semakin meningkat.(Arif Budiman, 2006).Apalagi posisi Maluku yang berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI), menjadikan daerah ini semakin sulit untuk bangkit mengejar ketertinggalan pembangunan pasca konflik kemunal tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya keseriusan dari pemerintah pusat dalam mensuport upaya rehabilitasi, rekonstruksi dan recovery Maluku pasca konflik kemanusiaan.
Bahkan provinsi yang turut melahirkan nation state Indonesia ini, mesti menerima kenyataan pahit. Pasalnya masih tertinggal jauh dalam proses pembangunan, jika dibandingkan dengan provinsi lainnya yang bersama-sama melahirkan nation state Indonesia di tahun 1945 lampau. Tidak sebandingnya kemajuan pembangunan yang dialami Provinsi Maluku yang merupakan salah satu provinsi di KTI dengan provinsi yang berada di Kawasan Indonesia Barat (KBI), disebabkan beberapa indikator; 
Pertama, investasi nasional dan internasional yang menekankan pada efesiensi biaya sebagian besar masih terpusat di KBI, karena kawasan ini mempunyai daya beli yang tinggi secara individual maupun secara kolektif-sosial, kedua, investasi pemerintah dalam sektor prasarana (baik untuk pembangunan maupun pemeliharaan) pun kemudian lebih banyak diarahkan untuk daerah-daerah yang secara nyata menunjukan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. 
Ketiga, manajemen pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah secara umum memang tidak diarahkan untuk memajukan perekonomian KTI secara substansial dan kempat, dari sudut pandang kebijakan ekonomi nasional yang mementingkan pertumbuhan dan kurang mementingkan pemerataan, paradigma pertumbuhan ekonomi telah menjebak pemerintah, swasta dan masyarakat dengan berbagai makro dan mengabaikan realitas-realitas mikro.(Djijowiyoto,2003).
Akibatnya, ketertinggalan pembangunan yang dialami Maluku, juga merupakan bagian dari ketertinggalan pembangunan di tanah air. Untuk itu, upaya memotret Indonesia dari Maluku adalah suatu cara melihat nation state Indonesia dari Maluku, dan merupakan mekanisme guna menakar kemajuan pembangunan Indonesia di Maluku sekaligus bagian dari upaya untuk memberikan label model negara Indonesia dari Maluku. 
Dalam perspektif governability apa yang dialami Provinsi Maluku, menandakan tidak adanya kemampuan negara untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods), seperti rasa aman, peneggakan supremasi hukum, pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang maksimal. Padahal political goods merupakan kewajiban negara untuk menyediakannya. 
Terlepas dari itu, upaya memotret Indonesia dari daerah sekaligus pelabelan model negara Indonesia dari daerah bukan merupakan hal yang baru diulas. Pasalnya dalam study politik Indonesia, para ilmuan politik ditanah air, sering melakukan riset untuk memotret Indonesia dari berbagai daerah. Hal ini dilakukan sebagai upaya melihat Indonesia secara utuh, sehingga tak ada kesan bahwa Jakarta adalah Indonesia semata. Tapi Maluku, Papua, Nusa Tenggara, Aceh dan Riau Kepulauan adalah potret Indonesia, yang masih mengalami ketertinggalan pembangunan.
Governability Sebagai Instrumen Memotret Maluku
Governability merupakan instrumen untuk memotret Indonesia dari Maluku. Oleh karena itu untuk memotret Indonesia dari Maluku perlu diketahui apa itu Governability? Menurut Pratikno dan Lay (2006) Governability adalah kapasitas negara bangsa untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods), dimana hirarki barang-barang politik menyangkut: 
Tabel 1
Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
No. Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
1. Keamanan (fungsi monopoli negara) yang bisa dilakukan melalui; mencegah invasi asing, mengeliminasi ancaman domestik yang mengacam tatanan sosial, mencegah kriminalitas dan mengelola perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif.  
2. Tata hukum sebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk
3. pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata
4. Pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata
5. Penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi
6. Sistim uang dan perbankan yang stabil
7. Kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang kondusif
8.Tersedianya ruang publik (publik shere) yang menjamin; hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi, respek dan menyokong institusi politik nasional dan regional, toleran terhadap perbedaan, hak-hak dasar sipil dan asasi serta
9. Pengawasan dan pengaturan lingkungan
  Sumber data; Pratikno, Lay, 2007
Identifikasi Label Negara Indonesia dari Maluku
Terlepas dari itu, apakah memotret Indonesia dari Maluku masuk dalam kategori strong state, weak state, failed state, collapsed state, quasi states, de facto states, sadow states? atau terdapat pelabelan baru dalam memotret Indonesia dari Maluku? Berikut ini paparkan kondisi rill Indonesia dari Maluku melalui menyediakan barang-barang politik (political goods).  
Pertama, keamanan (fungsi monopoli negara), dimana kondisi keamanan di Maluku relatif kondusif sejak tahun 2005 lalu, dan ini sudah mengalami pemulihan yang pesat sejak konflik komunal yang melanda daerah ini di tahun 1999 lalu. Bahkan dalam rangka mencegah invasi asing di Indonesia melalui Maluku, TNI-AD telah menempatkan satuan setingkat kompi di Pulau Wetar, yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, yang ditindaklanjuti lagi dengan penyediaan armada TNI-AL untuk melakukan pengamanan di perairan yang berbatasan langsung dengan Timor Lesta.
Begitu-pun Polri dan TNI di Provinsi Maluku dari waktu ke waktu senantiasa berupaya mengeliminasi ancaman domestik yang mengacam tatanan sosial melalui peningkatan pemeliharaan keamanan. Sehingga angka gangguan keamanan di daerah ini dapat dikendalikan. Namun dalam pegelolaan perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif, adalah problem yang krusial, sebab bukan perkara yang mudah untuk mengelolahnya. Pasalnya rakyat Maluku pasca konflik masih rentan dengan perbedaan kepentingan berdasarkan komunalnya. 
Kedua, tata hukum sebagai standar peerilaku yang meregulasi interaksi penduduk, dimana Dalam implementasi yang rill pasca konflik komunal di Maluku, tata hukum sebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk senantiasa dikedepankan oleh pemerintah daerah. Hal ini dilakukan demi terciptanya stabilitas keamanan. Kendati demikian disadari masih terdapat tata hukum belum dipatuhi oleh rakyat. Indikatornya dapat dilihat dari banyaknya kasus korupsi,yang belum dituntaskan dimeha hijau. 
Ketiga, dalam pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata, pemerintah daerah selalu berupaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi rakyat di daerah ini. Kendati demikian upaya ini sering menemui kendala. Apalagi luas Maluku yang mencapai 658.294 km2, tentu bukan merupakan perkara gampang, karena sebagian rakyat mendiami daerah terpencil yang tersebar di Pulau Buru, Pulau Seram, Aru dan Selatan Daya. Akibanya masih terdapat seperempat penduduk Maluku yang belum terakses pelayanan kesehatan. 
Apalagi angka kemiskinan di Maluku yang mencapai 46% dari total 1,3 juta jiwa penduduk, tentu merupakan problem yang krusial, sebab rakyat tidak memiliki kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan disebabkan minimnya pendapatan mereka. Hal ini diperburuk dengan pelayanan kesehatan yang masih enggan berpihak kepada rakyat miskin di daerah seribu pulau ini.
Keempat, dalam pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata, pemerintah daerah selalu berupaya untuk meningkatkan pelayanan pendidikan di Maluku. Namun saat konflik sarana-prasarana pendidikan banyak yang mengalami kerusakan, sehingga pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata bagi rakyat di daerah ini masih jauh dari harapan, tapi dari waktu ke waktu pemerintah daerah senantiasa berupaya untuk memenuhinya.
Kemudian posisi geografis Maluku menjadi kendala bagi tercapainya pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata. Para guru masih enggan mengabdi di daerah terpencil di daerah ini. Begitu pun fasilitas pendidikan mayoritas berada di kota kecamatan. Bagi daerah terpencil yang masih sulit dibangun fasilitas pendidikan, hal itu berkaitan dengan minimnya jumlah siswa-siswi, yang merupakan syarat pendirian gedung sekolah. Akibatnya mereka membanjiri ibukota kecamatan/desa tetangga yang memiliki fasilitas pendidikan.
Kelima, penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi merupakan faktor vital bagi penunjang pembangunan di Maluku. Namun sayangnya belum maksimal, apalagi ketika konflik komunal di tahun 1999 lalu, turut berimbas pada kerusakan infrastruktur dasar tersebut, karena pemeliharaan jalan terbengkalai dan banyak sarana komunikasi yang rusak. Kendati demikian pasca konflik pemerintah daerah secara terus menerus berupaya memenuhi penyediaan infrastruktur dasar tersebut. 
Keenam, untuk sistim uang dan perbankan di Maluku relatif stabil. Pasalnya sistem uang dan perbankan di daerah ini mengikuti pemerintah pusat. Sehingga jika terdapat kestabilan pada sistim uang dan perbankan di Jakarta, akan berimplikasi positif pada Provinsi Maluku. Namun jika sebaliknya kondisi sistim uang dan perbankan nasional tidak stabil akibat gejolak politik, maka akan berdampak pula pada provinsi Maluku.
Ketujuh, kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang kondusif di Maluku tetap terbuka. Malah pasca konflik pemerintah daerah gencar melakukan promosi tentang prospek menjalankan bisnis di Maluku. Tapi sayangnya lingkungan bisnis di Maluku secara umum belum begitu kondusif. Hal ini disebabkan masih enggannya investor demestik dan mancanegara milirik Maluku, dikarenakan kekuatiran mereka akan kondisi Maluku pasca konflik yang masih rentan konflik komunal. 
Kedelapan, tersedianya ruang publik (publik shere), yang mencakup hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi di Maluku tetap terbuka lebar, kendati demikian secara jujur diakui bahwa hak untuk berpartisipasi dan berkompetsi di Maluku masih saja di warnai semangat primordialisme yang menjadi faktor penghambat. 
Tapi pada satu sisi rakyat Maluku sangat respek dan menyokong institusi politik nasional dan regional. Misalnya partisipasi rakyat menjadi anggota partai begitu besar, yang ditandai dengan peningkatan partisipasi mereka untuk menjadi calon anggota DPR dan DPRD, dalam tiap kali Pemilu yang digelar di republik ini.
Akan tetapi terdapat catatan kritis menyangkut toleran terhadap perbedaan. Pasalnya rakyat Maluku dalam interaksi sebagain besar masih saja tersegregasi atas perbedaan suku, agama dan ras. Meski pada tataran riil tidak nampak, namun hal ini menjadi laten yang suatu saat masih menjadi ancaman untuk terciptanya konflik komunal lagi. Bahkan untuk hak-hak dasar sipil dan asasi belum bisa dipenuhi oleh pemerintah daerah. Misalnya hak rakyat untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak belum juga direalisasikan pemerintah pasca konflik. 
Kesembilan, pengawasan dan pengaturan lingkungan, meskipun sudah ada regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyangkut pengawasan dan pengaturan lingkungan. Tapi fakta membuktikan di Provinsi Maluku justru terjadi kerusakan lingkungan yang kronis. Di laut Banda dan Aru para nelayan domestik maupun mancanegara yang melakukan penangkapan ikan sudah sampai pada tahap over fhising. Cara-cara seperti ini sudah dalam tahap yang sangat menguatirkan.
Menurut Pratikono (2006), jika berbagai kerusakan alam dibiarkan secara terus menerus berlangsung, tanpa adanya upaya pemerintah dalam melakukan proses pengawasan dan pengaturan lingkungan, akan berdampak terhadap rusaknya lingkungan sosial dan psyical, yang sudah tentu akan mengancam keberlangsungah suatu negara.
Label Negara Indonesia dari Maluku
Penyediaan barang-barang politik (political goods) oleh negera di Provinsi Maluku ternyata belum terpenuhi secara maksimal. Sejumlah political goods yang belum dapat direalisasikan negara secara maksimal di Provinsi Maluku seperti yang tertera dalam tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2
Kategori Hirarki Barang-Barang Politik 
Yang Belum Dapat Direalisasikan Negara di Maluku
No. Kategori Hirarki Barang-Barang Politik
1. Keamanan (fungsi monopoli negara) yang bisa dilakukan melalui; belum terkelolanya perbedaan kepentingan didalam masyarakat tanpa kekuatan koeresif
2. Pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata
3. Pelayanan pendidikan yang terjangkau dan merata
4. tidak memadainya penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi
5. Kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang belum kondusif,
6. Belum tersedianya ruang publik (publik shere) yang menjamin : hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi, toleran terhadap perbedaan, hak-hak dasar sipil dan asasi
7. Tidak maksimlanya pengawasan dan pengaturan lingkungan
  Sumber data; dari berbagai sumber, 2007
Berdasarkan identifikasi minimya penyediaan barang-barang politik (political goods) oleh pemerintah di Maluku seperti yang disebutkan itu, maka memotret Indonesia dari Maluku dikategorikan sebagai negara yang hampir bubar (The State Almost Collapsed). Pelabelan baru ini tentu senantiasa disesuaikan dengan kondisi rill di Provinsi Maluku saat ini dan bukan merupakan pelabelan yang sifatnya subyektif. 
Kondisi Maluku yang demikian, relevan dengan pendapat Haryadi (2003) bahwa, hidup berpemerintahan yang justru meningkatkan derajat penderitaan, hanya akan menimbulkan kecenderungan pengingkaran dan anti-pati kepada lembaga-lembaga pemerintahan. Bahkan lebih jauh lagi, dapat mengikis komitmen hidup sebagai suatu bangsa. 
Terlepas dari itu, krisis yang dialami Provinsi Maluku di tahun 1999 lalu, turut berdampak terhadap komitmen hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga rawan terhadap munculnya separatisme, yang senantiasa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu diperparah dengan nasib rakyat yang masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Tak pelak mereka sering mengkambinghitamkan pemerintah, akibat ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan political goods.
Untuk memperbaiki posisi Indonesia dari Maluku yang masuk labelisasi The State Almost Collapsed ke strong state? Hal ini bukan merupakan perkara yang gampang-gampang saja. Paling tidak pemerintah perlu berupaya secara maksimal, untuk penyediaan barang-barang politik (political goods). Sebab ini merupakan upaya terbaik untuk mengeluarkan negara ini dari kehancuran. 
Oleh karena itu bukan saja peran pemerintah daerah, tapi pemerintah pusat perlu memberikan perhatian yang serius bagi pembangunan di Provinsi Maluku. Sehingga melalui upaya ini akan mampu merekonstruksi, merecovery sekaligus merehabilitasi Maluku pasca konflik kemanusiaan. Selain itu, melalui cara ini, ada rasa optimisme bahwa political goods di Maluku akan tercapai.

Politik Pencitraan Maluku

Oleh; M.J Latuconsina


Awal tahun 1999 adalah tahun paling kelam dalam sejarah pembangunan di Maluku. Pasalnya konflik komunal yang melanda Ambon, menyebar ke berbagai daerah di Maluku. Akibatnya lebih dari 7 ribu orang kehilangan nyawa dan memaksa hampir 600 ribu atau 1/3 penduduknya menyandang predikat pengungsi. Hal ini turut berimbas terhadap anjloknya PDRB Maluku yang mencapai 25% dan terus menunjukan perkembangan negatif hingga akhir 2002. Perkembangan negatif ini turut meningkatkan angka kemiskinan hingga 32,13%. Namun dimulai pada tahun 2003, PDRB Maluku meningkat tipis dari 4.8 juta mencapai 5 juta.
 Kurang lebih delapan tahun Maluku sudah meninggalkan kenangan buruk konflik horizontal, yang menyebabkan Maluku mengalami keterpurukan dalam berbagai bidang. Tindaklanjut recovery, rekonstruksi dan rehabilitasi Maluku pasca konflik begitu gencar di lakukan oleh pemerintah daerah, sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan sekaligus mengembalikan citra Maluku yang senantiasa hidup dalam balutan pela-gandong, larvul ngabal dan kalwedo-kidabela, yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) dalam merajut kemajemukan sosial budaya orang Maluku.
 Bahkan untuk merealisasikan recovery, rekonstruksi dan rehabilitasi Maluku pasca konflik tersebut, pemerintah pusat di era Presiden Megawati Soekarno Putri pun mengeluarkan Instruksi Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Percepatan Pemulihan Pembangunan Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Hal ini menunjukan adanya itikad baik dari pemerintah pusat dalam memperhatikan pembangunan di Maluku setelah konflik komunal.
 Terlepas dari itu, kondusifnya Maluku adalah modal vital sebagai starting awal bagi pemerintah daerah Maluku untuk merecovery, merekonstruksi dan merehabilitasi Maluku pasca konflik. Sehingga berbagai kebijakan pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah sosial seperti; pengungsi, pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang merupakan kebutuhan rakyat senantiasa lebih dikedepankan. Sebab keempat masalah ini setelah konflik sangat membutuhkan penanganan serius dari pemerintah daerah.
 Untuk itu, dalam rangka menyebarluaskan kondisi Maluku yang kondusif setelah konflik, sekaligus untuk menumbuhkan kepercayaan publik domestik dan mancanegara terhadap kondisi Maluku saat ini, ditindaklanjuti dengan beragam statemen pejabat publik, baik itu dari institusi sipil maupun dari instutusi milter di daerah ini pada media masa bahwa Maluku telah kondusif, sehingga menimbulkan kepercayaan publik di level domestik dan mancanegara tentang kondisi terkini Maluku.
Misalnya petinggi Polri di daerah ini sebulan yang lalu, pernah mengimbau kepada Departemen Luar Negeri (Deplu) RI agar dapat menjelaskan kepada negara-negara sahabat terutama; AS, Eropa, dan Jepang bahwa kondisi Maluku saat ini sudah aman, menyusul meredanya konflik sosial sejak 19 Januari 1999. Pasalnya Deplu RI memiliki kewenangan untuk memutuskan kondisi wilayah di RI apakah aman/ tidak untuk dapat dikunjungi, terutama bagi warga mancanegara, baik itu dubes negara sahabat maupun investor, LSM internasional, dan wisman.
Oleh sebab itu, "warna merah" di peta keamanan Deplu RI sudah saatnya dihapus agar tidak menjadi alasan bagi dubes, pengusaha, LSM internasional, dan wisman untuk merasa takut berkunjung ke Maluku. Jika "warna merah” di peta Deplu RI masih tetap dipertahankan, berarti Maluku masih dalam status yang tidak kondusif. Sehingga dapat berdampak terhadap enggannya para diplomat, investor, LSM internasional dan wisman untuk berkunjung ke Maluku.(Republika, 14/2/07). 
Politik Pencitraan Maluku
 Statemen pejabat publik tersebut didukung juga oleh pemberitaan media masa yang mengekspos kondisi Maluku yang sudah semakin kondusif. Sehingga tercapai sinergitas antara apa yang dibeberkan oleh pejabat publik dengan kondisi rill Maluku yang memang benar-benar telah kondusif dan bukan merupakan statemen yang sengaja di lontarkan tanpa fakta riil. Oleh karena itu, apa yang di upayakan oleh pemerintah daerah dan berbagai institusi terkait tersebut merupakan bagian dari politik pencitraan Maluku.
 Politik pencitraan Maluku itu ditindaklanjuti dengan dukungan penuh pemerintah daerah Maluku dalam berbagai kegiatan nasional seperti; Rapat Gubernur se-Indonesia, Konas GMKI, Muktamar IMM, Muktamar PII, pertemuan KNPI 7 Provinsi Kepulauan di Kota Ambon. Bias dari event nasional tersebut, merupakan upaya untuk mempromosikan kondisi Maluku yang semakin kondusif. 
 Oleh karena itu, kondusifnya Maluku merupakan modal vital guna mengejar ketertinggalan pembangunan yang dialami daerah ini, sekaligus merupakan sinergitas dari rencana strategi pembangunan Maluku, yang saat ini berada pada tahapan persaingan berkelanjutan. Sehingga upaya untuk mengembalikan Maluku kearah yang lebih baik dapat tercapai sesuai dengan target yang sudah diprogramkan oleh pemerintah daerah.
 Namun tindaklanjut politik pencitraan Maluku, bukan merupakan perkara yang gampang-gampang saja, tanpa dukungan rakyat tentu sia-sia apa yang diupayakan oleh pemerintah daerah bersama instansi terkait. Pasalnya rakyat merupakan elemen vital dalam mendukung politik pencitraan Maluku tersebut. Oleh sebab itu, agar implementasi politik pencitraan ini mendapat dukungan penuh dari rakyat, maka berbagai problem yang dialami rakyat pasca konflik mestinya dapat dituntaskan oleh pemerintah daerah.
 Diantara berbagai persoalan yang dimaksud yakni; masalah pengungsian, pengangguran dan kemiskinan yang masih relativ tinggi di daerah ini. Ketiga permasalahan yang krusial ini, mestinya mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah bersama instansi terkait dapat menyelesaiakannya. Sebab ketiga hal ini menjadi kendala yang serius kearah penciptaan Maluku yang kondusif sekaligus menjadi hambatan bagi realisasi politik pencitraan Maluku yang sedang didengung-dengungkan oleh pemerintah daerah.  
Jika ketiga masalah yang urgen ini dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah dan instansi terkait, maka akan menjadi motifasi yang positif bagi politik pencitraan Maluku di level domestik dan mancanegara. Sehingga optimisme penciptaan Maluku yang kondusif diharapkan akan tercapai, sekaligus upaya mencapai Maluku dalam tahapan persaingan berkelanjutan yang dicanangkan oleh pemerintah daerah Maluku dapat direalisasikan dengan baik, demi kesejahteraan rakyat di daerah seribu pulau ini.

Caleg yang Marketable

Oleh; M.J Latuconsina


 Partai politik, merupakan institusi politik yang memiliki salah satu fungsi sebagai sarana rekrutmen politik, guna menghasilkan calon-calon pimpinan politik, untuk dipersiapkan menduduki jabatan legislatif dan eksekutif melalui pemilu. Melalui rekrutmen politik, juga akan menjamin kontinuitas partai politik, dan kelestraian partai politik.[1] Karena itu, menghadapi pemilu yang akan digelar pada tahun 2009 mendatang, partai politik di level pengurus provinsi dan kabupaten/kota di Maluku memiliki kewajiban melakukan proses rekrutmen politik, untuk mengajukan pengurus partai politik, sebagai calon anggota legislatif (caleg).
  Dalam proses rekrutmen politik, terdapat dua mekanisme yang biasanya ditempuh oleh pengurus partai politik, pada level provinsi dan kabupaten/kota di Maluku, yakni ; Pertama, merekrut caleg dari internal partai politik. Dalam mekanisme ini, partai politik mengakomodasi kader partai politik yang menjadi pengurus partai politik, untuk direkrut sebagai caleg. Kedua, merekrut caleg dari eksternal partai politik. Dalam mekanisme ini, partai politik mengakomodasi non kader partai politik, yang tidak menjadi pengurus partai politik untuk direkrut sebagai caleg.
Caleg yang Marketable
Dalam proses rekrutmen caleg yang dilakukan oleh partai politik, baik secara internal dan eksternal tersebut, partai politik tidak hanya mempertimbangkan seorang caleg memiliki syarat kapasitas (kemampuan pribadi), akseptabilitas (dapat diterima masyarakat) dan memiliki syarat akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan kinerjanya) semata. Namun lebih dari itu, seorang caleg perlu memiliki syarat marketable (harus layak jual) kepada konstituen selaku konsumen.
 Jika mengacu pada pendekatan political marketing (pemasaran politik), maka, caleg yang marketable tersebut, tentu tidak semata-mata akan mengantungkan keberutungannya pada nomor topi, yang selama ini sering menjadi rebutan para pengurus partai politik dalam proses rekrutmen caleg. Namun biar dipasang pada nomor urut sepatu-pun, tidak menjadi problem bagi caleg yang memiliki kualifikasi marketable, sejauh caleg itu laris dijual kepada para konstituen.  
 Proses seorang caleg yang marketable, untuk menjadi anggota legsilatif, lebih ditentukan oleh mekanisme pasar politik. Dimana konstituen yang berlaku sebagai konsumen, memilih caleg yang berlaku sebagai produk politik partai, yang dinilai akan memuaskan kebutuhan politik mereka. Kebutuhan politik yang dimaksud adalah, kemampuan dari caleg yang marketable tersebut, mampu merealisasikan janji-janji politiknya kepada para konstituen, ketika benar-benar terpilih dan duduk sebagai anggota legislatif.  
 Meminjam pendapat Susanto (2008), bahwa pemilih mempunyai seperangkat ciri (atribut) kebijakan yang dinginkan. Jika ciri-ciri kebijakan yang dijanjikan politikus ”klop” dengan harapan pemilih, terbentuklah kepuasan tingkat pertama yang disebut attribute-based satisfaction. Tentu saja pemilih tidak hanya berhenti sebatas janji. Mereka mengharapkan implementasi janji itu secara konstisten. Jika kondisi itu terpenuhi, maka lahirlah kepuasan tingkat kedua yang disebut consequence based satisfaction. Tingkat tertinggi adalah goal-based satisfaction. Kepuasan ini tercipta jika maksud dan tujuan pemilih terpenuhi.
Pemilu 2009 merupakan arena politik, dimana tidak pernah akan sepi dari persaingan antara masing-masing caleg, untuk memperebutkan simpati konstituen sebanyak-banyaknya. Para caleg tentu akan tampil semaksimalnya untuk meraih kemenangan dalam Pemilu 2009, sehingga bisa menduduki kursi legislatif. Dalam persaingan itu, menuntut para caleg yang berlaku sebagai produk politik partai, untuk mampu membaca selera konstituen selaku konsumen, sehingga para caleg tersebut bisa laris dipasaran.
Karena itu, kalau caleg yang ingin meraih sura terbanyak dalam Pemilu 2009, dituntut memiliki syarat marketable kepada para konstituen yang berlaku sebagai konsumen. Sehingga, bagi para caleg yang marketable jika ingin laris di pasar politik, perlu berupaya maksimal dalam mendesain program, yang paling disukai oleh para konstituen. Efeknya tidak lain adalah menarik konstituen sebanyak-banyaknya untuk mencoblos mereka dalam pemilu.
Caleg marketable dalam mendesain program yang akan dijual kepada para konstituen, mempunyai target yang hendak dicapai, tatkala program itu disampaikan kepada para konstituen. Target itu adalah kesuksesan menarik suara konstituen sebanyak-banyaknya. Namun dalam menarik suara konstituen, caleg yang marketable perlu memfokuskan pada potensi sumber suara pendukung politik, dengan strategi membangun image. Pasalnya image, yang baik akan turut berpengaruh terhadap prefrensi politik pemilih, untuk kemudian memilih caleg yang marketable tersebut. 
Mendesain Program
Bagi caleg yang marketable, yang akan berkontestasi dalam Pemilu 2009, memiliki optimisme tersendiri, agar para konstituen dapat memilih mereka sebanyak-banyaknya. Sehingga dapat menjadi tiket untuk melangkah mulus ke kursi legislatif di level provinsi dan kabupaten/kota di Maluku. Akan tetapi upaya ini tidak-lah gampang, karena membutuhkan kreatifitas dari para caleg yang marketable, dalam mendesain program-program yang akan dipasarkan kepada para konstituen.
Dalam merancang program-program kepada para konstituen, para caleg yang marketable tidak bisa mendesain program-program secara sepihak, tanpa mempedulikan konstituen mereka. Karena itu dalam merancang program-program tersebut, para caleg yang marketable perlu melibatkan para konstituen, yang merupakan bagian dari segmentasi dukungan mereka. Sehingga tatkala program-program itu, diimplementasikan dapat tepat pada sasarannya.  
Proses melibatkan konstituen itu, menurut Firmanzah (2007), melalui dua cara, yaitu langsung atau-pun tidak langsung. Melibatkan konstituen secara langsung misalnya dengan mengajak mereka berdialog, observasi langsung ke lapangan, diskusi, tatap muka dan hadir ditengah-tengah keresahan masyarakat. Sedangkan pelibatan konstituen secara tidak langsung dapat dilakukan melalui hasil polling dan analisis media massa (seperti koran, radio, TV).
 Fenomena yang terjadi selama ini, justru banyak caleg dalam merancang programnya tidak terlalu melibatkan rakyat. Hal ini terjadi karena, para caleg lebih bersandar pada pemilih “pelanggan tetap”, dari pemilu ke pemilu. Dimana merupakan pemilih sosiologis dan psikologis. Padahal jika mereka mendesain program, dengan melibatkan rakyat, tentu para caleg telah melakukan ekspansi untuk menjaring suara konstituen diluar pemilih “pelanggan tetap” tersebut.
Karena itu, jika caleg yang marketable dapat merancang programnya dengan melibatkan rakyat, tentu akan memudahkan akuntabilitas caleg yang marketable tersebut, dalam implementasi programnya kepada para konstituen, tatkala dikemudian hari benar-benar terpilih dan duduk sebagai anggota legislatif. Melalui mekanisme ini, tentu akan tercipta persepsi yang positif dari para konstituen, bahwa mereka dipedulikan oleh caleg yang marketable, dengan melibatkan mereka dalam menyusun program caleg. Sehingga disinilah akan tercipta jargon “dari wakil rakyat untuk rakyat, dan dari rakyat untuk wakil rakyat.” Dimana bukan sekedar slogan, dalam menyambut pesta demokrasi lima tahunan, tapi benar-benar terealisasi demi kepentingan konstituen.

Kota Ambon Dalam Lanskap Serve State

Oleh : M. J Latuconsina


  Guna meningkatkan pelayanan publik sangat dibutuhkan aparatur pemerintahan yang berkualitas. Oleh karena itu pendidikan dan latihan (diklat) merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) aparatur pemerintahan yang handal, sehingga mampu terpenuhinya aparatur pemerintahan yang disiplin sekaligus mampu melaksanakan tugasnya secara berdaya guna dan berhasil guna.
  Tidak terkecuali Kota Ambon yang merupakan barometer kemajuan pelayanan publik di Maluku, senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan. Melalui pemenuhan kualitas SDM aparatur pemerintahan, diharapkan akan memiliki kemampuan pikir yang tinggi dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Oleh karena itu, kualitas SDM aparatur pemerintahan memiliki peran yang strategis dalam rangka meningkatkan pelayanan publik di Kota Ambon.
  Selain itu, SDM aparatur pemerintahan yang berkualitas di Kota Ambon adalah penopang bagi pencapaian manajemen pemerintahan yang akuntabel. Sebab kualitas aparatur pemerintahan menjadi kunci bagi terbangunnya kembali kepercayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang amanah. Sehingga aparatur pemerintahan sebagai penyelenggara roda pemerintahan dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja, dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.
  Oleh karena itu, pengembangan kualitas sumber daya aparatur pemerintahan didasarkan pada tiga aspek sebagai human capital, yang meliputi: Intelectual capital, Social capital dan Soft capital. Dimana pembangunan bidang aparatur negara mengandung empat misi utama yakni : (1) mewujudkan penyelenggara negara yang profesional, (2) mengembangkan etika birokrasi dan budaya kerja yang transparan, (3) akuntabel, peka dan tanggap terhadap aspirasi masyarakat dan (4) mewujudkan sistem manajemen pelayanan publik yang cepat, tepat dan memuaskan. (Masdar, 2005).
  Kemudian untuk mengahasilkan aparatur pemerintahan yang berkualitas, maka dalam pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menyebutkan bahwa: untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar – besarnya diadakan pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan dan latihan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan dan ketrampilan. 
  Hal ini menunjukan bahwa, pemerintah telah berupaya mengambil kebijaksanaan dalam mengantisipasi mutu kualitas aparatur yang ada dalam suatu instansi agar lebih profesional dan lebih mandiri. Kemudian dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa: Daerah berwenang mengelolah sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
  Menindaklanjuti aturan main tersebut, pemerintah Kota Ambon perlu berupaya secara terus menerus meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan melalui diklat. Melalui upaya ini merupakan mekanisme untuk memacu kinerja aparatur pemerintahan. Sehingga melalui partisipasi para aparatur pemerintahan dalam diklat, diharapkan akan dapat meningkatkan pengetahuan, disiplin dan kemampuan mereka dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.
  Dalam perspektif Governability, jika terdapat sosok aparatur pemerintahan mampu meningkatkan kinerja mereka, yang akhirnya berdampak terhadap kepuasan publik maka Kota Ambon akan masuk dalam lanskap Serve State, yakni fungsi negara adalah mermaksimlakan peran untuk melayani rakyat dengan kebutuhan barang-barang politik (political goods), sekaligus memberikan kepuasan kepada rakyat melalui pelayanan publik, yang mampu direalisasikan oleh aparat pemerintahah. 
  Kemudian dalam Serve State negara berperan melayani rakyat dengan kebutuhan barang-barang politik (political goods), sekaligus memberikan kepuasan kepada rakyat melalui pelayanan publik, yang dilakukan oleh aparat birokrat, dimana ciri-cirinya mencakup: (1) mampu melayani rakyat dengan baik, (2) kesejahteraan rakyat diperhatikan, (3) pelayanan birokrasi yang memadai dan (4) penciptaan pemerintah yang berwibawa.  
  Terlepas dari itu, terdapat banyak jenis pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, khususnya yang diletakan dalam konteks kebijakan publik yang dapat berbentuk distributif, redistributif, dan regulatif. Namun, secara generik, pelayanan yang diberikan kepada pemerintah dibagi menjadi tiga, mencakup: (1) pelayanan primer, yaitu pelayanan yang paling mendasar,(2) pelayanan sekunder, yaitu pelayanan pendukung namun bersifat kelompok spesifik dan (3) pelayanan tersier, yaitu pelayanan yang berhubungan secara tidak langsung kepada publik. (Djijowiyoto,2003)
  Menurut Djijowiyoto (2003), pelayanan primer atau pelayanan paling mendasar pada hakikatnya ada pada pelayanan minimum. Secara sederhana, terdapat tiga pelayanan minimum yang dilakukan pemerintah, yaitu: (1) pelayanan kewarganegaraan, (2) pelayanan kesehatan, (3) pelayanan pendidikan dan (4) pelayanan ekonomi. Pemberian pelayanan minimum atau dasar adalah tugas pokok yang diemban oleh pemerintah, dan menjadi tolak ukur kinerja pemerintah. Sehingga keberhasilan pelayanan minimum atau dasar ini membutuhkan adanya aparatur yang mampu mengimplementasikannya dalam kinerja pada instansi tempat mereka bekerja. 
Bahkan pelayanan minimumsebagai bagian dari hak azasi manusia merupakan kewajiban negara yang tak dapat ditawar-tawar lagi, dimana sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Dalam level lokal pemerintah Kota Ambon, senantiasa berupaya menyediaan aparatur pemerintahanyang berkualitas dalam upaya merealisasikan pelayanan minimum itu. Dalam obeservasi penulis upaya pemenuhan pelayanan dasar yang dilakukan pemerintah Kota Ambon mencakup;
  Pertama, pelayanan kewarganegaraan yang terkait dengan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga Kota Ambon mulai ditingkatkan sejak tahun 2005, dimana pembuatan KTP telah dialihkan dari Kantor Kelurahan ke Kantor Kecamatan. Mereka yang mengajukan pembuatan KTP adalah warga Kota Ambon dengan terlebih dahulu menunjukan pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada aparatur pemerintahan di tingkat kecamatan. Begitu pun dalam pengurusan surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), yang diajukan warga Kota Ambon di Dinas Tata Kota, dikenai syarat bahwa, keberadaan tanah yang hendak dilakukan aktivitas pembangunan rumah/gedung adalah sah kepemilikannya dan pendirian bangunan gedung/rumah harus sesuai dengan pengembangan tata ruang Kota Ambon. 
  Kedua, pelayanan kesehatan merupakan hal yang paling urgen. Di Kota Ambon pelayanan kesehatan, pasca konflik kemanusiaan senantiasa mendapat perthatian sirius dari pemerintah Kota Ambon melalui Dinas Kesehatan. Bahkan bagi warga Kota Ambon yang masih mendiami barak-barak pengungsian senantiasa diberikan pelayanan kesehatan yang maksimal kepada mereka. Upaya Dinas Kesehatan Kota Ambon tersebut tidak sia-sia. Sebab sampai saat ini tidak ada wabah penyakit seperti gizi buruk, malaria, demam berdarah dan berbagai jenis penyakit lainnya menyerang warga Kota Ambon sampai pada level Kejadian Luar Biasa (KLB). 
  Perhatian pemerintah Kota Ambon dalam peningkatan pelayanan kesehatan tersebut, tidak terlepas dari dengan dukungan penuh fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan tenaga medis yang memadai, sehingga pemerintah Kota Ambon secara dini dapat mengatisipasi berbagai ancaman wabah penyakit yang setiap saat dapat mengancam kesehatan warga Kota Ambon.
  Ketiga, pelayanan pendidikan di Kota Ambon tetap ditingkatkan. Meskipun saat konflik puluhan fasilitas pendidikan di Kota Ambon hangus terbakar oleh amuk konflik komunal, namun sejak tahun 2001, pemerintah Kota Ambon bersama dinas terkait mulai perlahan-lahan merekonstruksi sejumlah fasilitas pendidikan itu. Bahkan pemerintah Kota Ambon di bawa kepemimpinan Walikota M.J Papilaja mulai melakukan pembebasan biaya SPP kepada siswa-siswa dilingkup Sekolah Dasar (SD), dimana pada waktu yang akan datang akan dilakukan juga pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
  Untuk tenaga pendidik, sekolah-sekolah di Kota Ambon sudah bisa terpenuhi, pasalnya pemerintah Kota Ambon merekrut puluhan guru kontrak untuk sementara diperbantukan pada sekola-sekolah yang ada pada wilayah administratif Kota Ambon, sambil kedepan meningkatkan status mereka menjadi PNS. Upaya yang dilakukan pemerintah Kota Ambon ini dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM), yang kualitasnya menurun sejak konflik di tahun 1999 lalu.
  Keempat, pelayanan ekonomi dari waktu ke waktu senantiasa dtingkatkan pemerintah Kota Ambon. Hal ini bisa dilihat dengan upaya pemerintah Kota Ambon mempromosikan peluang berinvestasi di Kota Ambon. Sehingga akan menarik investor domestik maupun mancanegara. Kemudian para pengusaha keturunan Cina, Bugis, Makasar, Buton dan Sumatera yang hengkang akibat konflik kemanusiaan pada berbagai daerah di tanah air, saat ini sudah kembali ke Kota Ambon untuk menjalankan usahanya seperti sebelum terjadinya konflik, sehingga perekonomian Kota Ambon semakin bergeliat.
  Begitu juga kebutuhan sembilan bahan pokok mudah dijangkau oleh warga Kota Ambon, tidak seperti saat konflik dimana harga sembilan bahan pokok melambung tinggi karena mengalami kelangkaan di pasaran lokal. Semua ini terjadi, berkat upaya pemerintah Kota Ambon bersama dinas terkait yang secara intens melakukan operasi pasar guna mengontrol harga sembilan bahan pokok. Sehingga para pedagang tidak menainkan harga sembilan bahan pokok demi keuntungan mereka dan merugikan warga Kota Ambon.
  Seiring dengan meredahnya konflik komunal, pemerintah Kota Ambon bersama sejumlah instansi terkait mulai bahu-membahu untuk meningkatkan pelayanan dasar tersebut. Hal dilakukan sebagai bagian dari upaya rekonstruksi, recovery dan rehabilitasi Kota Ambon pasca konflik kemanusiaan. Dalam perspektif governability, hal ini menunjukan bahwa terdapat upaya serius yang dilakukan negara untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods) di Kota Ambon, yang mencakup; pelayanan kewarganegaraan, kesehatan pendidikan dan ekonomi. 

RMS dan Defisit Political Goods

Oleh; M.J Latuconsina


Awal tahun 1999 adalah tahun paling kelam dalam sejarah pembangunan di Maluku. Pasalnya konflik horizontal yang melanda Ambon, menyebar ke berbagai daerah di Maluku. Akibatnya lebih dari 7 ribu orang kehilangan nyawa dan memaksa hampir 600 ribu atau 1/3 penduduknya menyandang predikat pengungsi. Hal ini turut berimbas terhadap anjloknya PDRB Maluku yang mencapai 25% dan terus menunjukan perkembangan negatif hingga akhir 2002. Perkembangan negatif ini turut meningkatkan angka kemiskinan hingga 32,13%. Namun dimulai pada tahun 2003, PDRB Maluku meningkat tipis dari 4.8 juta mencapai 5 juta.(Karmen, 2007)
 Kurang lebih delapan tahun Maluku sudah meninggalkan kenangan buruk konflik horizontal, yang menyebabkan Maluku mengalami keterpurukan dalam berbagai bidang. Tindaklanjut recovery, rekonstruksi dan rehabilitasi Maluku pasca konflik begitu gencar di lakukan oleh pemerintah daerah, sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan sekaligus mengembalikan citra Maluku yang senantiasa hidup dalam balutan pela-gandong, larwul ngabal dan kalwedo-kidabela, yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) dalam merajut kemajemukan sosial budaya orang Maluku.
 Guna merealisasikan recovery, rekonstruksi dan rehabilitasi Maluku pasca konflik tersebut, pemerintah pusat di era Presiden Megawati Soekarno Putri pun mengeluarkan Instruksi Nomor 6 Tahun 2003, Tentang Percepatan Pemulihan Pembangunan Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Hal ini menunjukan adanya itikad baik dari pemerintah pusat dalam memperhatikan pembangunan di Provinsi Maluku setelah konflik horizontal tersebut.
 Terlepas dari itu, kondusifnya Maluku adalah modal vital sebagai starting awal bagi pemerintah daerah Maluku untuk merecovery, merekonstruksi dan merehabilitasi Maluku pasca konflik. Sehingga berbagai kebijakan pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah sosial seperti; pengungsi, pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang merupakan kebutuhan rakyat kecil senantiasa lebih dikedepankan. Sebab keempat masalah ini setelah konflik sangat membutuhkan penanganan serius dari pemerintah daerah.
RMS dan Defisit Political Goods 
 Sayangnya berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat di Maluku tersebut, lagi-lagi mengalami problem yang serius. Problem yang serius, hadir tatkala kasus tarian cakalele yang dilakoni aktifis gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang tidak diagendakan dalam acara Hari Keluarga Nasional (Harganas) memasuki lapangan Merdeka pada 29 Juni 2007 lalu, sambil membetangkan bendera RMS (Banang Raja) dihadapan mata Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
 Peristiwa ini, tentu sangat mengejutkan publik di level lokal dan nasional. Betapa ketatnya pengamanan Harganas yang dihadiri oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, tapi para aktifis gerakan separatis RMS tersebut, dapat lolos memasuki area perayaan Harganas, tanpa mengalami pemeriksaan oleh aparat keamanan. Lalu siapa lagi yang disalahkan dalam kasus ini?, tentu lagi-lagi aparat keamanan yang dinilai lemah saat mengamankan Harganas tersebut. 
 Begitulah fenomena aktifitas gerakan separatis di berbagai negara dibelahan dunia, mulai dari Quebec, Catalonia, Zapatista,Macan Tamil, Moro, OPM hingga RMS senantiasa menggunakan berbagai cara yang tepat untuk memancing opini public dunia internasional, yang bertujuan menarik simpati dunia internasional guna mendukung gerakan pemisahan mereka, dari negara yang mereka diami. Padahal dalam tinjauan hukum ketatanegaraan tidak dibenarkan adanya negara dalam negara.(state in state)
Dalam perspektif governability/kapasitas negara bangsa untuk mengelola dan menyediakan barang-barang politik (political goods), dimana hirarki barang-barang politik menyangkut keamanan (fungsi monopoli negara) dilakukan melalui; upaya mengeliminasi ancaman domestik. Khususnya yang dialami Provinsi Maluku, terkait dengan sering terjadinya pengibaran bendera oleh gerakan separatis RMS, menandakan tidak adanya kemampuan negara untuk mengelola dan menyediakan political goods, seperti rasa aman di Maluku. (Pratikno dan Lay,2006).  
Oleh karena itu, intensitas pengibaran bendera RMS dari tahun ke tahun, tanpa adanya penyelesaian masalah ini secara komprehensif oleh aparat keamanan, menandakan Provinsi Maluku mengalami defisit political goods, yang terkait dengan penyediaan rasa aman. Sehingga menempatkan Provinsi Maluku sebagai salah satu daerah di Indonesia yang lemah dalam penananganan bidang keamanan, selain provinsi tetangga Papua dan Papua Barat, yang sering juga menjadi tempat bagi aktifitas gerakan saparatis Papua Merdeka (OPM).
Padahal jika merunut gerakan-gerakan separatis serupa yang pernah terjadi diberbagai daerah di tanah air seperti; DI/TII Kartosuwiryo (1942-1962), DI/TII Kahar Muzakar (1951-1965), DI/TII Daud Beureueh (1953-1962), dan PRRI/Permesta (1957-1961).(Tempo,2003) Aparat keamanan mampu menuntaskan gerakan-gerakan separatis ter sebut. Lain halnya dengan RMS (1950-1963), meskipun Soumokil tokoh gerakan separatis ini dapat ditangkap pada 2 Desember 1963 dan selanjutnya dijatuhi hukuman mati.(Tempo,2003). Namun rupanya gerakan separatis ini tidak pernah surut dalam melakukan aksinya. 
Dalam perspektif governance dan manajemen konflik politik, Zartman (1997) mengatakan bahwa, konflik bisa diatur dengan berbagai cara dan di kategorikan dalam beberapa dimensi berbeda,..(conflicts can be managed in a myriad of ways, and categorize along different dimensions,...). Oleh karena itu, penuntasan masalah gerakan separatis RMS perlu ditangani secara serius oleh pemerintah, sehingga jangan sampai gerakan separatis ini, dari hari ke hari intensitas gerakannya samakin meningkat, tentu hal ini membahayakan integritas keutuhan RI.
  Jika saja pada waktu-waktu yang akan datang, tidak ada itikad serius dari pemerintah melalui aparat keamanan untuk menuntaskan masalah gerakan separatis RMS di Maluku, tentu terdapat kekuatiran bahwa, posisi Indonesia dari Maluku perlahan-lahan akan masuk labelisasi negara yang hampir bubar (the state almost finished). Labelisasi ini bukan an-sich persoalan lemahnya penanganan sektor keamanan semata, namun terdapat indiktor-indiktor lainnya yang turut menopangnya antara lain;
Pertama, pelayanan kesehatan yang belum terjangkau dan merata, kedua, pelayanan pendidikan yang belum terjangkau dan merata, ketiga tidak memadainya penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi, keempat, kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis yang belum kondusif, kelima, belum tersedianya ruang publik (publik shere) yang menjamin: hak untuk berpartisipasi dan berkompetisi, toleran terhadap perbedaan, hak-hak dasar sipil dan asasi. Dan keenam, tidak optimalnya pengawasan dan pengaturan lingkungan.

Kemiskinan Bagian Dari Revivalisasi Idiologi (Tanggapan Untuk Darul Kutni Tuhepaly)

Oleh; M.J Latuconsina


Pada tanggal 29 Juni 2007 lalu, Provinsi Maluku mendapat kepercayaan dari pemerintah Jakarta sebagai tuan rumah Hari Keluarga Nasional (Harganas). Acara ini, cukup meriah, meskipun Kota Ambon tengah diguyur hujan deras. Sayangnya, moment nasional ini akhirnya ternodai, dengan kasus tarian cakalele yang dilakukan aktifis gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), yang tidak diagendakan dalam acara Harganas kemudian memasuki lapangan Merdeka, sambil membentangkan bendera RMS (Banang Raja) dihadapan mata Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
 Peristiwa ini, sempat mendapat perhatian publik di tingkat lokal, nasional dan internasional. Betapa ketatnya pengamanan Harganas yang dihadiri oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, tapi para aktifis gerakan separatis RMS tersebut, dapat lolos memasuki area perayaan Harganas, tanpa mengalami pemeriksaan oleh aparat keamanan. Lalu siapa lagi yang disalahkan dalam kasus ini?, tentu lagi-lagi aparat keamanan yang dinilai lemah saat mengamankan Harganas. 
Bisa diduga RMS telah memiliki gerakan klandestin (gerakan bawah tanah), yang berupaya masuk dalam struktur birokrasi pemerintahan dan struktur aparat keamanan di daerah ini. Sehingga mereka dengan mudah melakukan aktifitas separatis bertepatan dengan moment nasional tersebut, tanpa menemui kendala. Bukankah hal yang sama pernah di lakukan Fretelin (Frente Revolucionaria Timor Leste Independente), dengan gerakan klandestin-nya di Timor Leste saat diduduki Indonesia, sehingga segala aktifitas Fretelin dapat berjalan dengan mulus, untuk mencuri perhatian publik internasional.
Dalam mendiskripsikan kasus separatisme tersebut, Darul Kutni Tuhepaly pada tulisannya di harian ini pertama-tama meminjam analogi salah seorang rekannya di DPRD, menyangkut kasus China, bahwa; Saat pengaruh komunis begitu besar di China, rakyat negara tirai bambu itu sangat miskin, namun sekarang coba lihat ekonomi China tumbuh pesat. Ini disebabkan pendekatan yang dipakai pemerintah, adalah pengentasan kemiskinan dan lebih fokus pada pembangunan ekonomi. (Ameks, 7/6/07).
Tuhepaly-pun mengatakan, analogi yang digunakan rekannya, cukup membingungkan kalau dipakai untuk menjelaskan bagaimana pemerintah harus mengatasi gerakan separatis. Pertama, China yang komunis sampai saat ini tetap komunis, argumen ini saya sepakat. Namun pada argumen yang kedua, Tuhepaly menyebutkan tidak terdapat gerakan separatis di China, tentu hal ini cukup mengagetkan. Sebab publik internasional, hingga saat ini tidak menutup mata dengan perjuangan Dalai Lama, pimpinan Tibet yang sampai saat ini masih berada di pengasingan. 
Tokoh spritual ini, tetap komitmen dengan perjuangannya untuk memisahkan Tibet dari China, sejak 1950 tatkala rezim Komunis Republik Rakyat China (RRC) melebarkan hegemoninya di Tibet. Lewat kekerasan pada musim rontok 1951 pasukan RRC berhasil menguasi ibukota Lhasa, sekaligus mendongkel Dalai Lama, pimpinan negara dan tokoh religi utama Tibet. Oleh karena itu, dalam rangka melakukan upaya pemisahan (separatis) dari RRC Gompo Tashi Andrugtsang (51) kemudian mendirikan kelompok perlawanan Chusi Gandrug.(Angkasa,XXIV). 
Kemiskinan&Revivalisasi Idiologi
Selanjutnya, Tuhepaly kembali menyentil pendapat rekannya di DPRD bahwa, Desa Aboru yang miskin menjadi salah satu faktor munculnya laten RMS disana. Dia mengambarkan begitu miskinnya orang Aboru. Tapi perlu di catat, sampai saat ini tidak pernah di Maluku Tengah dilanda kemiskinan. Kalau kemudian orang merasa miskin dan mencari idiologi lain, katakanlah RMS seperti yang dicontohkan rekan saya, lalu bagaimana dengan orang MTB sana atau SBT sana?.(Ameks, 7/6/07).
Dalam argumen yang dikemukakan rekan Tuhepaly di DPRD itu, terdapat salah satu point bahwa, di MTB sejak negara ini merdeka ada desa yang tidak menikmati terangnya lampu listrik, kemiskinan yang merenggut nyawa anak-anak di daerah itu, dan desa yang sangat tertinggal. Tapi apakah masyarakat di dua kabupaten itu pernah sekali mengibarkan bendera RMS, atau berencana mengganti idiologinya menjadi separatis? Khan tidak. Jadi persoalan kemiskinan di desa Aboru tidak bisa dijadikan juga sebagai salah satu indikator kenapa mereka harus mengibarkan bendera RMS.(Ameks, 7/6/07). 
Argumen ini tentu sah-sah saja, tapi menurut saya kemiskinan merupakan bagian dari penopang revivalisasi (kebangkitan) idiologi lain, dan bukan semata-mata menjadi faktor beralihnya rakyat ke idiologi lain. Kalau di MTB dan SBT terdapat orang yang miskin tidak beralih idiologi, tentu ini adalah argumen yang cukup realistis. Namun kita jangan lupa bahwa, kondisi sosio-kultur dan politik MTB dan SBT berbeda dengan Desa Aboru. Oleh karena itu, kita perlu meneropong sejarah masalah lalu, bahwa terdapat pentolan gerakan separatis RMS (1950-1963) yang berasal dari Desa Aboru. Bukan tidak mungkin idiologi RMS yang diusung oleh generasi-genersi terdahulu, kembali terwariskan pada generasi-generasi berikutnya.
Berbeda dengan MTB dan SBT, pada dua daerah tidak terdapat sama sekali pengikut idiologis gerakan separatis RMS, sehingga biarpun dikedua daerah ini menderita kemiskinan, mereka tidak akan dengan mudah tergiur beralih ke idiologi lain. Sehingga menurut saya, selain faktor kemiskinan, faktor pengalaman historis generasi-generasi terdahulu dalam gerakan separatis RMS, turut menjadi sprit romantisme dari generasi-generasi mudah saat ini untuk merivalisasi gerakan New RMS di Maluku, melalui aktifitas pengibaran bendera.
Dalam konteks ini, bukan tergantung idiologi separatis RMS yang sudah tertanam dalam memori mereka, dan bukan juga karena mereka yang sering mengibarkan bendera RMS dari waktu ke waktu, tidak ingin sejahtera. Namun dibutuhkan keseriusan pemerintah daerah dan pusat untuk mampu mengelola (manajemen) konflik-konflik politik, yang intensitasnya dari tahun ke tahun meningkat hanya karena pengibaran bendera RMS. 
Mencuatnya gerakan separatis RMS bukan baru hadir saat ini, tapi melalui proses yang panjang. Tidak mungkin hanya karena HUT RMS 25 April dan bertepatan dengan datangnya presiden RI, lalu mereka mengibarkan bendera RMS. Tentu terdapat penyebab-penyebab lain mengapa aktifitas mereka dapat hadir kembali pasca reformasi? Pertama, konflik horizontal di tahun 1999 lalu, memberikan celah bagi kahadiran gerakan ini, kedua, lemahnya perhatian aparat keamanan terhadap aktifitas gerakan ini, dan ketiga, kemiskinan menjadi bagian dari revivalisasi gerakan ini, pada kantong-kantong idiologis RMS di pulau Ambon, dan Lease.
Lantas mengapa gerakan-gerakan separatis serupa yang pernah terjadi diberbagai daerah di tanah air seperti; DI/TII Kartosuwiryo (1942-1962), DI/TII Kahar Muzakar (1951-1965), DI/TII Daud Beureueh (1953-1962), dan PRRI/Permesta (1957-1961)(Tempo,2003), dapat dituntaskan oleh aparat keamanan? Tentu terdapat ketidak-seriusan dari aparat keamanan untuk menuntaskannya. Padahal awalnya, aparat keamanan mampu menangkap Soumokil tokoh gerakan separatis RMS (1950-1963) pada 2 Desember 1963 dan selanjutnya dijatuhi hukuman mati.(Tempo,2003). Namun rupanya gerakan separatis ini tidak pernah surut dalam melakukan aksinya.
Meminjam pendapat Rizal Pangabean (2007), bahwa dari aspek governance dan manajemen konflik politik, konflik itu tetap ada sepanjang waktu, namun harus di kelola. Pengelolaan konflik itu bisa melalui jalur formal dan non formal. Jalur formal melalui institusi penegak hukum; pengadilan dan kepolisian. Non formal melalui; lembaga-lembaga adat di level lokal. Sudakah upaya-upaya manajemen konflik politik itu diterapkan secara serius oleh pemerintah daerah, dan pemerintah pusat untuk menuntaskan gerakan seperatis RMS? Tentu belum.
Padahal apa yang dilakukan pemerintah di Aceh dan Papua, melalui pemberian otonomi khusus, adalah bagian dari manajemen konflik politik. Sehingga bisa menyurutkan gerakan-gerakan separatis yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun untuk RMS, pemerintah perlu mencari formula yang tepat untuk memanajnya. Saat ini RMS memang kecil, tapi dikemudian hari bisa saja gerakannya menjadi besar, sehingga bisa menjadi kasus yang diinternasionalisasi oleh pihak-pihak yang bersimpati dengan mereka. Bukankah GAM dan OPM berawal dari gerakan-gerakan yang tidak seberapa besar, namun akhirnya menjadi besar, karena dianggap sebelah mata oleh pemerintah.
Oleh karena itu, saya kira, idiologi separatisme akan dengan sendirinya surut, jika kemudian pemerintah daerah dan pemerintah pusat mampu menyediakan political goods (barang-barang politik) yang memadai. Dalam perspektif governability/kapasitas negara bangsa untuk mengelola dan menyediakan political goods, dimana hirarki political goods menyangkut keamanan (fungsi monopoli negara), salah satu diantara dilakukan melalui; upaya mengeliminasi ancaman domestik. (Pratikno&Lay,2006). Khususnya yang dialami Maluku, terkait dengan sering terjadinya pengibaran bendera oleh gerakan separatis RMS, menandakan tidak adanya kemampuan negara untuk mengelola dan menyediakan political goods, seperti rasa aman dan penegakkan hukum di Maluku.

Budaya Politik Parokial

Oleh: M.J Latuconsina

 Klimkas dari proses pemilukada Maluku telah berakhir 9 Juli 2008 lalu, keingin-tahuan rakyat di daerah ini menyangkut siapa calon gubernur (cagub), dan calon wakil gubernur (cawagub), yang bakal memenangkan pemilukada Maluku sudah terpenuhi. Sehingga tidak terdapat lagi kasuk-kusuk di tengah-tengah rakyat, menyangkut cagub dan cawagub yang memiliki kans, untuk memenangkan pemilukada Maluku. 
Tahapan berikut dari proses pemilukada Maluku, adalah menanti proses pelantikan cagub dan cawagub terpilih. Sehingga, bagi cagub dan cawagub yang memenangkan pemilukada Maluku, tentu akan menyambut proses pelantikan tersebut, dengan penuh antusiasme. Pasalnya proses pelantikan itu, merupakan puncak dari kemenangan yang diraih cagub dan cawagub tersebut dalam pemilukada Maluku. 
 Setelah cagub dan cawagub terpilih, dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur Maluku, tentu rakyat menaruh harapan besar agar visi dan misi mereka benar-benar dapat direalisasikan kepada rakyat, melalui program kerja yang rill. Karena itu, selaku cagub dan cawagub terpilih jika kelak menjalankan roda pemerintahan, perlu berupaya semaksimalnya untuk dapat merealisasikan visi, dan misi mereka kepada rakyat melalui program kerja yang rill.
 Sehingga visi dan misi cagub dan cawagub tersebut, bukan sekedar konsep kosong semata, yang kerap digembar-gemborkan dalam tiap lima tahunan ritual demokrasi di pentas lokal, namun visi dan misi tersebut benar-benar dapat direalisasikan kepada rakyat. Melalui cara seperti ini, tentu para cagub dan cawagub terpilih, akan senantiasa dapat memelihara kepercayaan dari rakyat, sekaligus mampu memegang amanat rakyat, karena menunjukan keberpihakan kepada rakyat. 
Kalau tidak demikian rakyat kemudian akan mengalami deprivasi. Sehingga mereka akan menjadi kecewa dan meninggalkan pemerintahan, yang dipimpin cagub dan cawagub pilihan rakyat tersebut. Bahkan pada pemilukada yang akan datang, dipastikan mereka tidak akan memilih pimpinan yang meninggalkan mereka. Untuk itu keberpihakan kepada rakyat melalui pembangunan, yang rill merupakan cara yang paling efektif guna tetap mempertahankan simpati pemilih terhadap gubernur dan wakil gubernur.
 Diluar harapan rakyat tersebut, terdapat suatu catatan penting dari proses pemilukada Maluku kali ini. Dimana dalam proses pemilukada yang berjalan, sampai hampir memasuki tahapan akhir tersebut, terdapat suatu kecenderungan menarik dari para aktor-aktor, yang berpartisipasi dalam perhelatan pemilukada Maluku, turut larut dalam budaya politik parokial. 
 Fenomena ini nampak, tatkala para aktor-aktor yang menekuni bidangnya masing-masing, memiliki peran melampaui bidang yang mereka geluti. Sehingga mereka-pun tidak hanya berperan dalam salah bidang yang mereka tekuni, tetapi juga menyusup dalam bidang politik. Tanpa sepenuhnya memberikan ruang, yang lebih leluasa kepada aktor-aktor lain, yang memiliki kompetensi pada bidangnya. Peran inilah, yang kemudian menumbuh-suburkan budaya politik parokial dalam proses pemilukada Maluku. 
 Misalnya, para tokoh agama tidak hanya memiliki fungsi untuk melayani umat dalam melakukan ritual ibadah, tapi mereka juga turut-serta menjadi aktor-aktor politik, dalam proses pemilukada Maluku. Begitu-pun para pedagok, tidak hanya memiliki fungsi untuk memberikan pendidikan kepada para siswa akan ilmu pengetahuan, tapi mereka juga tampil menjadi aktor-aktor politik, yang turut dalam proses pemilukada Maluku.
 Bahkan para birokrat, yang memiliki fungsi untuk menjalankan roda birokrasi pemerintahan-pun, tampil sebagai aktor-aktor politik dalam proses pemilukada Maluku. Begitu-pun elemen-elemen lain, yang mestinya secara fungsional konsisten dalam menjalankan fungsi mereka, sesuai keahliannya turut serta sebagai aktor-aktor politik, dalam proses pemilukada Maluku. Sehingga akhirnya, mereka benar-benar melenceng dari fungsinya semula. 
 Kuatnya intervensi para cagub dan cawagub, yang menjadikan mereka sebagai bagian dari networking politik, untuk memenangkan pemilukada Maluku. Tak pelak membuat mereka terjerambab ke ranah politik. Sehingga mereka akhirnya menjalankan fungsi ganda, baik itu sesuai dengan bidang kompetensi mereka, maupun diluar kompetensi mereka, dalam upaya memenangkan cagub dan cawagub pada pemilukada Maluku.  
Apalagi terdapat diantara mereka, yang diiming-imingi dengan reward kapital dan jabatan pasca pemilukada, oleh cagub dan cawagub yang mereka upayakan untuk dimenangkan dalam pemilukada, membuat mereka dengan mudah larut dalam budaya politik parokial. Namun sebenarnya fenomena ini, adalah suatu problem yang krusial di tengah-tengah pentas politik lokal Maluku. Pasalnya sebagai daerah yang masih dalam tahap perkembangan sistem politiknya, tentu belum mampu menciptakan spesialisasi kepada aktor-aktor di level lokal, untuk menjalankan fungsi sesuai bidangnya masing-masing. 
Sehingga yang mengurusi masalah politik dalam pemilukada Maluku mestinya adalah, para politikus partai, kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (presure group), yang memang hadir untuk memainkan peran-peran politik, dalam pentas politik lokal Maluku. Karena itu, turut-sertanya aktor-aktor lain yang tidak memiliki kompetensi, dalam pemilukada Maluku hanya menjadikan mereka tampil sebagai instrumen politik, dalam memobilisasi dukungan pemilih untuk kepentingan para cagub dan cawagub, dalam upaya memenangkan pemilukada Maluku.
Meskipun para aktor-aktor tersebut, berusaha tampil secara diam-diam agar tidak nampak sepak terjang politik mereka di tengah-tengah rakyat, dalam mensukseskan cagub dan cawagub. Ternyata upaya aktor-aktor tersebut, hanya sia-sia semata. Sebab rakyat di daerah ini sudah semakin cerdas, dengan melihat aktor-aktor tersebut, masuk dalam ranah budaya politik parokial. Akhirnya netralitas hanya-lah jargon-jargon kamuflase, yang didengung-dengungkan mereka kepada rakyat melalui media masa, dengan himbauan ”sukseskan pilkada Maluku yang damai”.  
Meminjam pendapat Afan Gaffar (2006) bahwa, dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik, yang bersifat kognitif akan terbentuk budaya politik yang parokial. Merujuk pada pendapat tersebut, tentu rakyat di daerah ini memiliki sikap dan orientasi politiknya masih didominasi oleh karakteristik, yang bersifat kognitif. Sehingga mudah terbentuk budaya politik parokial dalam pentas politik lokal. 
Karena itu, jika terdapat spesialisasi yang jelas, kepada aktor-aktor tersebut sesuai dengan bidangya masing-masing, tentu para aktor-aktor itu tidak akan dengan mudah larut dalam budaya politik parokial, dalam pemilukada Maluku maupun dalam event-event politik lokal lainnya di daerah ini. Melihat fenomena tersebut, tentu sistem politik di daerah ini, tidak mengalami perkembangan yang signifikan dari pemilukada ke pemilukada, sebab masih terjadi overlaping peran para aktor-aktor dalam sistem politik di daerah ini. 

Hari-Hari Menjelang Pencoblosan

Oleh; M. J Latuconsina


 Dua pekan lalu, perhatian rakyat di daerah ini terfokus oleh ramainya kampanye pemilukada, yang dilakukan empat pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub), pada kabupaten/kota di Provinsi Maluku. Terbersit harapan rakyat, agar visi-misi empat pasangan cagub dan cawagub tersebut, dapat direalisasikan jika kelak salah satu pasangan diantara mereka, benar-benar terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Maluku mendatang.
 Setelah disibukan dengan proses kampanye pemilukada tersebut, kini semua aktifitas politik yang dilakukan, untuk mempromosikan empat pasangan cagub dan cawagub kepada rakyat tersebut, benar-benar terhenti. Tahapan selanjutnya dari pemilukada Maluku, adalah memasuki masa tenang sambil menanti hari-hari menjelang pencoblosan, yang dijadwalkan jatuh pada 9 Juli 2008 mendatang.
Bak menanti lahirnya seorang bayi, rakyat Maluku saat ini dibuat cemas tatkala hari-hari menjelang pencoblosan tersebut. Bahkan terdapat kegemasan dari rakyat, yang telah memiliki hak pilih, untuk segera memasuki bilik suara guna memilih pasangan cagub dan cawagub, yang sesuai dengan aspirasi politik mereka. Sehingga sesegera mungkin mereka bisa mengetahui, siapa figur pasangan cagub dan cawagub yang keluar sebagai pemenang, dalam pemilukada Maluku.
Pada hari-hari menjelang pencoblosan tersebut, merupakan hari dimana rakyat di daerah ini, tengah menanti untuk menentukan kepemimpinan Maluku periode berikutnya. Pasalnya, rakyat Maluku memiliki otoritas penuh guna menentukan gubernur, dan wakil gubernur Maluku lima tahun mendatang. Sehinggga, bagi para pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, pada hari pencoblosan tentu tidak memiliki otoritas, untuk turut menentukan kepemimpinan Maluku dalam lima tahun mendatang.
Bagi mereka yang memiliki fanatisme dengan pasangan cagub dan cawagub tertentu, terbersit harapan agar calon yang dijagokan mereka bisa keluar sebagai pemenang dalam pemilukada Maluku. Sementara bagi mereka, yang tidak terlampau fanatisme dengan pasangan cagub dan cawagub tertentu, hanya menaruh harapan agar siapa-pun figur kandidat yang terpilih, sebagai gubernur dan wakil gubernur Maluku mendatang dapat menunaikan tugasnya dengan baik. 
Harapan tersebut, memang hadir dengan perspektif yang berbeda, namun kedua-duanya bermuara pada satu aras pokok yakni, gubernur dan wakil gubernur Maluku terpilih mendatang, harus mampu mensejahterakan rakyat di daerah ini. Sehingga impian, untuk mewujudkan daerah yang sejahtera dapat terlaksana. Tentu semua ini, bukan saja menjadi tanggungjawab gubernur dan wakil gubernur yang terpilih, namun juga merupakan tanggujawab segenap rakyat Maluku, untuk bahu-membahu menuju Maluku yang sejahtera.
Namun di tengah-tengah antusiasme rakyat Maluku, menanti hari-hari menjelang pencoblosan tersebut, kita perlu merenungi bersama bahwa, pemilukada memiliki peran yang vital bagi rakyat di daerah ini. Dimana merupakan bagian dari instrumen demokrasi (tools of democracy), sekaligus merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia (the human basic needs), untuk menciptakan masyarakat dan tatanan pemerintahan yang demokratis.  
Pemilukada Maluku kali ini, adalah yang pertamakali dihelat bagi rakyat Maluku memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur secara langsung. Pasalnya lima tahun sebelumnya, pemilihan cagub dan cawagub dilakukan oleh wakil rakyat di DPRD. Meskipun demikian bagi rakyat Maluku, pemilukada bukan merupakan suatu pesta demokrasi yang asing dimata mereka. Sebab pada waktu-waktu yang lalu, pada sejumlah kabupaten/kota di Maluku, telah lebih dulu melaksanakan pemilukada, untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah mereka.
Karena itu, meskipun pemilukada Maluku dipenuhi dengan kompetisi yang cukup ketat diantara ke-empat pasangan cagub dan cawagub, untuk meraih jabatan gubernur dan wakil gubernur Maluku. Namun kita berharap, agar dalam pemilukada Maluku kali ini, tidak terjadi kompetisi ertzast (semu) antara para kontestan cagub dan cawagub tersebut. Akan tetapi kompetisi diantara para pasangan cagub, dan cawagub yang tengah bertarung tersebut, benar-benar merupakan kompetisi yang berkualitas, dengan senantiasa menjunjung nilai-nilai demokrasi. 
Dibalik harapan tersebut, kita juga tidak menginginkan proses pemilukada di daerah ini berjalan layaknya pemilukada di daerah lainnya ditanah air, yang penuh dengan interest politik pasangan cagub, dan cawagub yang tengah bertarung. Dimana berakibat buruk pada konflik politik yang berkepanjangan, dan melelahkan sehingga rakyat-lah yang dikorbankan. Fatalnya lagi pembangunan di daerah terbengkalai, karena para elit bersama rakyat hanya disibukan dengan konflik dalam pemilukada. 
Untuk itu, proses transformasi kepemimpinan lokal di Maluku, melalui pemilukada, perlu dilakukan dalam suasana yang fair play, dengan selalu mengedepankan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur, dan adil (jurdil). Hal ini adalah esensi penting dari pemilukada, yang merupakan sebuah instrumen bagi pelembagaan konflik di tingkat lokal. Sehingga, pemilukada Maluku perlu dimaknai sebagai suatu mekanisme, transformasi kepemimpinan ditingkat lokal secara damai. 
Diluar mekanisme pemilukada yang fair-play tersebut, tentu rakyat Maluku juga tidak iginkan terperangkap dalam frozen demokrasi, yang oleh Sorensen (2003) dikatakan sebagai demokrasi beku, yang lemah serta tidak solid. Karena itu, melalui pemilukada Maluku, rakyat perlu berupaya semaksimalnya untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah ini. Sehingga dapat terhindar dari frozen demokrasi.
Bahkan sebagai sebuah mekanisme demokrasi, rakyat Maluku perlu membiasakan diri untuk memilih pimpinan melalui pemilukada. Pasalnya pemilukada merupakan salah satu mekanisme politik, yang menempatkan pasangan cagub dan cawagub terpilih, untuk merealisasikan akuntabilitas kinerja mereka, kepada rakyat melalui program kerja yang rill. 
Sehingga kalau dikemudian hari, setelah terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur. Lantas akuntabilitas gubernur dan wakil gubernur tersebut, tidak bisa direalisasikan kepada rakyat melalui program kerja yang rill, maka rakyat memiliki otoritas penuh untuk tidak memilih gubernur dan wakil gubernur tersebut pada pemilukada berikutnya, jika ada diantara mereka yang tampil kembali mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Memilih Untuk Tidak Memilih

Oleh; M.J Latuconsina


 Tinggal empat bulan lagi pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung akan di gelar di provinsi Maluku. Menghadapi pesta demokrasi langsung yang baru dilaksanakan di provinsi Maluku tersebut, rakyat selaku konstituen pilkada langsung begitu antusias menyambutnya. Hal ini ditandai dengan perbincangan mereka seputar figur calon kepala daerah (calkada) dan calon wakil kepala daerah (cawalkada), yang layak untuk dipilih tatkala dilaksanakan pilkada langsung.
 Antusiasme rakyat dalam menyambut pilkada langsung tersebut, menunjukan kuatnya partisipasi politik mereka untuk menggunakan hak pilihnya, saat dilangsungkan proses pencoblosan figur calkada dan cawalkada, sekaligus mengindikasikan kuatnya partisipasi politik rakyat dalam menentukan figur calkada dan cawalkada, yang akan memimpin Maluku lima tahun mendatang. 
Bahkan antusiasme rakyat untuk menggunakan hak politiknya, diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Selain itu, melalui partisipasi politik rakyat dalam pesta demokrasi lokal, akan menjadi skesta untuk mengukur tingginya/rendahnya partisipasi politik rakyat dalam menggunakan hak politik mereka pada pilkada langsung.
Vote For No Vote
Sayangnya, dibalik antusiasme konstituen dalam menyambut pelaksanaan pilkada langsung di Provinsi Maluku tersebut, kerap menyisahkan sebagian kecil konstituen di daerah ini yang bersikap “memilih untuk tidak memilih”(vote for no vote) calkada dan cawalkada, yang tampil selaku kontestan pilkada lansung nanti. 
Sikap konstituen yang memilih untuk tidak memilih dalam pilkada langsung, tidak muncul sesaat tatkala dilaksanakannya pesta demokrasi lokal tersebut. Tapi, terdapat penyebab sehingga konstituen bersikap memilih untuk tidak memilih dalam pilkada langsung. Terkait dengan itu, menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI, 2007) dan Jaringan Isu Publik (JIP, 2007) pemilih yang tidak ikut dalam pemilihan (golput), disebabkan; 
Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya.  
Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang pilkda sebagai hal yang penting. Keempat, ekonomi politik. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pilkada dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya.
Variasi Political Behaviour 
 Faktor mana dari keempat faktor tersebut, akan menjadi penyebab konstituen bersikap memilih untuk tidak memilih, dalam pilkada langsung di Maluku?. Tentu tidak bisa digeneralisir, salah satu faktor dari keempat faktor itu, akan dominan menimpa mayoritas konstituen dalam pilkada langsung di Maluku. Pasalnya terdapat faktor structural, sociological, ecological, socio-psychological, dan rational choice, yang melatar-belakangi perilaku pemilih (voting behaviour) Maluku dalam menentukan sikap politik (political behaviour) mereka. 
 Sikap memilih untuk tidak memilih, yang ditunjukan rakyat Maluku dalam pilkada langsung nanti, akan bervariasi antara satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lainnya. Semisal; pertama, seorang pemilih di Batumerah Kota Ambon, tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Hal ini dapat terjadi, karena pemilih tersebut adalah pendatang yang baru menetap di Kota Ambon. 
 Kedua, seorang pemilih yang berprofesi sebagai nelayan kecil di Geser, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih. Ia lebih memilih untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya. Ketiga, seorang pemilih di Lakor, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) tidak mau mencoblos, karena ia merasa tidak memiliki ketertarikan pada politik (political engagement). Bahkan ia tidak memandang pilkda langsung sebagai hal yang penting.
Keempat, seorang pemilih di Sepa, Kabupaten Maluku Tengah memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Dimana, dalam persepsinya pilkada langsung dipandang tidak ada gunanya dan tidak akan membawa perubahan berarti. Kelima, seorang pemilih di Wamlana Kabupaten Buru memilih untuk tidak memilih dalam pilkada langsung, karena dalam perspesinya tidak ada kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah yang disukainya. 
Diluar faktor yang menjadi penyebab konstituen bersikap memilih untuk tidak memilih tersebut, sebenarnya terdapat indikator-indikator lain, yang menyebabkan pemilih bersikap golput. Pertama, para calkada dan cawalkada, yang tampil sebagai konstetan pilkada langsung bukan merupakan representasi dari konfigurasi etnis yang dominan di Maluku. Kedua, partai politik yang kerap dipilih konstituen dalam tiap kali pemilu tidak mengusung calkada dan cawalkada. Ketiga, tidak terdapat calkada dan cawalkada yang merupakan representasi dari kelas sosial didalam masyarakat.
Jika partai politik, bersama elit politik dapat mengantisipasi hal tersebut, dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan, konstituen bersikap memilih untuk tidak memilih, untuk kemudian mengakomondasinya dalam proses rekruitmen calkada dan cawalkada yang tengah berlangsung, tentu sejak dini bisa diminimalisir angka konstituen, yang lebih bersikap memilih untuk tidak memilih dalam pilkada langsung nanti. 
 Terlepas dari itu, partisipasi politik rakyat melalui penggunaan hak pilih mereka dalam pilkada langsung, bukan saja merupakan suatu kesadaran politik yang mesti tumbuh dari nurani para pemilih, tapi diperlukan peran serta lembaga-lembaga yang berkompoten, dalam proses demokratisasi di tingkat lokal, seperti; partai politik, penyelenggara pilkada, pengawas pilkada dan media massa, untuk secara intens memberikan pemahaman menyangkut pentingnya pemberian hak suara dalam pelaksanaan pilkada langsung. 

ISU AGAMA DAN ISU ETNIS

Tidak henti-hentinya para tokoh agama di Maluku memberikan himbauan moral, agar pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang dilaksanakan di daerah ini, dapat menghindari penggunaan isu agama dan isu etnis. Dimata para tokoh agama, penggunaan isu agama dan isu etnis dikhwatirkan akan dapat menjadi pemicu terjadinya konflik horisontal, antara komunitas agama dan komunitas etnis di daerah ini. Salah satu himbauan moral tersebut disampaikan Uskup Amboina Mr. PC Mandagi, MSC. 
Isu Agama dan Isu Etnis  
Himbauan itu disampaiakan dipenghujung bulan lalu, pada Harian Ambon Ekspres (29/4/2008). Dimana Mr. PC Mandagi, MSC mengingatkan seluruh calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub), tim sukses dan partai pendukung dalam pelaksanaan pilkada langsung Maluku, untuk tidak menggunakan isu agama dan isu etnis hanya untuk meraih kekuasaan. Dalam pernyataan tersebut, Mr. PC Mandagi, MSC mengajak semua masyarakat Maluku terutama tokoh agama untuk menjaga kesucian agama.  
 Pernyataan Uskup Amboina tersebut, perlu dimaknai dalam perspektif governance dan manajemen konflik politik, dimana jika isu agama dan isu etnis hanya digunakan oleh cagub dan cawagub, tim sukses dan partai politik pengusung dalam pilkada langsung untuk melakukan kampanye negativ (negative campaign), dengan mendeskreditkan agama dan etnis yang dianut rival politik mereka, dikhwatirkan akan memicu kesalapahaman antar masa pendukung cagub dan cawagub, yang akan berdampak pada terjadinya konflik horisontal antara komunitas agama dan komunitas etnis di daerah ini. 
 Rakyat Maluku selaku konstituen pilkada langsung, tentu tidak menginginkan terjadinya konflik horisontal lagi. Sebab konflik horisontal hanya menyisahkan kerugian yang diderita oleh rakyat Maluku. Karena itu pernyataan Mr. PC Mandagi, MSC tersebut, perlu diimpelementasikan oleh cagub dan cawagub, tim sukses dan partai politik pengusung. Sehingga dapat digunakan sebagai rambu-rambu politik dalam pilkada langsung Maluku, yang akan dilaksanakan pada 9 Juli 2008 mendatang. 
Ditinjau dari aspek governance dan manajemen konflik politik, Pangabean (2007) mengatakan, konflik akan selalu ada sampai kapan-pun. Dimana tidak bisa dihilangkan, namun perlu dikelola. Pengelolaan konflik biasanya menggunakan lembaga-lembaga formal dan non formal. Lembaga-lembaga formal yang digunakan untuk pengelolaan konflik seperti; kepolisian, kehakiman dan lembaga non formal seperti; lembaga-lembaga adat dan sebagainya. 
Keuskupan Amboina sebagai bagian dari kelompok kepentingan (interest group), yang masuk kategori dalam kelompok institusional, tentu sudah pada tempatnya berperan dalam pilkada langsung Maluku melalui kehadirannya di ruang publik, dengan himbauan-himbauan moral dalam rangka mengelolah konflik politik pada pentas politik lokal di Maluku. Bahkan sebagai bagian dari lembaga formal, tentu Keusukupan Amboina memiliki peran untuk turut mengelola konflik politik dilevel lokal. 
Electoral Behaviour
Penggunaan isu agama dan isu etnis, yang terkait dengan negative campaign dalam pendekatan governance dan manajemen konflik politik, tentu akan bertolak belakang dengan pendekatan electoral behaviour (perilaku memilih). Pasalnya dalam pendekatan governance dan manajemen konflik politik, penggunaan isu agama dan isu etnis yang terkait dengan negative campaign dalam pilkada langsung Maluku perlu dihindari, karena dikhwatirkan akan menjadi pemicu terjadinya konflik horisontal, antara konstituen yang terhimpun dalam komunitas agama dan komunitas etnis.  
Sementara dalam pendekatan electoral behaviour penggunaan isu agama isu etnis, sepanjang tidak berkaitan dengan kegiatan negative campaign antara sesama cagub dan cawagub, dimana merupakan bagian dari strategi politik untuk meraih suara pemilih, dari segmentasi pemilih primordial agama dan etnis, tentu relevan digunakan oleh cagub dan cawagub, tim sukses bersama partai politik pengusung pada pilkada langsung Maluku. Pasalnya, dalam pendekatan electoral behaviour identitas sosial pemilih yang mencakup agama dan etnis memiliki pengaruh, yang signifikan terhadap pembentukan perilaku memilih konstituen. 
Dimana dalam pendekatan sosiologis (Sociological School), yang sering disebut Mazhab Columbia (The Columbia School of Electoral Behaviour), menyebutkan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial seperti; usia (tua-muda), jenis kelamin (pria-wanita), agama, pekerjaan, latarbelakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kelompok formal, informal dan lainnya memberi pengaruh cukup signifikan terhadap pembentukan perilaku pemilih. (Nursal, Ridwan, 2004& Erawan, 2007).
Sehingga ikatan primordial yang mencakup agama dan etnis, yang di miliki pemilih di Maluku, kerap digunakan cagub dan cawagub, tim sukses dan partai politik sebagai bagaian dari strategi politik, dalam rangka menggalang dukungan suara pemilih pada pilkada langsung Maluku. Sebab preferensi politik pemilih dalam pilkada langsung Maluku akan cenderung memilih figur cagub dan cawagub, yang didasari background agama dan etnis yang sama dengan mereka. 
Karena itu, dalam pilkada langsung Maluku akan ditemui seorang pemilih beragama Kristen dari Negeri Alang, dan seorang pemilih keturunan Arab dari Negeri Larike di Kabupaten Maluku Tengah, mencoblos paket RASA dalam pilkada langsung. Preferensi politik kedua pemilih yang mencoblos paket RASA, karena terdapat pertautan agama dan etnis antara pemilih dengan paket RASA. Begitu-pun seorang pemilih Muslim dari Negeri Pelau dan seorang pemilih dari Babar yang telah menetap di Kota Ambon akan mencoblos paket TULUS dalam pilkada langsung, karena kedua pemilih tersebut memiliki background agama dan etnis yang sama dengan paket TULUS.
Pengaruh agama dan etnis yang kuat terhadap preferensi politik pemilih dalam pilkada langsung, bukan saja digunakan sebagai strategi politik untuk mendulang suara pemilih oleh cagub dan cawagub. Tapi dalam pola rekruitmen politik cagub dan cawagub yang dilakukan oleh partai politik, juga didasari oleh background agama dan etnis yang melekat pada figur cagub dan cawagub. Hal ini, merupakan salah satu upaya yang tempuh oleh partai politik, untuk menarik segmentasi pemilih agama dan etnis yang memiliki suara cukup dominan di Maluku.
Cagub dan cawagub, tim sukses bersama partai politik pengusung akan tetap menggunakan isu agama dan isu etnis, sebagai bagian dari srategi politik untuk meraih dukungan dari pemilih dalam pilkada langsung Maluku. Karena, preferensi politik pemilih di Maluku, sebagian besar akan didasarkan pada pilihan yang mengarah kepada pendekatan sosiologis, disamping pilihan yang mengarah kepada pendekatan psikologis, rational dan pendekatan marketing. Namun guna memanajemen konflik politik di level lokal, maka penggunaan isu agama dan isu etnis perlu menjauh dari kegiatan-kegiatan negative campaign, dengan motif mendeskreditkan agama dan etnis cagub dan cawagub demi meraih dukungan pemilih dalam pilkada langsung Maluku.  

Politik Keterwakilan Etnis

Oleh; M.J Latuconsina

 
Maluku merupakan salah satu daerah di tanah air yang majemuk. Kemajemukan Maluku ditandai dengan keberadaan berbagai, suku, agama, ras dan bahasa yang telah menjadi karakteristik rakyat di daerah ini. Kemajemukan tersebut tidak hanya terfokus pada satu wilayah saja, namun membentang dari selatan sampai ke tenggara kepulauan Maluku. Mencakup Seram, Buru, Ambon, Banda, Kei, Aru, Tanimbar, Babar, Leti dan Wetar. 
Keberagaman yang merupakan karaktersitik sosial-budaya tersebut, sekaligus membedakan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya di Maluku. Dalam tingkat lokal, keberagaman sosial-budaya itu kerap berimplikasi terhadap praktek politik di daerah ini, dimana etnis-etnis yang memiliki suara dominan di Maluku, sering menjadi target partai politik, untuk menarik simpati mereka dalam pemilukada.
Politik Keterwakilan Etnis
Salah satu jalan yang dilakukan partai politik, untuk menarik simpati mereka, yakni dengan merekrut elit-elit politik mereka, yang dipasangkan sebagai calkada dan cawalkada dalam pemilukada. Cara seperti ini, merupakan bagian dari politik kerterwakilan etnis sekaligus merupakan bagian dari strategi politik yang dilakukan partai politik, untuk menggalang suara sebanyak-banyaknya, dengan target memenangkan pemilukada. 
Dalam marketing politik (pemasaran politik), strategi semacam ini adalah bagian efektif untuk meraih suara dari etnis-etnis yang memiliki suara dominan. Pasalnya, dengan keterwakilan elit etnis yang dominan suaranya dalam paket pasangan calkada dan cawalkada, diharapkan oleh partai politik pengusung, akan menjadi vote getter, sehingga bisa menarik perhatian etnisnya, untuk mencoblos mereka dalam pemilukada.
Selain itu, etnis merupakan bagian dari segmentasi demografis. Pasalnya dalam segmentasi ini pemilahan pemilih Maluku yang mendiami sembilan kabupaten/kota, didasarkan pada karakteristik asal-usul etnis. Oleh Nursal (2004), segmentasi demografis dikatakan sebagai pemilahan para pemilih berdasarkan karakteristik demografis seperti usia, gender, agama, pendidikan, pekerjaan, kelas sosial-ekonomi dan sebagainya. 
Target partai politik dalam merekrut etnis-etnis yang memiliki suara dominan di Maluku, tidak terlepas dari aspirasi yang mencuat ditengah-tengah masyarakat, dimana mereka menghendaki adanya keterwakilan elit politik mereka dalam proses rekruitmen calkada dan cawalkada, yang dilakukan oleh partai politik. Sehingga sering dalam proses rekrutmen itu, kita mendengar adanya keinginan partai politik mengakomodir figur calkada dan cawalkada menurut keterwakilan etnis; Ambon-Kei, Seram-Kei, Buru-Seram dan Lease-Seram.
Hal ini kerap disuarakan oleh Partai Golkar kepada publik beberapa bulan lalu sebelum mengakomodir paket calkada dan cawalkada mereka secara resmi. Dimana, calkada dan cawalkada yang akan diusung Partai Golkar dalam pilkada langsung Maluku, merupakan perpaduan dari etnis Ambon-Kei. Seperti diduga sebelumnya, strategi ini dilakukan oleh Partai Golkar untuk dapat meraih suara pemilih yang tersebar di Pulau Ambon, Lease, Seram dan Kepulaun Kei.
Pola rekrutmen pasangan calkada dan cawalkada oleh partai politik, dengan menggunakan parameter keterwakilan etnis merupakan sesuatu yang wajar dalam perspektif demokrasi. Sebab pola rekrutmen ini, sepanjang tidak berdampak terhadap meningkatnya primordialisme, akan relevan untuk dipraktekkan karena praktek semacam ini bukan merupakan bagian dari politik primordialisme. Namun semata-mata untuk mengakomodasi beragam kemajemukan dalam sistem politik lokal. 
Sebenarnya politik keterwakilan etnis, bukan merupakan trend yang baru di praktekan di Maluku seiring dengan digelarnya pilkada langsung Provinsi Maluku, sebab pada pilkada langsung di Kabupaten/kota di Maluku, pola rekruitmen semacam ini sudah pernah dipraktekkan. Hal itu nampak dalam pilkada langsung di Kabupaten Buru, Seram Bagian Barat (SBB) dan Kabupaten Kepulauan Aru, disamping mempertimbangkan kapasitas figur calkada dan cawalkada untuk direkrut, ternyata asal etnis figur calkada dan cawalkada juga menjadi pertimbangan dari partai politik untuk mengakomodir mereka.
Misalnya pasangan Husni Hentihu-Ramli Umasugi yang dicalonkan Partai Golkar dalam pilkada Buru tahun 2006, adalah reprsentasi dari etnis Buru-Sula. Kemudian duet pasangan Jacobus Putileihalat-La Kadir yang dicalonkan Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Karya Peduli Bangsa (PDKB) dan Partai Pelopor dalam pilkada langsung SBB 2005, adalah representasi dari etnis Seram-Buton. Begitu pun pasangan Tedy Tengko-Junus Duganata, yang dicalonkan Partai Golkar dalam pilkada Aru tahun 2005 adalah keterwakilan dari etnis Tionghoa-Aru.
Kalkulasi Politik Partai
 Namun sebetelunya, diperkirakan partai politik di daerah ini memiliki kalkulasi politik tersendiri dengan merekrut elit politik yang memiliki basis pemilih etnis yang dominan. Pasalnya dalam persepsi partai politik, mayoritas pemilih di Maluku adalah pemilih sosiologis, dimana preferensi politik rakyat di daerah ini masih ditentukan oleh kesamaan etnis, aliran, ikatan darah, suku asal mereka dengan pasangan calkada dan cawalkada yang bertarung dalam pilkada langsung.
 Hal ini oleh Asfar (2007), dikatakan sebagai model sosiologis (Mazhab Columbia) mendasarkan diri pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga, dan hubungan emosional yang dialami pemilih secara historis. Dimana pendekatan ini beranggapan, bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh sangat signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang.
Sehingga diperkirakan dalam pilkada Maluku nanti, mayoritas pemilih di daerah ini akan cenderung untuk memilih figur calkada dan cawalkada yang memiliki kesamaan etnis dengan mereka. Oleh karena itu, aspek etnis tampaknya tidak bisa diabaikan perannya dalam pilkada langsung Maluku. Pasalnya latar belakang etnis kandidat akan banyak mempengaruhi prefrensi politik pemilih pada pilkada langsung.
Pola rekruitmen pasangan calkada dan cawalkada yang dilakukan oleh partai politik, dengan mempertimbangkan keterwakilan etnis sebenarnya merupakan bagian dari upaya untuk mengelola konflik di ranah lokal. Asumsinya jika dalam politik di aras lokal dapat mengakomodasi kemajemukan etnis, tentu akan dapat meminimalisir terjadinya konflik akibat ketidakpuasan dari suatu etnis, yang tidak terakomodir elitnya dalam proses pilkada langsung.

Calon Gubernur Pilihan Partai Golkar

Oleh; M.J Latuconsina


Menjelang batas waktu proses pendaftaran calon gubernur (cagub) , dan calon wakil gubernur (cawagub) di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Maluku, partai-partai politik di daerah ini mulai disibukan dengan proses rekrutmen cagub dan cawagub. Proses rekrutmen cagub dan cawagub tersebut, sekaligus ditindaklanjuti dengan pengesahan figur cagub dan cawagub yang terpilih oleh partai politik pengusung.  
Tidak terkecuali Partai Golongan Karya (Golkar) Maluku, pada 26 Juli 2008 lalu, telah melakukan proses rekrutmen cagub. Proses rekrutmen tersebut, dilakukan melalui Rapat Tim Pilkada Pusat Partai Golkar, dalam rangka pemilihan dan penetapan cagub Maluku dari Partai Golkar, yang berlangsung di Sekretariat DPD Partai Golkar Provinsi Maluku.  
Meskipun proses rekrutmen itu, dipenuhi ketegangan yang dirasakan sejumlah simpatisan beserta massa pendukung, dan undangan yang menghadiri hajatan politik partai yang berorientasi program itu. Namun, kondisi ini tidak berlanjut dengan terjadinya bentrokan fisik, antara simpatisan beserta massa pendukung yang menjagokan figur mereka, sebelum dan sesudah hajatan politik itu.
Dari proses rekruitmen itu, Muhammad Abdullah Latuconsina mengantongi 60 suara dari total 98 suara delegasi yang memberikan hak pilih. Sementara Azis Samual dan Muhammad Saleh Latuconsina sama-sama mengumpulkan 12 suara, sedangkan Ruswan Latuconsina memperoleh 8 suara, Basa Alim Tualeka mendapatkan 3 suara, yang disusul Thamrin Ely memperoleh 2 suara, dan Samuel Kololu menempati posisi kunci dengan hanya meraih 1 suara.
Proses rekrutmen cagub yang dilakukan partai yang mengusung sprit kolektivisme ini, merupakan bagian dari implementasi fungsi rekrutmen politik Partai Golkar, guna menyeleksi warga negara untuk kemudian di orbitkan menjadi calon-calon pimpinan. Rekrutmen politik tersebut lebih dikhususkan kepada orang-orang yang mempunyai bakat yang cukup menonjol. Sehingga para figur cagub yang berpartisipasi dalam proses rekrutmen itu, merupakan figur-figur cagub yang memiliki bakat yang cukup menonjol.(Haryanto,1984).
Kemenangan yang diraih Memet Latuconsina, sekaligus menghantarkan ia sebagai cagub yang resmi dicalonkan oleh Partai Golkar, yang akan maju bertarung dalam pilkada langsung Maluku 9 Juli 2008 mendatang. Sukses yang diraihnya, tidak terlepas dari posisinya selaku ketua DPD Golkar Maluku. Dengan posisi ini, memudahkannya untuk memobilisasi dukungan (mobilization of support) internal Partai Golkar. Sehingga tidak mengherankan, ia mampu melejit mengalahkan bakal cagub lain, yang bertarung bersamanya.
 Padahal awalnya, langkah Memet Latuconsina untuk mencalonkan diri melalui partai yang ia pimpin, diragukan banyak kalangan. Ia kerap disebut sebagai bakal cagub underdog yang tidak populer di mata publik Maluku. Bahkan dari perkiraan semula, ia tidak bakal melaju menggunakan kendaraan partai beratribut kuning ini. Pasalnya terdapat bakal cagub lain yang mengunggulinya. Hal ini nampak dari hasil survei tahap pertama yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), justru tidak mengunggulkannya pada posisi pertama bakal cagub yang populer dimata publik Maluku. 
Namun angin politik-pun berbalik dan berpihak kepadanya. Hal ini nampak tatkala dihelat Rapat Tim Pilkada Pusat Partai Golkar, dalam rangka pemilihan dan penetapan cagub Maluku dari Partai Golkar pekan lalu, jutsru Memet Latuconsina melejit suarnya mengungguli enam figur bakal cagub lain, yang berkontestasi bersamanya untuk memperebutkan cagub dari partai berlogo beringin itu. Kemenangan yang di raih Memet Latuconsina, adalah kepercayaan (trust) yang diberikan Partai Golkar Kepadanya sebagai cagub.
Kepercayaan tersebut perlu ditindaklanjuti Memet Latuconsina dengan berupaya untuk memenangkan partainya golongan fungsionalis ini dalam pilkada langsung. Apalagi dari internal Partai Golkar beserta massa pendukunya (mass of support), menaruh harapan besar agar jabatan gubernur Maluku mendatang dijabat oleh kader Partai Golkar. Harapan tersebut tentu perlu direalisasikan dengan memenangkan partai yang mengedepankan prinsip kekeluargaan ini pada pilkada langsung.  
 Dibalik sukses penetapan cagub Partai Golkar itu, masih meyisahkan satu agenda, yakni menetapkan calon wakil gubernur (cawagub), yang akan berpasangan dengan Memet Latuconsina. Sesuai mekanisme internal Partai Golkar, akan diajukan tiga bakal cagub untuk mendampingi Memet Latuconsina selaku cagub. Proses pengajuan cawagub sekaligus penetapan cawagub, akan dilakukan oleh Partai Golkar sebelum KPUD Maluku menutup pendaftaran cagub, dan cawagub pada 14 April 2008 mendatang.
 Posisi cawagub yang bakal berdampingan dengan Memet Latuconsina selaku cagub, sangat strategis dalam kontestasi pilkada langsung Maluku. Sehingga kalau Partai Golkar mampu mengakomodir figur cawagub, yang populer dan memiliki basis pemilih rill di Maluku, dipastikan akan menjadi faktor penentu untuk mempush kemenangan partai beridiologi developmentalis ini dalam pilkada langsung Maluku.
Apalagi partai yang mengusung spirit kegotong-royongan ini memiliki struktur kepengurusan yang komplet disemua lini, memiliki kader yang berkualitas, memiliki basis finansial yang memadai, dan memiliki basis konstituen yang jelas, tentu memiliki kans yang cukup besar untuk memenangkan pilkada langsung Maluku. Sehingga selaku figur yang diakomodir Partai Golkar sebagai cagub, Memet Latuconsina harus mampu menggunakan keunggulan mesin partai untuk memobilisasi pemilih (mobilization of voters) guna meraih suara sebanyak-banyaknya pada pilkada langsung.  
Meminjam pendapat Deni (2006) bahwa, partai politik mengerahkan dukungan pemilih (support of voters) untuk para calon yang diajukan dengan maksud merebut jabatan pemerintahan. Dengan menjalankan fungsi memobilisasi pemilih oleh partai politik, berarti partai politik berusaha mempersuasi kepentingan pemilih, yaitu memilih partai politik tersebut saat pemilu diselengarakan. (Faturahman, Sobari, 2002).
Dengan keunggulan mesin partai yang dimiliki Partai Golkar, tentu akan berdampak signifikan terhadap bekerjanya mesin partai dalam memobilisasi pemilih guna memenangkan calon yang diusungnya. Sehingga dalam posisi seperti ini, citra Memet Latuconsina yang tengah menanjak naik menjelang pilkada langsung, perlu bersinergi dengan Partai Golkar untuk memenangkan pilkada langsung Maluku.
Pengalaman membuktikan, dibanyak daerah yang lebih dulu melaksanakan pilkada langsung, sinergitas antara pasangan cagub bersama partai politik pengusung, akan menjadi faktor yang paling menentukan dalam memenangkan pilkada langsung. Oleh karena ini, konsolidasi internal Partai Golkar, yang dibarengi dengan peningkatakan popularitas figur cagub menjelang pilkada langsung, adalah salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan pilkada langsung.